Ceknricek.com–Tidak bisa dipungkiri bahwa Rupert Murdoch – lelaki kelahiran Australia yang kemudian menjadi warga negara Amerika – adalah “raja” dalam artian yang cukup luas.
Ketika diumumkan bahwa Rupert Murdoch mengundurkan diri dari jabatannya sebagai pimpinan dalam media, termasuk Televisi FOX dan News Corporation – dua-duanya berkedudukan di Amerika Serikat dan News Corp juga bermarkas di Australia – dunia semesta alam seakan gempar! Pada hal Rubert Murdoch kini sudah berusia 92 (sembilan puluh dua tahun) usia yang cukup lanjut, mengingat rata-rata di Barat kebanyakan orang memasuki usia pensiun pada umur 65 tahun.
Segala ini menunjukkan “kedahsyatan” si buyut tua ini!
Tidak mengherankan kalau Presiden Amerika Serikat Joe Biden menyebut Rupert Murdoch sebagai “manusia paling berbahaya di dunia”.
Pada hal senjatanya hanyalah sekadar “kata-kata” alias jurnalisme. Mungkin ada benarnya juga bahwa “kata-kata adalah sesuatu yang sangat kuat; apakah ketika ditulis atau diucapkan, kata-kata memiliki dampak terhadap diri yang mengucapkannya dan juga pihak lain. Karena kata-kata menyalurkan perasaan dan membagi pengetahuan (dengan pihak lain). Kata-kata dapat mengubah perasaan seorang seratus persen dan mencetuskan bara api dalam sanubari yang membaca atau mendengarnya. Kata-kata adalah senjata, laksana bom!”
Karenanya juga tidak mengherankan kalau Presiden Amerika George W. Bush (Bush muda) pernah menjuluki pimpinan Pesantren Al-Mukmin di Ngruki, Solo, Abu Bakar Ba’asyir sebagai “manusia paling berbahaya di dunia.” Pada hal beliau ke mana-mana hanya mengenakan kemeja koko putih, kain sarung dan sandal jepit.
Namun pihak berwajib di Indonesia ternyata mampu menggelandangnya ke dalam sel penjara.
Tidak dapat dipungkiri keampuhan peranan Rupert Murdoch dalam percaturan politik paling tidak di 3 negara – Amerika Serikat, Inggris dan Australia.
Umumnya dikatakan bahwa peranan media Rupert Murdoch dalam memenangkan calon presiden dari Partai Republik Amerika, Donald Trump, dalam pilpres AS 2016 cukup besar. Namun ketika dalam pilpres AS tahun 2020, saluran Televisi Rupert Murdoch – FOX News – melakukan kesalahan (blunder) sangat fatal.
Dan kesalahan atau kecerobohan alias kelancangan (kebohongan, keculasan?) itu harus dibayar sangat mahal.
Kisahnya: ketika suara pemilih dalam pilpres 2020 di Amerika selesai dihitung, ternyata lawan Donald Trump dari Partai Demokrat, Joe Biden, memperoleh mayoritas dan karenanya berhak menjadi presiden berikutnya.
Cuma, sebagaimana sama diketahui, Donald Trump sama sekali tidak bersedia menerima kekalahan tersebut. Berbagai daya upaya dan siasat dilakukannya untuk membalikkan hasil pilpres tersebut, antara lain dengan menuding adanya kelicikan pihak-pihak tertentu yang dengan sengaja “mencuri” hasil pemilihan yang dikatakannya memenangkannya. Dan sampai sekarang pun Donald Trump tetap pada tudingannya itu, dan lucunya puluhan juta pendukungnya sampai sekarang masih meyakini tudingan idola mereka, Donald Trump.
Dalam pilpres AS 2020 itu, suara para pemilih dihitung dengan menggunakan Sistem Penghitungan Suara Dominion.
Dalam siarannya Televisi Fox, melalui komentator nomor satunya, Tucker Carlson, yang disebut-sebut sebagai komentator paling besar gajinya di Amerika, serta paling pro kubu Donald Trump dianggap telah melecehkan Sistem Dominion, dan tetap bersiteguh Donald Trump-lah yang memperoleh suara mayoritas.
Sistem Penghitungan Suara Demonion tentu saja merasa tersinggung dan berpendapat bahwa nama baiknya telah dicemari. Gugatan diajukan ke pengadilan dalam mana Dominion menuntut ganti rugi sampai 1,6 miliar dolar.
Televisi Fox (alias Rupert Murdoch) ternyata ciut dan menawarkan ganti rugi hampir 800-juta dolar Amerika sebagai bentuk perdamaian di luar pengadilan. Dominion menerima tawaran tersebut, dan Tucker Carlson ghaib laksana ditelan bumi.
Rupert Murdoch juga pernah harus tampil dalam sidang dengar pendapat parlemen di Inggris gegara ulah medianya di negara itu.
Di kampung halamannya Australia, Rupert Murdoch juga memiliki pengaruh yang sangat besar.
Dalam tahun 2018 yang menjabat sebagai Perdana Menteri Australia adalah Malcolm Turnbull, seorang milyarwan, namun tidak sampai sekaya Rupert Murdoch.
Malcolm Turnbull pernah berkiprah sebagai jurnalis dan kemudian beralih karir menjadi tajir dan juga berhasil, lantas menceburkan diri dalam politik di pihak Partai Liberal, yang suka dianggap berhaluan agak ke kanan dibanding lawan utamanya Partai Buruh.
Waktu itu, demikian dilaporkan oleh banyak kalangan, Perdana Menteri Malcolm Turnbull, diduga kuat akan menerapkan kebijakan yang lebih ramah terhadap lingkungan, yang pada gilirannya dapat merugikan cukup banyak pengusaha, terutama di bidang energi.
Rupert Murdoch dikatakan sama sekali tidak berkenan dengan sikap Malcolm Turnbull itu, dan dikatakan telah mengungkapkan agar “Malcolm Turnbull yang merupakan pemegang mandat dari mayoritas rakyat Australia, harus disingkirkan.”
Dan memang Malcolm Turnbull kemudian tersingkir dalam pemungutan suara di kalangan para anggota parlemen dari fraksi Partai Liberal.
Tidak mengherankan kalau Malcolm Turnbull ketika menanggapi berita bahwa Rupert Murdoch memutuskan untuk mengundurkan diri dari Televisi Fox dan News Corp, mengatakan bahwa “Murdoch adalah biang pemecah belah rakyat di Australia.”
Agaknya yang dimaksudkannya adalah bahwa koran-koran serta radio swasta niaga dan televisi milik Rupert Murdoch di Australia punya kemampuan untuk “membina dan membentuk opini” para pembaca, pendengar serta pemirsa medianya.
Namun demikian ternyata Rupert Murdoch tidak mampu untuk “mengatur” hasil pemilu bulan Mei tahun lalu di Australia yang dimenangkan dengan sangat meyakinkan oleh Partai Buruh.
Kata-kata adalah senjata ampuh?
Apakah benar kata-kata punya daya yang cukup ampuh?
Mungkin saja. Tapi boleh-jadi tidak selamanya.
Saya punya pengalaman langsung tentang “daya kata-kata” – khusus ketika masih menjadi broadcaster, terutama sewaktu saya diminta oleh Radio Delta di Jakarta untuk menjadi wartawan sekaligus penyiar (alias broadcaster) Radio Delta ketika baru didirikan dalam tahun 1994.
Saya diminta untuk menyajikan bentuk siaran yang beda dari radio-radio swasta niaga lainnya di Indonesia waktu itu yang umumnya berfungsi hanya sebagai “penghibur” para pendengar. Saya diminta agar melakukan siaran yang sesuai dengan cita-cita konstitusional NKRI, yakni “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Terdengar memang agak bombastis, pongah bahkan takabur!
Saya menganggapnya sebagai tantangan. Delta jual saya beli! Begitu kira-kira.
Waktu awal berkiprah stasiun dan kantor Radio Delta terletak di Kebagusan, Jakarta. Rekan-rekan sejawat suka bergurau bahwa pemilihan Kebagusan sebagai tempat stasiun Radio Delta, adalah suatu kesengajaan. Tempatnya agak “terpencil”, hingga, kata rekan-rekan sesama di Radio Delta “Kalau Pak Harmoko (Menteri Penerangan Orde Baru waktu itu) tidak berkenan dengan siaran-siaran Bang Nuim, dia akan kesulitan melacak di mana letak radio kita.” Hahaha.
Meski kami tetap memutar lagu, namun siaran Radio Delta waktu itu memang lain daripada yang lain. Di antara lagu-lagu yang kami perdengarkan, saya mengutip berbagai berita atau laporan sejumlah koran Jakarta waktu itu untuk dikomentari. Kalau sesuai dan perlu dibanding-bandingkan dengan tata-cara berbagai pemerintah di negara demokrasi lainnya. Awalnya siaran kami yang diudarakan sejak jam 6 pagi WIB itu sampai jam 10, laris manis dan Radio Delta berhasil mendaki ke dekat puncak popularitas di kalangan pendengar di Jakarta. Paling tidak begitulah laporan yang disampaikan kepada saya.
Kami pun semakin berani dan kecaman-kecaman terselubung kian sering diutarakan. Dan tanggapan pendengar juga kian menggebu. Sampai-sampai ada pendengar yang mengaku tidak akan masuk ke parkiran di bawah gedung perkantoran tempatnya bekerja sebelum siaran pagi selesai, karena jika berada di bagian bawah gedung siaran Radio Delta tidak tertangkap.
Tanggapan-tanggapan pendengar yang disampaikan lewat telpon maupun surat banyak yang nyaris tidak masuk akal. Misalnya tanggapan seorang perempuan yang mengaku tidak pernah membayangkan ada pekerja di Jakarta (misalnya pembersih parit) yang gajinya secuil.
“Bagaimana mereka bisa hidup?” tanyanya.
Namun ketika mendengar bahwa bis-bis Patas juga mulai merelay siaran Radio Delta, dan para penumpang kemudian membahasnya sewaktu lagu diperdengarkan, saya pribadi merasa was was. Kalau orang “gedongan” yang menjadi pendengar kami, penguasa ORBA waktu itu kami rasa tidak akan peduli karena mereka jadi orang “kedongan” berkat ORBA. Tapi kalau penumpang angkutan umum yang ikut mendengarkan kami, maka berarti bahaya mengancam.
Ternyata benar!
Pada suatu hari Kamis, hanya baru tiga bulan mengudara, saya menerima telepon dari seorang mantan pejabat tinggi di Kementerian Penerangan dan TVRI, yang saya kenal. Dia mengundang saya makan siang selesai salat Jumat keesokan harinya. Firasat saya memang tepat. Pasti ada kabar buruk yang akan disampaikannya. Oleh sebab itu saya meminta seorang petinggi Radio Delta agar menemani saya.
Betul saja. Pejabat tadi mengaku baru datang dari Istana Negara. Tanpa banyak basa basi dia langsung ke jantung persoalan.
“Pak Harto itu sangat sayang pada anak-anaknya. Namun radio yang dimiliki putra beliau (Trijaya FM) tidak seberani Pak Nuim. Karenanya mulai Senin Pak Nuim hanya boleh putar lagu dan komentari penyanyi atau lagu-lagunya!”
Saya langsung mengundurkan diri dari Radio Delta yang kelahirannya turut saya bidani. Dan saya kembali ke “pangkalan” yakni Radio Australia di Melbourne, Australia.
“Diadili” oleh Mensesneg Moerdiono
Dalam tahun 1996 John Howard yang terpilih sebagai Perdana Menteri Australia melakukan “sowan” ke Jakarta dan saya ditugasi untuk ikut meliput kunjungannya itu untuk Radio Australia.
Ketika berada di halaman Istana Negara untuk meliput pertemuan antara PM John Howard dan Presiden Soeharto bersama-sama para wartawan Australia lainnya, bahu saya tiba-tiba ada yang memegang. Ternyata seorang Letkol. ABRI yang mengajak saya ke sebuah ruangan di mana sudah menunggu salah seorang pejabat paling berkuasa waktu itu di Indonesia, Menteri Sekretaris Negara Letjen. Moerdiono.
Habis-habisan saya dimarahi dan dikecam gegara siaran-siaran saya dua tahun sebelumnya melalui Radio Delta.
“Orang mau menikmati hasil pembangunan, kamu suruh orang berpikir!” hardiknya sambil menyeka hidungnya.
Dia mengancam akan mencabut paspor RI saya. Ketika saya katakan bahwa untuk itu harus melalui proses di pengadilan dia menghardik: “Mau saya telpon hakim sekarang ini?”
Dan dia menyangsikan kesahihan paspor hijau saya yang dikeluarkan oleh Konsulat Jenderal RI di Melbourne.
Saya beranikan diri untuk mendebatnya meski dia didampingi beberapa orang anggota ABRI.
“Anda tidak tahu bahwa di Indonesia bukan hanya ada paspor merah dan hitam, tetapi juga paspor hijau untuk rakyat jelata seperti saya!”
Moerdiono terdiam mungkin karena bosan dan saya “dibebaskan”.
Ternyata kata-kata lewat siaran radio dianggap begitu berbahaya!
Insya Allah lain kali saya akan cerita tentang hubungan saya dengan Moerdiono ketika dia sudah menjadi Mantan Mensesneg. Tunggu tanggal mainnya.#