Ceknricek.com — Mayjend (Purn) Kivlan Zen menggugat Jenderal (Purn) Wiranto secara perdata dalam kasus pembentukan pasukan pengamanan (Pam) swakarsa tahun 1998. Kivlan menuduh Wiranto ingkar janji sehingga merugikan dirinya secara materiel maupun imateriel. Konflik dua pensiunan tentara ini merupakan cerita bersambung yang seakan tanpa akhir.
Mulanya, kedua tokoh ini saling polemik di media massa. Masing-masing telah menulis buku yang antara lain menyinggung masalah tersebut. Kivlan menulis buku berjudul “Konflik dan Integrasi TNI Angkatan Darat” yang merupakan pengembangan tesis S2 di Universitas Indonesia. Mantan Kepala Staf Komando Strategis Angkatan Darat (Kas Kostrad) ini adalah penyandang gelar Magister Social Development dari Pascasarjana UI tahun 2002.
Sedangkan Wiranto menulis buku pada 2003, berjudul “Bersaksi di Tengah Badai”. Buku biografi ini sekaligus membantah isi buku Kivlan khusus perihal Pam Swakarsa.
Mulanya, Kivlan menagih utang Wiranto dengan cara persuasif. Wiranto sempat bilang kepada pers, Kivlan sering minta duit kepadanya. Wiranto seakan ingin membangun kesan bahwa Kivlan selalu minta derma kepadanya. Padahal yang sebenarnya terjadi, Wiranto memiliki utang kepada Kivlan yang mesti dia bayar.
Sejatinya, sudah sejak 2004 Kivlan ingin menggugat Wiranto dalam kasus tersebut. Namun entah kenapa itu diulur-ulur sampai sekarang. Kala itu, Kivlan menghitung utang Wiranto kepadanya berjumlah Rp5,7 miliar. Ia memiliki bukti-bukti cukup detail dan lengkap. “Ini untuk meluruskan sejarah,” ucap Kivlan kala itu.
Baca Juga: Kivlan Zen Ajukan Gugatan Perdata ke Wiranto Demi Capai Kesepakatan
Kini, Kivlan ditahan dengan dakwaan kasus makar. Ia telah meminta kepada Wiranto yang saat ini menjadi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan untuk memberi jaminan penangguhan penahanan atas dirinya. Bukannya membantu, bahkan konon Wiranto paling keras menolak penangguhan penahanan atas diri eks anak buahnya itu. Nah, lantaran itulah Kivlan mengangkat kasus yang sudah terendam lama tersebut. Bukan Rp5,7 miliar yang diminta Kivlan. Ia menuntut ganti rugi Rp1 triliun kepada eks Panglima ABRI ini.
Kerugian yang dimaksud mencakup material dan imaterial. Material sebesar Rp8 miliar karena harus menjual rumah, mobil, dan mencari pinjaman untuk menanggung pembentukan PAM Swakarsa. Untuk imaterial, Rp100 miliar, sebagai ganti dalam menanggung malu karena utang, dan tuntutan Rp100 miliar karena Wiranto tidak memberikan jabatan yang ia dijanjikan. Tuntutan Rp500 miliar lagi, sebagai ganti rugi karena mempertaruhkan nyawa dalam PAM Swakarsa.
Kivlan juga menuntut Rp100 miliar karena dipenjarakan sejak 30 Mei 2019, serta mengalami sakit dan tekanan batin sejak bulan November 1998 sampai dengan sekarang dengan ganti rugi Rp184 miliar.
Gugatan Kivlan terhadap Wiranto yang diajukan ke PN Jaktim teregistrasi dengan nomor perkara 354/Pdt.G/2019/PN Jkt.Tim.
Seperti juga dalam bukunya, Wiranto membantah gugatan yang disampaikan Kivlan Zen itu. “Nanti ada bahan-bahan resmi menyeluruh, saya jelaskan. Tapi, semuanya itu tidak benar,” ujarnya, Selasa (13/8).
Panglima Pam Swakarsa
Pam Swakarsa dibentuk menjelang Sidang Istimewa (SI) MPR, 10-13 November 1998. SI MPR diperlukan, pasca lengsernya Presiden Soeharto, untuk menjaga proses pergantian kepemimpinan nasional secara demokratis, maka diperlukan perubahan TAP MPR tentang GBHN, termasuk perubahan waktu pemilu yang semua dilaksanakan tahun 2002 menjadi tahun 1999.

