Ceknricek.com — Tugas Fachrul Razi sebagai Menteri Agama atau Menag salah satunya adalah memerangi kaum radikal. Begitu diucapkan Presiden Joko Widodo ketika menunjuk bekas Wakil Panglima TNI ini sebagai pembantunya. Rupanya, karena itu Fachrul terkesan nabrak-nabrak. Bikin gaduh. Bukannya, memerangi radikalisme, dia justru merangsang lahirnya kaum radikal.
Begitu usai dilantik pada 23 Oktober 2019, pensiunan tentara yang mengaku hanya hafal Juz Amma atau juz ke-30 dalam Al Quran ini, sudah bicara kontroversial terkait radikalisme.
Gaduh pertama Fachrul di Kemenag adalah saat menyatakan ingin membatasi penggunaan cadar dan celana cingkrang di instansi pemerintah. Ia mengaitkan penggunaan cadar dan celana cingkrang dengan radikalisme. Dia menyinggung alasan keamanan.
“Kita tidak melarang niqab, tapi melarang untuk masuk instansi-instansi pemerintah, demi alasan keamanan. Apalagi kejadian (penusukan terhadap) Pak Wiranto yang lalu,” ucap tokoh Hanura ini dalam Lokakarya Peningkatan Peran dan Fungsi Imam Tetap Masjid di Hotel Best Western, Jakarta, Rabu (30/10).
Tentu saja, pernyataan Fachrul ini mendapat respon negatif masyarakat. “Kalau kita lihat bom Thamrin itu pakai blue jeans, Pak. Di New Zealand yang menembaki masjid itu pakaian milenial. Kelompok kriminal bersenjata di Papua itu bukan celana cingkrang yang membunuh tentara dan sipil,” sergah Ketua Komisi VIII DPR RI Yandri Susanto dalam Rapat Kerja Menteri Agama RI dengan Komisi VIII DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (7/11).
Politisi Partai Amanat Nasional atau PAN ini mengingatkan agar Menteri Fachrul hati-hati karena menghakimi orang terlalu dini pun juga menjadi soal serius.
Belum lagi gaduh soal cadar reda, Fachrul menggagas sertifikasi penceramah. Menurutnya itu untuk merespons gerakan radikalisme yang sudah masuk ke mimbar-mimbar masjid. Dia bilang, saat ini banyak penceramah yang membodohi umat dengan menggunakan dalil-dalil agama.
Tak berhenti di sini. Menag juga menerbitkan Peraturan Menteri Agama Nomor 29 Tahun 2019 tentang Majelis Taklim. Aturan itu mengharuskan pendaftaran majelis di kantor Kementerian Agama untuk dapat Surat Keterangan Terdaftar.
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haidar Nasir, menganggap pemerintah terlalu mengatur ranah aktivitas keumatan di akar rumput. Ketua PB NU KH Abdul Manan Gani menganggap peraturan itu akan merepotkan majelis taklim, ustaz, maupun jamaah. Wakil Ketua Persatuan Islam Jeje Zainudin menilai, aturan ini adalah justifikasi untuk mengawasi pengajian. Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia menganggap implementasi PMA tak akan efektif.
Baca Juga: Majelis Taklim Jadi Sasaran
Biar anjing menggonggong kafilah tetap berlalu. Selanjutnya, Kemenag merombak pelajaran agama Islam, terutama terkait khilafah. Bentuknya, perombakan 155 judul buku pelajaran agama Islam. Beberapa di antaranya dirombak karena mencantumkan konten khilafah. Belakangan, Fachrul menyampaikan kebijakan itu telah dirumuskan sejak masa Menag Lukman Hakim Saifuddin.
Kemenag juga menerbitkan Surat Edaran B-4339.4/DJ.I/Dt.I.I/PP.00/12/2019 tertanggal 4 Desember 2019 yang memerintahkan revisi terhadap konten-konten ajaran terkait khilafah dan jihad dalam pelajaran agama Islam di madrasah.
Dalam kurikulum tahun ajaran 2020/2021, konten khilafah dan jihad tak lagi diajarkan dalam mata pelajaran Fiqih, melainkan hanya lewat mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam.
Surat Izin Mubaligh
Meski tidak selalu sama dan sebangun, umat Islam di negeri ini sudah beberapa kali mengalami peristiwa yang hampir mirip dengan situasi dan kondisi terakhir ini, serta mendapati peraturan yang mirip dengan peraturan yang baru keluar ini. Meski pelaku dan intensitasnya sedikit berbeda, perulangan sejarah adalah sebuah keniscayaan.
Fachrul adalah tokoh kelahiran Banda Aceh, 26 Juli 1947. Ia produk Orde Baru. Dia paham betul bagaimana kebijakan-kebijakan pemerintah Orde Baru dalam menekan umat Islam.
Baca Juga: Menag Fachrul Razi Pastikan Misinya Sama dengan Para Kiai
Tengok saja di era Orde Baru. Dengan dalih keamanan dan ketertiban, pada era 1970-1980-an, Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) mengeluarkan Surat Izin Mubaligh (SIM). Mubaligh, ustaz, kiai, maupun ajengan yang tak mengantongi SIM, bisa diberhentikan khotbahnya, diturunkan dari mimbar, atau bahkan diciduk dan diinapkan di tahanan Kodim atau Laksus (Pelaksana Khusus) Kopkamtib daerah.
