Ceknricek.com–Sebenarnya tren global dalam hal kemunduran demokrasi sudah bisa dibaca sejak beberapa tahun sebelumnya. Naiknya tokoh-tokoh iliberal seperti Donald Trump di Amerika Serikat, serta kecenderungan publik di berbagai wilayah untuk menerima kembali kendali militer dan aparat keamanan yang lebih kuat di sejumlah negara, merupakan penandanya.
Mengutip The Washington Post, pada tahun 2017 sebuah jajak pendapat di Brasil menunjukkan bahwa 43 persen responden mendukung kebangkitan kembali militer. Sementara, di Filipina, sebuah jajak pendapat terbaru menunjukkan 80 persen masyarakat menyetujui penggunaan kekerasan yang agresif dalam perang melawan narkoba yang dikampanyekan Presiden Duterte.
Di Indonesia sendiri, menurut riset Asian Barometer pada tahun 2016, 38 persen orang Indonesia yang disurvei menyatakan “sangat setuju” atau “setuju” bahwa “Angkatan Darat harus datang untuk mengatur negara”. Persentase ini adalah tertinggi kedua setelah Thailand (54 persen).
Ekspose atas tokoh-tokoh semacam itu, dengan pendekatan kekuatan represif yang menyertainya, telah memberikan efek demonstratif berupa melemahnya norma-norma mengenai kontrol sipil secara global.Munculnya pandemi Covid-19, yang kemudian telah melahirkan pembatasan sosial secara global, telah berimplikasi pada kian mundurnya praktik demokrasi di mana-mana. Di sisi lain, karena pandemi ini juga diperlakukan sebagai isu keamanan, sementara lembaga militer formal tetap berada di tempatnya, kecenderungan-kecenderungan tadi telah menempatkan lembaga kepolisian pada posisi dengan kekuasaan sangat besar di wilayah sipil.
Membawa Polisi Kembali ke Jalur Demokrasi
Pedoman PBB menyatakan bahwa setiap sistem akuntabilitas polisi harus meningkatkan kontrol sipil atas polisi. Itu sebabnya, di banyak negara peran pengawas independen kepolisian diberi tempat yang kuat dalam sistem hukum dan peradilan. Di Denmark, misalnya, semua pengaduan pelanggaran dan dugaan pelanggaran pidana oleh polisi dilakukan oleh pengawas independen.
Di Inggris, setiap pelanggaran serius, termasuk pembunuhan dengan alasan apapun oleh seorang petugas kepolisian, harus dilaporkan kepada pengawas independen. Di AS, seturut prinsip federalisme, regulasi mengenai kepolisian menjadi terdesentralisasi.
Di beberapa negara bagian, seperti New Jersey, misalnya, kasus penembakan yang melibatkan petugas kepolisian harus diserahkan kepada otoritas lokal atau negara bagian. Jadi, polisi tidak diperkenankan menyelidiki kasus yang melibatkan anggotanya sendiri. Untuk itu, pemerintah lokal telah memiliki instrumen pengawasan mereka sendiri untuk mengawasi lembaga kepolisian.
New York baru-baru ini juga mulai membatasi hak istimewa yang melekat pada anggota kepolisian.Berangkat dari kasus yang sedang hangat yang telah menyeret banyak jenderal dan perwira di kepolisian, persoalan tersebut menurut saya kini terlalu besar jika dianggap sebagai persoalan kasuistik.
Ada persoalan serius di tubuh lembaga kepolisian sehingga kebobrokan sebagaimana yang kini baru terkuak bisa terjadi. Untuk membenahi kebobrokan itu tentu dibutuhkan penyikapan dan perubahan yang serius juga. Menurut saya, inilah momen yang tepat bagi kita untuk melanjutkan reformasi dan reposisi Polri. Reformasi Polri tidak seharusnya berhenti hanya dengan memisahkan Polri dari ABRI. Kerak-kerak yang lahir dari kebijakan war on terror juga harus menjadi bagian dari pembenahan institusi kepolisian.(Selesai)
Jakarta, 23 Agustus 2022