Ceknricek.com — “Pendirian pemancar baru yang modern sangat penting bagi martabat bangsa Nusantara. Lewat pemancar baru nanti akan dilestarikan dan dikumandangkan kesenian Nusantara.” — Ir.Sarsito Mangunkusumo.
Menyambut Hari Penyiaran Nasional yang jatuh hari ini, Senin (1/4), berikut jejak rekam siaran radio pertama di Indonesia.
Pada tahun 1925, masa sebelum merdeka, radio yang mengudara pertama di Tanah Air bukanlah radio Indonesia. Melainkan radio milik Belanda bernama Bataviase Radio Vereniging (BRV) di Batavia.
Di tahun 1934 kembali disusul berdirinya stasiun radio swasta bernama Nederlandsch Indische Radio Omroep Masstchapij (NIROM). Di beberapa kota besar seperti Batavia, Bandung, Medan, NIROM tumbuh pesat karena merupakan stasiun radio yang disokong oleh pemerintah Belanda.
Awal Solosche Radio Vereniging (SRV)
Nama radio Solosche Radio Vereniging (SRV) pertama kali diprakarsai oleh pemimpin Praja Mangkunegaran KGPAA Mangkunagara VII, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo. Pemikiran yang modern, kecintaannya terhadap penyiaran, dan kepemilikan modal adalah beberapa faktor yang melahirkan radio tersebut.
Pemancar RRI yang pernah diungsikan ke kandang kambing di lereng Gunung Lawu, Jawa Tengah. Pemancar yang disebut Pemancar Kambing ini berada di lantai satu Monumen Pers Nasional. (CNN)
Mengutip buku Mengkunegoro VII & Awal Penyiaran Indonesia karya Hari Wiryawan, ketertarikan Mangkunegoro VII dalam pada bidang penyiaran berawal ketika menerima persembahan dari orang Belanda berupa pesawat radio penerima yang disebut receiver pada 1927. Sejak itu, ia meminta Kepala Dinas Pekerjaan Umum Praja Mangkunegaran, Raden Mas Ir.Sarsito Mangunkusumo untuk mengelola stasiun radio.
Sarsito semula merintis stasiun radio dengan membeli pemancar tua milik Djocjchasche Radio Vereeniging, radio swasta milik Belanda di Yogyakarta.
Pemancar itu diberikan pada sebuah perkumpulan seni bernama Javansche Kuntskring Mardiraras Mangkunegaran. Perkumpulan itu menyiarkan lagu-lagu Jawa yang dimainkan dengan gamelan dengan call sign PK2MN. PK adalah kode radio amatir Jawa Tengah dan MN adalah kode Mangkunegaran. SRV juga menyiarkan klenengan, wayang orang, serta kethoprak yang dibawakan oleh perkumpulan kesenian Mangkunegaran.
SRV pelopor radio milik Indonesia
Saat itu untuk memaksimalkan kinerja SRV pada tanggal 1 April, diselenggarakan rapat pengadaan pemancar baru di Gedung Societeit Sasana Soeka (kini Monumen Pers Nasional). Rapat itu dihadiri Sarsito, R.M. Soetarto Hardjowahono, Lim Tik Liang, R.T. Dr. Marmohoesodo, Tjan Ing Tjwan, Louwson, Wongsohartono, Tjiong Joe Hok, dan Prijohartono.
Karena belum punya studio, SRV sempat menumpang sementara di Pendopo Kepatihan Mangkunegaran atas izin Patih Mangkunegaran KRMT Sarwoko Mangunkusumo. (CNN)
Sarsito mengatakan pendirian pemancar baru yang modern akan sangat penting bagi martabat bangsa. Lewat pemancar baru nanti akan dilestarikan dan dikumandangkan kesenian Nusantara.
Gagasan itu disambut antusias. Kesepakatan dicapai bukan hanya membeli pemancar baru, hasil rapat itu juga menyepakati pendirian lembaga penyiaran baru yang diberi nama Solosche Radio Vereeniging (SRV) dan Sarsito didapuk sebagai ketua SRV.
Setiap orang yang hadir dalam rapat itu menyisihkan uang sebanyak f1 (Rp1) hingga terkumpul f9 (Rp9). Uang itu dikumpulkan sebagai uang kas untuk membeli pemancar baru.
Semenjak terbentuk kepengurusan resmi SRV, banyak anggota baru yang mendaftar. Namun, uang kas yang terkumpul hanya mencapai f600 (Rp600). Sementara Perusahaan Telpon dan Telegraph Pemerintah Hindia Belanda (PTT) di Bandung menjual pemancar seharga f1.500 (Rp1.500).
SRV meminta bantuan pada Mangkunegoro VII untuk menanggung kekuarangan. Tokoh budaya itu pun bersedia menanggung kekurangan demi terbentuknya radio pertama milik orang Indonesia. Akhirnya, pemancar itu tiba di Solo pada 5 Januari 1934 dan langsung digunakan untuk siaran.
Siaran pertama SRV dengan jangkauan luas terjadi pada 5 Januari 1934. Sejak itu banyak siaran-siaran dengan konten budaya Jawa. Tapi karena belum punya studio, akhirnya menumpang sementara di Pendopo Kepatihan Mangkunegaran atas izin Patih Mangkunegaran KRMT Sarwoko Mangunkusumo.
Peran Gusti Nurul, putri Mangkunegoro VII
Bila Mangkunegoro VII diibaratkan sebagai dalang dalam pendirian SRV, Gusti Nurul adalah wayang diarahkan oleh ayahnya. Putri satu-satunya Mangkunegoro VII dari Permaisuri Gusti Kanjeng Ratu Timur itu sering beraksi dalam berbagai acara penting SRV.
Mangkunagara VII, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo (Foto: Wikipedia)
Aksi paling menarik dari perempuan kelahiran 1921 ini ketika ia menari Bedaya Srimpi di di Istana Noordeinde, Belanda, dalam pernikahan Putri Juliana dan Pangeran Bernhard. Ia menari dengan iringan gamelan yang disiarkan langsung dari Solo pada 28 Desember 1936.
Bila pada 1927 Belanda membuat Indonesia takjub dengan Pidato Ratu Wilhelmina, sembilan tahun kemudian Indonesia membuat Belanda kagum dengan tarian yang diiringi gamelan secara langsung.
Lebih dari penari yang diringi suara dari SRV, Gusti Nurul adalah saksi sejarah penyiaran Indonesia. Buku Mengkunegoro VII & Awal Penyiaran Indonesia juga mencatat bahwa Gusti Nurul hadir dalam acara-acara penting SRV.
Gusti Nurul meresmikan Gedung SRV (kini Gedung RRI Solo) saat peletakan batu pertama pada 15 September 1935 dan 29 Agustus 1936. Ia juga memberikan sambutan untuk meresmikan penggunaan pemancar baru pada 18 November 1939.
SRV direbut Jepang, RRI Lahir
SRV yang berada di masa keemasan harus menelan pil pahit ketika Jepang datang ke Indonesia pada 1942. Jepang merebut SRV dan hampir semua radio di Indonesia untuk berkomunikasi.
Jepang memberi nama Hoso Kanri Kyoku untuk siaran skala nasional dan Hoso Kyoku untuk siaran lokal. Mereka memakai alat-alat radio yang sebenarnya milik Indonesia.
Pada 11 September 1945, Raden Maladi menginisiasi pembentukan RRI. Bersama insan penyiaran yang berkecimpung di radio ketimuran.
Perjuangan belum selesai sampai di situ. Agresi Militer Belanda II pada 1948-1949 juga membuat sulit insan penyiaran walau sudah merdeka. Mereka pun menghadap pemerintah pusat untuk mengambil alih aset-aset radio di sejumlah daerah sebelum direbut Belanda.
Meski demikian, pemerintah pusat saat itu malah melarang insan penyiaran. Mereka berpikir sekutu akan datang semakin banyak ketika mengetahui aset-aset radio sudah diambil lebih dulu oleh pejuang penyiaran.
RRI seakan tak peduli dengan kata pemerintah pusat, mereka tetap mengambil lebih dulu aset radio, seperti di Solo dan Surabaya.
Aksi tersebut berbuah sebuah peristiwa mengungsikan pemancar radio di kandang kambing. Kini, pemancar yang sempat diungsikan di kandang kambing untuk siaran itu masih ada di Monumen Pers Nasional.