Pada tahun 1978, Departemen Agama juga pernah mengeluarkan peraturan untuk mengawasi dakwah. Misalnya, Peraturan Menteri Nomor 44 Tahun 1978, Peraturan Menteri Agama Nomor 9 Tahun 1978, dan Peraturan Pengganti Nomor 3 Tahun 1978. Berdasarkan aturan-aturan itu, isi khotbah yang akan disampaikan kepada lebih dari 300 orang jemaah, termasuk lewat radio, harus disaring dan diseleksi lebih dulu oleh Departemen Agama.
Goeroe Ordonnantie
Hal yang sama pernah terjadi pula di masa Hindia Belanda. Salah satu kebijakan pemerintah Hindia-Belanda yang menekan umat Islam adalah Goeroe Ordonantie atau Peraturan Pemerintah tentang Guru. Goeroe Ordonantie pertama dikeluarkan tahun 1905. Guru yang dimaksud di sini adalah guru agama Islam. Sebab, dengan Ordonansi ini, Pemerintah Hindia Belanda mewajibkan setiap guru agama Islam meminta dan memperoleh izin terlebih dahulu sebelum mulai bertugas sebagai seorang guru agama.
Goeroe Ordonantie digagas pemerintah Hindia Belanda pasca pemberontakan petani Banten, 1888. Kala itu–tahun 1890–Karel Frederik Holle, Penasehat Kehormatan Urusan Pribumi di Departemen Layanan Sipil (Adviseur Honorair voor Inlandsche Zaken bij het Departement van Binnenlandsch Bestuur) menyarankan agar pendidikan agama Islam diawasi. Sebab, kata Holle, pemberontakan petani Banten dimotori para haji dan guru-guru agama. Sejak itu terjadi perburuan para guru agama, ustaz, kiai, dan ajengan di Pulau Jawa.
Demi penyeragaman pengawasan guru-guru agama Islam, Holle menyarankan agar Bupati melaporkan daftar guru di daerahnya tiap tahun. Pada 1904, Snouck Hurgronje–pengganti Holle–mengusulkan agar pengawasan guru-guru agama meliputi izin khusus dari Bupati, daftar guru dan muridnya, sementara pengawasan oleh Bupati harus dilakukan suatu panitia. Setahun kemudian, lahirlah peraturan tentang pendidikan agama Islam yang terkenal dengan nama Goeroe Ordonantie. Ordonansi berlaku di Jawa-Madura kecuali di Yogyakarta dan Solo, dan diundangkan dalam Staatsblad 1905 nomor 550.
Salah satu isi Goeroe Ordonantie yang dimuat dalam Staatsblaad 1905 nomor 550, antara lain adalah: seorang guru agama Islam baru dibenarkan mengajar bila sudah memperoleh izin dari Bupati. Izin itu baru diberikan apabila guru agama itu jelas-jelas bisa dinilai sebagai “orang baik”, dan pelajaran yang diberikannya tidak bertentangan dengan keamanan ketertiban umum.
Baca Juga: Celana Cingkrang, Berjenggot, dan Kaum Radikal
Guru agama Islam juga harus mengisi daftar murid, di samping harus menjelaskan mata pelajaran yang diajarkannya. Bupati atau instansi yang berwenang boleh memeriksa daftar itu sewaktu-waktu. Guru agama Islam bisa dihukum kurungan maksimum delapan hari atau denda maksimum dua puluh lima rupiah, bila mengajar tanpa izin, atau lalai mengisi atau mengirimkan daftar itu; atau enggan memperlihatkan daftar itu kepada yang berwenang, berkeberatan memberikan keterangan, atau enggan diperiksa oleh yang berwenang.
Dua dasawarsa berselang, Goeroe Ordonantie 1905 yang mewajibkan guru-guru agama Islam meminta “izin praktik”, dinilai kurang efisien. Sebab, laporan tentang guru agama dan aktivitasnya–yang secara periodik dilaporkan Bupati–dinilai kurang meyakinkan. Di samping itu, situasi politik masa itu dinilai sudah tak lagi memerlukan “pemburuan” guru agama. Maka, pada tahun 1925 dikeluarkanlah Goeroe Ordonantie yang baru.
Berbeda dengan Goeroe Ordonantie pertama, Goeroe Ordonantie kedua hanya mewajibkan guru agama melaporkan diri dan kegiatan mereka, bukan lagi meminta “izin praktek”. Namun kedua ordonansi ini sama saja fungsinya: menjadi media pengontrol bagi pemerintah kolonial untuk mengawasi sepak terjang para pengajar dan penganjur agama Islam di negeri ini.
Beleid baru ini tak hanya berlaku di Jawa-Madura saja. Sejak Januari 1927, Goeroe Ordonantie kedua juga diberlakukan di Aceh, Sumatera Timur, Riau, Palembang, Tapanuli, Manado, dan Lombok. Pada tahun tiga puluhan Goeroe Ordonantie kedua berlaku pula di Bengkulu.
Dalam praktiknya, seperti Goeroe Ordonantie pertama, Goeroe Ordonantie kedua juga bisa dimanfaatkan untuk menghambat pengajaran Islam, meski itu bukan tujuan yang tercantum dalam ordonansi.
“Ketika sejarah berulang, hal tak terduga selalu terjadi, dan akhirnya kita menyadari, betapa manusia tidak pernah belajar dari pengalaman…”
Pernyataan filsuf Irlandia George Bernard Shaw di awal abad 19 itu kini terbukti. Perang terhadap kaum radikal itu hanyalah pengulangan dari apa yang pernah terjadi di masa Hindia Belanda. Ah, jangan-jangan Menteri Fachrul juga menjiplak pikiran-pikiran dan cara-cara yang dipakai Snouck Hurgronje.
BACA JUGA: Cek POLITIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini