Ceknricek.com — Yang paling paham membedakan menggoreng dan merebus sebenarnya ibu saya. Pasti juga ibu-ibu lain yang sejatinya ibu. Lha, bagaimana bisa ibu dipisahkan dengan minyak goreng? Sejauh-jauhnya ibu dari dapur, pastilah ia punya sedikit pengetahuan tentang minyak goreng. Pastilah juga bisa menjelaskan bedanya menggoreng dan merebus.
Beda paling mendasar, tentu saja, menggoreng itu menggunakan minyak; merebus memakai air. Apakah minyak bisa menggantikan air? Sejauh ini kodok pun tahu, tidak bisa. Itu perbedaan yang elementer. Dalam semiotika, ia bahkan bisa dibilang tanda yang melampaui oposisi biner. Bukan sekedar pasangan berlawanan, melainkan tidak bisa disatukan. Aku dan kamu bagaikan minyak dengar air, tidak bisa didamaikan, itu kata penyanyi dangdut. Walhasil, menggoreng dan merebus tidak bisa saling mensubstitusi.
Dulu Ibuku bersedih teramat sangat jika tidak punya minyak goreng di rumah. Baiklah kita bersabar, ikan asin ini kita sangray saja, katanya, suatu pagi, dengan mata sedikit berlinang. Lalu ibu menaruhnya di atas katel, memasaknya tanpa minyak. Itulah menyangray.
Maka, minyak goreng, di situ, menjadi salah satu penanda kehidupan minimal dalam rumah tangga. Barangsiapa di dapurnya tidak ada minyak goreng sebab tidak mampu membelinya, rumah itu telah runtuh. Secara ekonomi, ia telah jatuh hingga ke dasar.
Lantas, bangsa yang tidak punya minyak goreng, bisakah dibilang miskin. Saya kira iya. Setidaknya, ia telah miskin dari perhatian, dari kepekaan, dari kebijakan para pengelolanya. Penanda kehidupan material minimal bangsa itu telah direnggut oleh kelalaian dan keabaian sedemikian.
Kini minyak goreng bukan sedang tidak ada, tapi langka dan mahal. Dan banyak pihak berpikir bagaimana menjadikannya mudah dan murah, bukan menaikkan daya beli warga untuk bisa mudah mendapatkannya.
Ah, barangkali butuh pawang untuk menangkalnya. Banyak hal aneh belakangan ini. Air tanah dalam kendi, kendi kecil menolak hujan, merebus bisa menggantikan menggoreng, dll.
Mungkin kita sedang berjalan ke belakang.