Kala itu, massa anti-SI yang disinyalir didukung secara diam-diam oleh para purnawirawan ABRI seperti Kemal Idris, Haryadi Darmawan, Harsudiono Hartas, Hariyanto PS, Syaful Sulun dan Benny Moerdani ingin menggagalkan peristiwa penting itu. Mereka menghendaki terbentuknya pemerintahan koalisi nasional dan MPR revolusi tanpa pemilu dan Perubahan TAP MPR.
Dalam kondisi inilah muncul ide pembentukan Pasukan Pam Swakarsa. Pasukan ini beranggotakan pemuda dari ormas Islam. Pasukan sipil inilah yang dipersiapkan untuk menandingi kekuataan massa anti-SI. “Wiranto yang jadi panglima Pam Swakarsa. Dia yang memerintahkan pembentukan pasukan itu,” ujar Kivlan seperti dikutip majalah Dewan Rakyat edisi 5 Juli 2004. Sedangkan Kivlan, di dalam pasukan ini adalah sebagai pelaksana lapangan.

Kivlan menceritakan secara detail tentang proses pembentukan pasukan sipil tersebut dalam buku berjudul “Konflik dan Integrasi TNI Angkatan Darat”. Pada 4 November 1998, sekitar pukul 15.30, Wiranto memanggil dirinya di Mabes ABRI Jalan Merdeka Barat dan memintanya untuk mengerahkan massa pendukung SI. “Kiv, kok orang anti-SI semua. Saya dengar kamu mengerahkan massa untuk masuk di MPR. Nah, kamu kerahkan lagi pendukung SI. Ini juga perintah dari Presiden Habibie,” begitu kira-kira Jenderal Wiranto berujar, kala itu.
“Dulu Bapak copot saya, saya sudah tidak punya jabatan sekarang. Mengapa saya dipanggil?,” Kivlan bertanya. Kala itu, Kivlan sudah dicopot dari jabatannya sebagai Kas Kostrad.
“Ah, itu kan kehendak Pangkostrad Djamari Chaniago. Sudahlah, kamu kerahkan massa lagi. Nanti kamu saya kasih jabatan kalau selesai,” janji Jenderal Wiranto yang kala itu sebagai Panglima ABRI.
Kivlan ragu untuk menjalankan perintah Wiranto itu sebab risikonya amat besar. Namun Wiranto tetap minta agar Kivlan melaksanakan. Pertemuan itu berlangsung empat mata selama 15 menit. Soal pendanaan awal, Wiranto mengarahkan Kivlan untuk bertemu pengusaha Setiawan Djodi dan Staf Wakil Presiden Jimly Asshidiqie. Sore itu juga, mereka bertemu dan Djodi memberikan dana awal.
Ketika itu, belum ada istilah Pam Swakarsa, tetapi pendukung SI. Dengan adanya pendukung SI, yang ikut membantu pengamanan sidang MPR, maka moral prajurit ABRI kembali meningkat. Sejak awal direncanakan, pendukung SI ditempatkan berhadapan massa kontra SI, aparat seolah-olah kemudian melerai.
Kivlan dicopot dari jabatan Kaskostrad pada 20 Juni 1998. Namun, meski tanpa jabatan resmi ia menerima perintah Panglima ABRI tersebut karena perintah itu juga merupakan perintah presiden, seperti kata Wiranto.
Sebagal tindak lanjut perintah Wiranto, pada malam 4 November 1998 diadakan pertemuan pampinan ormas Islam dan pondok pesantren di rumah dinas DPA di Jalan Ampera.
Dari rapat itu ada komitmen mengerahkan massa sebanyak 30.000 orang. Bala bantuan massa datang Banten, Jabotabek, Jawa Barat, Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Makassar.
Baca Juga: Wiranto Bantah Gugatan yang Diajukan Kivlan Zen
Pertemuan kedua dengan Wiranto dilangsungkan ketika diadakan rapat pada 9 November 1998 di rumah dinas Panglima ABRI di Jalan Denpasar Raya sekitar pukul 09.00-10.00. Hadir Panglima ABRI Jenderal Wiranto, Kapolda Metro Jaya Mayjen Pol Nugroho Djajusman, Pangdam Jaya Mayjen Djaya Suparman, Mayjen Kivlan Zen dan seorang penghubung Kivlan Zen dengan Pangab, Kolonel Aditiyawarman Thaha.
Dalam rapat tersebut disepakati bahwa tugas pokok Kodam adalah mengamankan Pam Swakarsa apabila terjepit, dengan operasi Pam Swakarsa di depan menghadapi massa dan ABRI di belakangnya.

Pam Swakarsa ini menghadapi ribuan massa yang mengepung MPR. Akibatnya korban pun berjatuhan. Dari pihak pendukung SI 4 orang tewas di Cawang dari kalangan Ambon Muslim yakni Wahidin Nulete, Sulhan Lestaluhu, Mansur Ula dan Budi Marassabesy.
Kelompok Pam Swakarsa ini pada awalnya bernama Kiblat tetapi diubah oleh Nugroho Jayusman menjadi Pam Swakarsa. Atas perintah Nugroho, awalnya Pam Swakarsa berada di baris depan, ABRI di belakang. Tetapi tanggal 13 Nopember 1999, akhir sidang, ABRI di depan dan Pam Swakarsa di dekat Jakarta Hilton Convention Center (JHCC) dan sekitar Senayan.
Bentrokan antara aparat keamanan dan massa tak terhindarkan, maka pecahlah peristiwa Semanggi I dengan tewasnya 6 mahasiswa.
SI berhasil dilaksanakan untuk mengubah GBHN, khususnya tentang pemilu yang dimajukan tahun 1999 dan menghasilkan MPR yang murni tanpa campur tangan ABRI.
Akan tetapi, cerita tak berhenti di sini. Wiranto belakangan justru menolak bertanggung jawab atas kekurangan dana Pam Swakarsa. Bahkan ia juga cuci tangan akan adanya pasukan sipil ini.
Padahal setelah SI selesai, Wiranto menerima berkah. Dia tetap berada pada posisinya sebagai Menhankam Pangab. Sementara Kivlan sebagai pelaksana di lapangan menanggung beban utang kepada berbagai restoran Padang.

Kivlan mencoba minta dana kepada Wiranto. Tapi, ia terus dipimpong dan diarahkan untuk minta kepada Presiden Habibie. “Saya datang ke Habibie. Lewat Jimly Assidiqie, staf ahli presiden, saya menerima bantuan Rp1,2 miliar. Kekurangannya disuruh minta ke Wiranto,” kenang Kivlan. Tapi begitulah, sepeser pun Wiranto tidak mengeluarkan dana yang diminta.
Lantaran dana itu tak cair, Kivlan pontang-panting mencari dana di kalangan pengusaha nasional. Tapi angka sumbangan itu belum juga menutup biaya operasional. Ia pun harus rela menjual rumah dan mobilnya untuk membayar utang-utangnya kepada sejumlah warung makan, selain untuk membayar kekurangan biaya operasional Pam Swakarsa lainnya. “Rumah dan mobil saya cuma laku Rp900 juta. Jumlah itu jauh dari cukup untuk menutup utang,” kata Kivlan.
Kivlan meyakini dana penggalangan itu ada. Kemudian dalam sidang perkara korupsi uang Bulog untuk pembagian Sembako, yang melibatkan Akbar Tanjung dan Yayasan Raudhatul Jannah, jumlah dana untuk pengamanan Sidang Istimewa itu terungkap Rp10 miliar.
Wiranto muncul sebagai saksi dalam perkara Akbar Tanjung. Dia mengakui menerima dana untuk biaya pengamanan Sidang Istimewa MPR sebesar itu. “Tapi tidak satu sen pun dana itu turun guna membiayai Pam Swakarsa,” kata Kivlan.
Hal yang menyakitkan lagi, kendati sukses menggalang Pam Swakarsa, Wiranto ingkar janji untuk memberikan job yang layak untuk Kivian. Nah, inilah yang dituntut Kivlan saat ini.
BACA JUGA: Cek AKTIVITAS KEPALA DAERAH, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini