Close Menu
CEK&RICEKCEK&RICEK
  • Home
  • Headline
  • Berita
    • AKTIVITAS PRESIDEN
    • AKTIVITAS KEPALA DAERAH
    • AKTIVITAS MENTERI
    • POLITIK
    • JURNALISTIK
    • BREAKING NEWS
    • LINGKUNGAN HIDUP
    • KESEHATAN
    • BISNIS INDUSTRI
    • EKONOMI & BISNIS
    • HUKUM
    • SOSIAL BUDAYA
    • INTERNASIONAL
    • OLAHRAGA
  • Pengetahuan
    • SOSOK
    • SEJARAH
    • BIOGRAFI
    • BUKU & LITERATUR
    • TEKNOLOGI & INOVASI
    • RISET & DUNIA KAMPUS
  • ENTERTAINMENT
    • FASHION & BEAUTY
    • FILM & MUSIK
    • SELEBRITI
    • KOMUNITAS
    • FOOD REVIEW
    • WISATA
    • DUNIA KESEHATAN
    • SENI & BUDAYA
    • PARENTING & KIDS
    • TIPS & TRIK
    • TEATER
  • Opini
Tentang Kami Kontak Kami
  • APP STORE
  • GOOGLE PLAY
Facebook X (Twitter) Instagram YouTube
CEK&RICEKCEK&RICEK
Trending:
  • 8 Tempat Berburu Takjil di Jakarta Saat Ramadhan
  • Bareskrim Tangkap Direktur Persiba Balikpapan Terkait Kasus Narkoba
  • Dialog Ramadan Lintas Agama: Puasa sebagai Sarana Menahan Diri dan Membangun Kebersamaan
  • Rantai Korupsi Tambang Nikel
  • Lady Gaga Bakal Gelar Konser di Singapura pada Mei 2025
Facebook X (Twitter) Instagram YouTube
  • Home
  • Headline
  • Berita
    • AKTIVITAS PRESIDEN
    • AKTIVITAS KEPALA DAERAH
    • AKTIVITAS MENTERI
    • POLITIK
    • JURNALISTIK
    • BREAKING NEWS
    • LINGKUNGAN HIDUP
    • KESEHATAN
    • BISNIS INDUSTRI
    • EKONOMI & BISNIS
    • HUKUM
    • SOSIAL BUDAYA
    • INTERNASIONAL
    • OLAHRAGA
  • Pengetahuan
    • SOSOK
    • SEJARAH
    • BIOGRAFI
    • BUKU & LITERATUR
    • TEKNOLOGI & INOVASI
    • RISET & DUNIA KAMPUS
  • ENTERTAINMENT
    • FASHION & BEAUTY
    • FILM & MUSIK
    • SELEBRITI
    • KOMUNITAS
    • FOOD REVIEW
    • WISATA
    • DUNIA KESEHATAN
    • SENI & BUDAYA
    • PARENTING & KIDS
    • TIPS & TRIK
    • TEATER
  • Opini
CEK&RICEKCEK&RICEK
  • Home
  • Headline
  • Berita
  • Pengetahuan
  • ENTERTAINMENT
  • Opini
Home»Opini

Mitigasi Resesi Ekonomi

Opini January 3, 20208 Mins Read

Ceknricek.com — “When your neighbor loses their job, it’s a recession. When you lose your job, that’s a depression!” — (Harry S Truman).

Indonesia belum menghadapi resesi, apalagi depresi. Namun demikian gejala menuju resesi semakin terlihat jelas. Bagai kapal yang datang dari seberang lautan, tiang layarnya semakin detik semakin terlihat dari pantai. Begitupun dengan resesi ekonomi. Bagaimanapun dan apapun kondisinya, kita harus bersiap untuk tetap berada pada kondisi terbaik.

Lonceng resesi bisa terdengar dari riuh perang dagang Amerika Serikat (AS) dengan China. Dampak perang dagang terakhir, dalam Global Economic Risks and Implication for Indonesia (September 2019), Bank Dunia telah mengidentifikasi beberapa indikasi yang dapat menimbulkan resesi global.

Sumber: The World Bank

Pertama, gejala yang datang dari pasar obligasi Pemerintah AS. Menurut Indef, sejarah resesi AS umumnya dimulai dengan gejala kurva yield terbalik (inverted yield curve) atas surat utang AS bertenor 2 tahun dan 10 tahun. Artinya, yield obligasi pemerintah AS bertenor jangka panjang (10 tahun) justru lebih kecil dibandingkan yield obligasi jangka pendek (2 tahun).

Baca Juga: Ekonomi Global 2020: Berat!

Sumber: akuntan

Gejala kedua adalah, ekonomi Uni Eropa yang belum bangkit dari zona degradasi, tapi malah justru semakin menunjukkan ke arah pelemahan. Pertumbuhan ekonomi Eropa menunjukkan perlambatan dari 1,7% pada kuartal 1 tahun 2019, menjadi 1,4% pada kuartal 2 tahun 2019. Terakhir pada kuartal 3, angka pertumbuhan masih sama dengan kuartal 2 sebesar 1,4%.

Jerman yang digadang-gadang menjadi mesin penggerak ekonomi Eropa pasca Brexit, masih terseok. Dengan porsi 21% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Uni Eropa, menurut Macroeconomic Policy Institute, kemungkinan Jerman jatuh dalam jurang resesi mencapai hamper 60%.

Sumber: Istimewa

Sektor manufaktur Jerman yang mengandalkan pasar ekspor terpapar dampak perang dagang AS-China hingga gejolak Brexit. Akibat melemahnya sektor manufaktur Jerman, ekonomi Jerman pun terus merosot dari 0,4% pada kuartal 1 tahun 2019 menjadi -0,2% pada kuartal 2 tahun 2019.

Gejala ketiga, perlambatan ekonomi China yang terus terjadi. Pertumbuhan ekonomi China pada kuartal 2 tahun 2019 hanya sebesar 6,2%. Angka pertumbuhan ini merupakan level terendah dalam tiga dekade terakhir.

Salah satu sebab rendahnya pertumbuhan ekonomi Negeri Panda ini adalah output industri China mengalami pertumbuhan terendah sejak 2002 yaitu hanya naik 4,4% (yoy) per Agustus 2019, lebih rendah dibandingkan Juli 2019 (4,8%). Angka pertumbuhan tersebut jauh dari target yang telah dipatok oleh pemerintah China yakni pada level 6%. Sebab utama turunnya output industri China tidak lepas dari anjloknya ekspor China ke AS hingga 16% (yoy) per Agustus 2019.

Sumber: Istimewa

Gejala ke empat kinerja ekonomi makro domestik. Hal ini terlihat dari pertumbuhan ekonomi pada kuartal 2 tahu 2019 yang telah dirilis Badan Pusat Statistik atau BPS. Angka pertumbuhan ekonomi Indonesia berada pada leval 5,02%, lebih rendah dibandingkan dengan kuartal 2 tahun 2019 yang sebesar 5,17%.

Baca Juga: Mencermati Kondisi Global 2020

Munculnya gejala-gejala tersebut di atas, perlu adanya tindakan nyata dari otoritas untuk memitigasi risiko yang bisa muncul.

Ibarat orkestra, menurut Indef, kolaborasi antarpemain musik menjadi kunci penting dalam menghasilkan suara harmoni yang indah. Namun sebaliknya, apabila tidak ada harmoni antarpemain musik orkestra, maka musik orkestra yang dihasilkan tidak lagi indah.

“Analogi tersebut berlaku di perekonomian nasional. Dalam rangka memitigasi risiko resesi ekonomi, maka kolaborasi antar pemangku kebijakan adalah sebuah keniscayaan,” tulis Indef dalam outlooknya, belum lama ini.

Mitigasi Bidang Moneter

Meski tahun ini Bank Indonesia tidak disibukkan dengan inflasi tinggi, namun Bank Indonesia disibukkan bagaimana menstimulus ekonomi melalui instrumen suku bunga. Secara tahunan, inflasi berada pada level 3,13% (yoy). Capaian inflasi ini jauh pada rentang tengah target 3,5%. Hingga akhir tahun, tingkat inflasi diprediksi di bawah 3,5% (yoy).

Sumber: Istimewa

Menurut Indef, hal ini sejalan dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi triwulan II dan triwulan III, sehingga tidak ada dorongan lonjakan permintaan.

Inflasi yang rendah menjadikan otoritas moneter sedikit lega. Namun, di sisi lain terdapat tantangan hebat dari otoritas moneter yakni bagaimana menjadikan instrumen moneter bisa menstimulus pertumbuhan ekonomi agar tidak terus melambat.

Bank sentral telah menurunkan suku bunga acuan (7-days repo rate) sebesar 100 basis poin dari 6% menuju 5% (20 Juni 2019 – 19 September 2019). Penurunan ini lebih cepat dibandingkan dengan penurunan yang sama (100 basis poin dari  5,25% ke 4,25 % pada periode 19 Agustus 2016 – 22 September 2017).

Meski penurunan suku bunga acuan sudah lakukan, tapi dampaknya masih diperdebatkan, ada atau tidak. Secara teori, dampak penurunan suku bunga acuan terhadap suku bunga kredit tidak langsung terasa dalam sekejap mata, namun setidaknya ada jeda yang diperlukan. Pertanyaan yang harus diajukan adalah berapa lama jeda yang dibutuhkan? Sekiranya sektor apa yang akan terdampak?

Penurunan suku bunga kredit selama 2016 hingga Agustus 2019 hanya berkisar 0,98% untuk suku bunga kredit modal kerja dan 0,95% untuk suku bunga kredit peruntukan investasi. Suku bunga kredit modal kerja turun dari 11,38% pada 2016 menjadi 10,4% pada Agustus 2019. Sedangkan suku bunga kredit untuk investasi turun dari 11,21% pada 2016 menjadi 10,16% di Agustus 2019.

Namun sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu dilihat gejala bahwa perbankan akan kesulitan untuk menyalurkan kredit meski suku bunga turun. Alasan yang paling kentara adalah Loan to Deposit Ratio (LDR) perbankan yang tinggi disertai dengan seretnya mencari Dana Pihak Ketiga (DPK).

Seretnya DPK bisa dilihat dari pertumbuhan DPK yang melambat. Apa pasal? Setidaknya ada dua hal; pertama, uang masyarakat diinvestasikan di instrumen lain, dalam hal ini emas dan kedua, uang masyarakat menjadi rebutan antara pemerintah dan perbankan. Kenaikan harga emas menjadi salah satu sinyalnya.

Dalam rentang waktu hampir 4 bulan, harga spot emas per gram di Indonesia naik sekitar 13,44%. Kenaikan tersebut terjadi dari Rp580 ribu (14 Mei 2019) menjadi Rp660 ribu (10 November 2019). Apabila dirunut sejak awal tahun, maka kenaikan harga emas diperkirakan telah naik sebesar 25%.

Sebab kedua adalah rebutan dana antar perbankan dengan pemerintah. Fiskal pemerintah dipastikan tidak sebagus tahun lalu di tengah penerimaan pajak yang seret. Penerbitan surat utang menjadi jalan keluar yang ditempuh pemerintah untuk menggaet dana masyarakat dengan bunga kompetitif dan risiko nol persen.

Mitigasi Bidang Fiskal

Melihat sisi moneter yang sudah maksimal dalam mengeluarkan jurus-jurus penangkal resesi ekonominya namun belum dibarengi dengan hasil yang optimal, maka instrumen fiskal menjadi tumpuan. Hal ini karena direct effect yang ditimbulkan dari kebijakan fiskal lebih cepat dibandingkan dengan kebijakan moneter. Sayangnya, fiskal 2019 tidak sebagus tahun-tahun sebelumnya.

Sumber: Makermover.id

Baca Juga: Dahlan Iskan: Tahun MoveOn

Target penerimaan pajak diperkirakan akan meleset pada tahun 2019 ini. Kementerian Keuangan mencatat, per Oktober 2019 penerimaan pajak baru mencapai Rp1.018,47 triliun (64,56% dari target) atau hanya tumbuh 0,23 % yoy. Tingkat pertumbuhan ini lebih rendah apabila dibandingkan dengan 2018. Perlambatan penerimaan pajak ini merupakan buah dari perlambatan ekonomi yang melanda perekonomian Indonesia.

Pertumbuhan penerimaan pajak beberapa sektor negatif. Penerimaan pajak dari sektor manufaktur tumbuh negatif 3,5% (sampai Oktober 2019, yoy). Angka ini melambat dibandingkan dengan kinerja tahun lalu sebesar 12,4%.

Pertumbuhan negatif pajak sektor manufaktur juga disebabkan oleh tingginya restitusi pajak yang tumbuh sekitar 30,8%. Kemudian di sektor pertambangan, pertumbuhan penerimaan sektor pertambangan negatif 22,1%. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan tahun 2018 yang mencapai 67,5%.

Salah satu penyebab kontraksi ini adalah penurunan harga komoditas tambang di pasar global yang masih berlanjut. Pada  sektor perdagangan, pertumbuhan sektor perdagangan hanya 2,5%, berbeda dengan tahun lalu sebesar 25%.

Melihat kinerja penerimaan pajak yang tidak sebaik dengan penerimaan tahun lalu, menurut Indef, maka probabilitas shortfall penerimaan pajak dan juga APBN 2019 semakin besar. Jika demikian yang terjadi maka, optimalisasi fiskal dengan direct effect langsung akan terganggu akibat defisit APBN yang melebar. Kondisi ini mengharuskan agar moneter-fiskal saling berkolaborasi lebih dalam dan lebih luas dalam rangka antisipasi resesi ekonomi.

