Ceknricek.com — ERA pers bebas mengalami disrupsi luar biasa hebat. Kemajuan teknologi telah mengubah cara pandang dan cara kerja jurnalistik. Perubahan itu tidak begitu enak didengar. Hasil survei Dewan Pers dan Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), lebih dari 60 persen wartawan di lapangan tidak begitu mematuhi Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
Kebebasan pers akhirnya terbukti memang kebablasan. Begitu banyak faktor yang membuat kebebasan menjadi kebablasan baik secara internal maupun eksternal. Faktor internal, diduga kualitas dan integritas para jurnalis dan lembaga pers yang menurun. Faktor eksternal, kemajuan teknologi dan kekuatan kekuasaan lebih mendominasi sehingga pers tunduk pada kekuasaan.
Menurut Dr. Abdullah Khusairi, MA pada dua esainya yang dimuat secara online, Matinya Peran Investigasi Reporting dan Disrupsi Media Massa, perlu ada pemikiran dan gerakan baru untuk jurnalisme agar peran pers menjadi tumpuan dan harapan publik untuk pengawasan kekuasaan. Bukan ikut dalam kekuasaan dan memunggungi publik.

Khusairi mengutip pernyataan saya dari sebuah diskusi ketika ngopi suatu siang, sehingga saya ingin menerangkannya lebih lanjut melalui tulisan ini. Bahwa peran kontrol sosial yang melemah karena ketergantungan iklan pada Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD) bagi pers daerah sebenarnya sudah lama terjadi. Namun sebenarnya itu bukan alasan yang kuat untuk tidak memberi kritik dan saran yang tajam kepada pemerintah setempat. Justru sebenarnya secara internal, kekuatan dan kemauan jurnalis mesti ditopang dengan wawasan dan strategi peliputan.
Ada harapan pada organisasi profesi, seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), kembali mengobarkan semangat baru, pers berkualitas! PWI dalam kabar terbaru yang dirilis menyatakan akan bekerja sama dengan MPR RI bersepakat untuk menjalankan sosialisasi Kode Perilaku Wartawan dan Empat Pilar Kebangsaan. Mungkin maksud baik ini perlu diapresiasi. Namun kita harus tetap kritis, kemandirian pers mestinya terjaga dan siaga dari godaan-godaan kekuasaan. Pilar-pilar demokrasi harusnya tidak menjadi pilar-pilar kekuasaan. Pilar demokrasi, eksekutif, legislatif, yudikatif dan pers, mestinya saling menghormati dan menjaga jarak. MPR-RI adalah lembaga tinggi negara yang perlu diawasi. Kerja sama keduanya diharapkan tidak mencederai sikap kritis pers terhadap legislatif. MPR-RI adalah legislatif dalam pilar demokrasi.
Baca Juga: PWI Dan MPR-RI Kerjasama Sosialisasi Amandemen UU 45 & Kode Perilaku Wartawan
Maksud baik kerja sama MPR-RI-PWI tentu saja harus diapresiasi. Lewat kerjasama sosialisasi itu bagi MPR RI untuk mendapatkan masukan dari berbagai kalangan terhadap Amandemen UUD 45 dan 4 Pilar Kebangsaan. Sementara bagi PWI sendiri, momen yang berdurasi tiga tahun, hingga 2022 itu dimanfaatkan mensosialisasikan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan Kode Perilaku Wartawan yang baru disahkan PWI.
“Penataan kode etik dan kode perilaku wartawan di era kemerdekaan pers sangat mendesak. Banyak wartawan, terutama generasi baru yang belum sepenuhnya menghayati kode etik sebagai konsep operasional moral wartawan dalam bekerja,” ujar Ilham Bintang, Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat.

Pemikiran dan gerakan idealisme pers harusnya tumbuh dan mekar di hati para wartawan di Indonesia. Kemajuan teknologi semestinya menjadi penopang yang kuat dalam bekerja dan meningkatkan profesionalisme. Inilah cara yang baik untuk kembali merebut hati publik di tengah berkibarnya media sosial dengan viral, tsunami hoax, fake news, yang membuat gaduh. Pers memang membuat riuh tetapi ketertiban berpikirnya dijaga undang-undang, berbeda dengan media sosial walau sudah ada UU ITE tetapi ia hanya bisa dijerat bila ada yang mengadu karena dirugikan. Sementara peran dan pengaruhnya justru lebih berbahaya jika dipandang dari sisi idealnya dunia pengabaran kita.
Persoalan pers indonesia tidak terlepas dari soal kebebasan tekanan dari luar dirinya maupun dari dalam dirinya; profesionalisme para wartawannya; upah layak bagi yang sudah profesional. Persoalannya kini, Dewan Pers tidak bisa menjangkau secara menyeluruh, ada peran organisasi wartawan dan lembaga pers. Dua yang terakhir membutuhkan support dari para wartawan, akademisi, cendekiawan dan lembaga swadaya masyarakat, yang masih menyimpan mimpi negeri ini kian baik menjalankan misi kesejahteraan, keadilan, dan kemakmuran.
Pada akhir tulisan ini, saya mengutip tentang kesadaran publik, pihak berkepentingan untuk memahami bencana komunikasi yang kian memasuki tahap akut. Menurut Ketua Jurusan Komunikasi Fisip Unand, Dr. Emeraldy Chatra, M.Si bencana komunikasi ditandai perilaku yang masif dan bertentangan norma budaya, hukum dan kesusilaan akibat perkembangan komunikasi, seperti pelacuran online yang terjadi tanpa bisa dikontrol, perjudian online menjadi umum di kalangan anak sekolah dan perempuan, game online lebih penting daripada ibadah, serta cyberbullying dan cybercrime terjadi di mana-mana.
Tanggung jawab insan pers hari ini adalah membenahi diri dan lingkungannya untuk kembali kepada asas-asas kehidupan pers yang bersih dan mengemban kepentingan publik dengan baik. Bukan tergoda dengan politik kekuasaan dan ekonomi lalu abai dengan harga diri.
*) Penulis adalah Wartawan Senior.
Sumber: Tulisan yang sama sudah terbit di Harian Padang Ekspres, Sabtu 30 November 2019 di TERAS UTAMA.
BACA JUGA: Cek OLAHRAGA, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini