Ceknricek.com — Pemilu serentak 2019 yang memanggul komplikasi pengadministrasian yang teramat ruwet, boleh disebut sebagai sebuah tindakan nekat nasional. Pencoblosan bersamaan dalam satu momen paslon capres dan anggota DPR, DPD dan DPRD adalah mimpi indah sebuah kreatifitas politik untuk melahirkan demokrasi yang bermutu tinggi.
Segudang kisruh yang mengiringi pascapemilu 17 April 2019 malah menjebak bangsa ini ke dalam genangan komplikasi persoalan yang memantik ketegangan dan konflik di berbagai sektor.
Sumber : Berita Center
Publik merasakan masih rendahnya kualitas profesionalitas penyelenggara pemilu dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), akibatnya mendorong dua kubu kontestan melanjutkan perseteruan jilid dua yang sudah membara delapan bulan sebelum hari puncak.
Sumber : Gema.id
Ketegangan yang menjalar hampir ke seluruh sektor kehidupan kita hari ini menjadi mimpi buruk demokrasi. Yang sangat menakutkan dan mencekam masyarakat karena kedua kontestan telah mengklaim kubunya yang menjadi pemenang.
Kubu yang satu mengklaim sejak hari pertama pencoblosan telah mengantongi jumlah perolehan suara sebesar 62% berdasarkan hasil survei internal mereka yang diyakini akurasinya. Sementara kubu yang satunya lagi baru saja mendeklarasikan kubu mereka telah mengantongi suara sejumlah delapan puluh juta.
Apa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat hari ini? Bagaimanakah kondisi riil di lapangan? Yang pasti situasi dan kondisi sangat mengkhawatirkan, mencemaskan bahkan mencekam. Tindakan kedua kubu kontestan mengumumkan klaim kemenangan, mengirim pesan pihak yang satunya harus terkalahkan.
Sumber : Radar
Kemana KPU sebagai penentu peraih suara yang diamanatkan konstitusi? Sulit mengharapkan keberhasilan KPU meyakinkan masyarakat. Sejak awal, pada tahapan persiapan Pemilu saja KPU berulang kali terjebak dalam berbagai blunder yang menggerus kepercayaan masyarakat. Data dan fakta tentang ini cukup banyak jejaknya di internet.
Ketika pelaksanaan pencoblosan sudah selesai, berbagai kesalahan entry data, anomali situng dan kematian lima ratusan petugas KPPS semakin menyudutkan KPU. Serta merta banyak mata dan telunjuk diarahkan kepadanya. Namun, masyarakat masih menghargai sikap komisioner KPU dan Bawaslu yang masih tetap tegar dan bekerja terus menunaikan tugas mereka.
Seperti apakah solusi yang akan disepakati para pihak untuk mengendalikan hari-H 22 Mei? Bagaimana solusi menyelamatkan bangsa ini dari perpecahan? Dengan apa trauma mimpi buruk dapat digeser menjadi mimpi indah demokrasi?
Dalam situasi yang krusial seperti ini, diperlukan tokoh pemersatu yang berkualifikasi nasional, diterima semua pihak. Integritas dan netralitasnya tidak diragukan. Rekam jejaknya meyakinkan sebagai tokoh yang bukan sejenis mereka yang gampang menjual prinsip.
Tokoh yang pas dan memenuhi kualifikasi sebagai pemersatu bangsa yang sedang dilanda konflik tajam saat ini adalah Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Namun, JK yang berada di dalam lingkaran puncak kekuasaan nampaknya lebih memilih menjadi tim nasional pemenangan Jokowi-Maruf.
Mungkin karena terbilang tidak netral, nama JK tidak bergaung di langit politik sebagai sosok alternatif solusi peredam konflik anak bangsa yang sedang memanas ini.
Tapi itulah harga sebuah pilihan politik. Politik itu ibarat permainan lari berputar, tidak jelas siapa yang mengejar siapa.
*Zainal Bintang, wartawan senior dan pemerhati masalah sosial budaya.