Kolaborasi Moneter-Fiskal

Kolaborasi dua instrumen ekonomi tersebut di atas adalah sebuah keniscayaan. Ketika moneter sudah mengeluarkan jurus-jurusnya, maka instrumen fiskal harus bisa didorong untuk menjadikan dampak dari kebijakan moneter semakin cepat terasa dampaknya. Otoritas fiskal menjadi penentu ujung tanduk arah ekonomi Indonesia dalam mitigasi resesi.

Di tengah keterbatasan penerimaan fiskal, pemerintah harus mengkolaborasikan program-program antar-kementerian. Selama ini, program antar-kementerian terkesan berjalan sendiri-sendiri. Sebagai contoh Kementerian Sosial memiliki Program Keluarga Harapan (PKH), Kementerian Koperasi dan Usaha UKM memiliki belanja program peningkatan UKM di sebuah desa A, sedangkan pemerintah kabupaten/provinsi juga memiliki program kegiatan di desa A tersebut.  Di sisi lain, dalam desa A ini juga terdapat program dana desa.

Sumber: Istimewa

Keempat program tersebut di berbagai locus di Indonesia tidak jarang berjalan sendiri-sendiri. Idealnya, keempat jenis belanja tersebut harus saling terkait dan melengkapi. Contohnya untuk program PKH, bagi keluarga yang sudah mentas/terlepas/lulus dari program PKH, diharapkan menjadi sasaran program dana desa yang dikelola oleh pemerintah desa setempat. Misalnya, anggota keluarga yang lulus sekolah dari keluarga penerima PKH bisa diutamakan untuk terlibat dalam pengelolaan BUMDes yang merupakan bagian dari program dana desa.

Kolaborasi di sisi fiskal tersebut, meski terkesan remeh temeh, akan menghasilkan belanja pemerintah yang efektif dan tepat sasaran. Hal tersebut bisa dikolaborasikan dalam jejaring yang lebih besar misal antar pemerintah dan swasta dengan tidak melupakan entitas moneter.

Sekali lagi, kolaborasi menjadi kata kunci untuk antisipasi resesi sebelum kita benar-benar “kehilangan pekerjaan”. Pada akhirnya, kolaborasi tersebut bisa menstimulus sisi suplai perekonomian yang bersentuhan langsung dengan pasar, yakni masyarakat di pedesaan. Sebagai booster-nya, telah ada kebijakan moneter yang mendukung untuk akselerasi scale up ekonomi melalui peningkatan kapasitas modal.

BACA JUGA: Cek FILM & MUSIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini

#Ekonomi #mitigasi Opini resesi
Share. Facebook Twitter Telegram WhatsApp Email

Related Posts

Rantai Korupsi Tambang Nikel

Ironi Dunia Penerbangan Indonesia

Generasi Beta, Selamat Datang

Add A Comment
Leave A Reply Cancel Reply

Sedang Tren

8 Tempat Berburu Takjil di Jakarta Saat Ramadhan

Ceknricek.com — Menjelang waktu berbuka puasa, berburu takjil menjadi salah satu tradisi yang paling dinantikan selama…

Bareskrim Tangkap Direktur Persiba Balikpapan Terkait Kasus Narkoba

March 10, 2025

Dialog Ramadan Lintas Agama: Puasa sebagai Sarana Menahan Diri dan Membangun Kebersamaan

March 10, 2025

Rantai Korupsi Tambang Nikel

March 10, 2025

Lady Gaga Bakal Gelar Konser di Singapura pada Mei 2025

March 10, 2025

Nikita Willy Bagikan Tips Tetap Bugar Saat Berpuasa

March 10, 2025

Hasil Liga Italia: Atalanta Permalukan Juventus 4-0

March 10, 2025

Ironi Dunia Penerbangan Indonesia

March 10, 2025
logo

Graha C&R, Jalan Penyelesaian Tomang IV Blok 85/21, Kav DKI Meruya Ilir, Jakarta Barat. redaksi@ceknricek.com | (021) 5859328

CEK & RICEK
Telah diverifikasi oleh Dewan Pers
Sertifikat Nomor
575/DP-Verifikasi/K/X/2020

Facebook X (Twitter) Instagram YouTube
  • Headline
  • Berita
  • Pengetahuan
  • ENTERTAINMENT
  • Opini
© 2017-2025 Ceknricek.com Company. All rights reserved.

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.