Ceknricek.com–Sutradara kondang ini lahir 22 September 1937 di Padeglang, Banten. Ia meninggal 11 Desember 2001, karena gangguan pernafasan. Untuk memperingati kelahirannya, berikut tulisan berseri tentang Teguh Karya, termasuk pandangan-padangannya terhadap seni film yang intens digelutinya sampai akhir hidupnya.
Film Milik Bersama
SIKAP IDEAL. Tidak dapat diingkari bahwa tatanan masyarakat akan membentuk tatanan sikap para sineasnya. Hal ini menurut Teguh Karya penting dalam memandang film sebagai suatu masyarakat tertentu.
Di Negara-negara berkembang di mana Hollywood pada masa-masa lampau menjadi pola tatanan pembuatan film di mana-mana, sedikit demi sedikit memudar, karena adanya kesadaran bahwa Hollywood hanya akan ada dalam sebuah tatanan masyarakat di mana berbagai kemapanan memungkinkan kelahirannya.
Masyarakat yang sedang tumbuh, baik di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budayanya, memerlukan pemikiran yang seyogyanya berbeda. Yaitu, sebuah tatanan yang melahirkan film-film yang tepat cipta bagi keperluan keadaan secara jujur, yang selaras dengan keakuratan kondisi tatanan masyarakat itu sendiri.
Buktinya, dari berbagai kepentingan seperti ini, di mana film dan penataan tiba-tiba jelas menjadi suatu upacara bersama-sama masyarakatnya, daripada film hanya sebagai karya sinematografi yang semata-mata hasilnya cuma menjadi barang tontonan semata.

Film yang bisa menjadi kebersamaan ini, ditandai dengan adanya kebersamaan persoalan dan isi yang juga milik dan persoalan masyarakat. Di mana seorang sineas dan masyarakat berusaha menjawab dan mempertanyakan berbagai tantangan-tantangan baru yang membuat mereka memiliki ketabahan-ketabahan dan harapan di dalam menjalankan kehidupan lebih lanjut.
Film-film seperti ini akan jelas membawa sikap jujur tentang sesuatu masyarakat. Di mana oleh karena mereka inilah seorang sineas menjadi wakil yang bisa menguraikan kepentingan persoalan dan spiritual mereka.
Dari tangan sineas seperti inilah lahir film-film yang fungsi sosial dan fungsi budayanya menjadi kepentingan masyarakat, sehingga fungsi ekonomi film tinggallah berpulang pada bekal tanggung-jawab seseorang pada orang lain untuk tidak dirugikan secara finansial sebagai etik peredaran uang atas nama ketrampilan dan dagang. Sehingga, peranan fisik sebagai sarana dan peranan spiritual sebagai panggilan, berbaur menjadi manifestasi film yang berkepribadian suatu bangsa.
FUNGSI SOSIAL FILM. Perkataan lainnya adalah film yang berguna bagi masyarakat, yang tidak perlu mempunyai arti propaganda, bombastis, dan verbal dalam mencapai tujuan. Hal ini perlu digaris-bawahi, karena perkataan ‘berguna’ ini masih diberi arti penilaian yang salah; seperti suatu gagasan yang menakutkan, baik oleh para pemodal film di satu pihak, maupun para seniman di lain pihak.
‘Berguna’ di dalam hal ini jelas tidak dapat ditawar dan dilepaskan kaitannya dari karya sebuah film yang di dalam unsur-unsurnya bukan saja tehnologi, tapi terlebih lagi tidak bisa dipisah-pisahkan dari kaitan berbagai kesenian yang menjadi satu di dalamnya. Di mana ‘pesan’ menjadi dangkal jika dia tercipta sebagai propaganda, bombas, dan verbal.
‘Berguna’ di dalam hal ini karena pemodal dan pembuat film terlihat bersama masyarakat di dalam mencari jawaban berbagai kemajuan yang mereka harapkan. Yang bersama-sama bisa membuka cakrawala baru di hari-hari mereka saat ini dan saat yang akan datang. Hanya dengan rasa kebersamaan, kenyataan dan harapan ini sebuah film akan lebih dekat dengan masyarakatnya, di mana sebuah film bisa di tunggu-tunggu mereka untuk mendapatkan berbagai jawaban.
Kalau saat ini masih banyak film di sekeliling kita yang tidak berfungsi sosial seperti yang diharapkan, barangkali karena belum melihat wawasan ini sebagai salah satu kemungkinan yang efektif sebagai media komunikasi baru.
FUNGSI BUDAYA FILM. Di antara banyak orang film, perkataan ‘Budaya’ saat ini disinonimkan dengan kesenian, sehingga akibatnya para pemodal film takut. Karena, menjajakan kesenian hanya memerlukan orang-orang yang mencintai kesenian. Ini jelas sudah salah tanggap.
Di Indonesia, kami kenal sebuah kata yang patut dipatuhi dalam membuat film, yaitu Kultural-Edukatif yang fungsinya kurang lebih bersamaan. Ini pun menimbulkan salah tanggap. Padahal yang diharapkan dari perkataan budaya ini sangat sederhana. Yaitu, karena kita mempunyai budaya, yang membedakan kita dengan budaya suatu bangsa lain, yang mempunyai kebudayaannya sendiri.
Apa arti sebuah ‘jalan pikiran’, yang khas, khusus milik kita yang bahkan mungkin tidak dimiliki oleh asal negeri di mana pengetahuan film itu datang. Budaya yang bahkan menjadi ciri kepribadian bangsa dari mana film itu dibuat, kebanggaan tersendiri andaikata memang bangga sebagai anak negerinya.
Makin majemuknya kebudayaan suatu bangsa adalah merupakan kekayaan yang berlimpah-limpah bagi khasanah filmnya. Sebagai kenyataan, semua ini belum digarap. Kita mendengar berbagai macam kekhawatiran itu akan ada, jika diberi pendekatan barunya di dalam pendekatan nilai fungsi sosial yang dicanangkan di atas. Sehingga muncul sebuah daya tarik baru yang akurat dan relevan bagi zaman saat ini.
FUNGSI EKONOMI FILM. Hanya sebuah film yang memikat sebagai tontonan orang, sehingga karena pemodalan kembali dan mendapatkan untung. Memikat sebagai tontonan, sebuah kalimat besar yang telah banyak dijalankan orang dengan berbagai cara. Mulai dari judul, tema cerita, penggarapan, eksploitasi macam-macam, reklame, dan iklan-iklan besar. Pendek kata segala jurusan telah dijajaki dengan tanpa mendapat jawaban yang pasti perihal laku dan tidaknya sebuah film.
Seperti halnya komoditi lain, juga film memiliki komoditinya sendiri. Tapi kalau sutradara bertanya, bagaimana cara membuat film yang laku, jawabnya adalah; seberapa jauh sutradara itu mengenal masyarakatnya? Seberapa besar persepsi sutradara itu dalam menghidupi dirinya sebagai anak negeri yang berkewajiban mencintainya.
Di atas kedua gabungan itu dia akan tahu apa yang terbaik yang bisa dia berikan kepada masyarakat dan negerinya yang sudah dia kenal betul. Bakat, ilmu, dan wawasan yang telah dimiliki akan tetap menopangnya di dalam menjalankan intelektualitasnya sebagai seorang pembuat film di negeri ini. Pada umumnya film yang dibuat lewat kesadaran semacam ini terasa dekat dengan negeri dan masyarakat di mana seorang pembuat film berfungsi menjadi teman seperjalanan mereka. Fungsi ekonomi akan mengikutinya dari belakang.
Baca Juga :Mengenang Sutradara Teguh Karya (3)
Baca Juga :Mengenang Sutradara Teguh Karya (4)