Ceknricek.com — Tak semua film-film yang dibuat ulang atau yang akrab disebut remake atau reborn atau reboot, berhasil diterima dengan baik oleh khalayak. Setidaknya lebih dari segambreng film-film daur ulang yang faktanya gagal total, misalnya Catatan Harian si Boy, Jomblo, Benyamin Biang Kerok, Maju Kena Mundur Kena dan yang terakhir ialah Nagabonar Reborn.
Kesalahan dasar film-film daur ulang ini ialah mengadaptasi persis film lama, dengan aktor dan sutradara baru (terkadang sutradaranya sama seperti Jomblo), tanpa mempertimbangkan aspek situasi kondisi penonton yang baru. Akibatnya, film-film daur ulang terkesan usang, tak punya nilai tambah, tak ayal sebuah masakan lama namun dengan sayuran yang baru.
Dalam film Nagabonar Reborn, sebenarnya di sebagian awal film penonton akan merasakan pembaharuan yang cukup mengesankan. Misalnya diceritakan tentang ayah Nagabonar (Roy Marten), lalu Nagabonar yang lahir di tengah sambaran petir berbentuk naga (agak konyol sebenarnya), hingga masa kecil Naga.

Film juga masih cukup menarik ketika memasuki masa penjajahan Jepang, sesuatu yang memang tidak diceritakan dalam film Nagabonar (1987). Hingga saat ini, penonton khususnya yang pernah menonton film Nagabonar yang diperankan Deddy Mizwar, rasanya masih terhibur, meski narasi-narasi dangkal (seperti penculikan Kirana yang terkesan dipaksakan) dalam alur cerita sudah nampak terlihat.
Kekacauan mulai terlihat setelah Puan Maharani (ya betul, Ketua DPR RI periode 2019-2024) berorasi mengikuti jejak kakeknya, Soekarno dalam membakar jiwa para masyarakat Indonesia usai Proklamasi Kemerdekaan. Sejak orasi yang sebenarnya cukup unik itu berlangsung, plot langsung ibarat copy paste dari film lawas Nagabonar.
Seperti adegan pembagian pangkat, diskusi garis demarkasi, penyergapan tentara Belanda, semuanya sama persis dengan adegan di Nagabonar (1987), tanpa ada pembaharuan, termasuk dialog-dialog seperti “Apa Kata Dunia” yang sebenarnya dimaksudkan untuk unsur humor. Mungkin yang membedakan hanyalah Bujang tidak mati dalam film, sehingga salah satu kutipan Nagabonar tentang Bujang (yang justru sebenanrya ciri khas dari Jendral copet itu) tak muncul dalam film ini.
Sebagai film berlatar belakang perang, film ini juga tak menunjukkan sisi artistik dalam adegan perangnya. Efek visual yang ditampilkan tak berbeda dari animasi flash era 2000-an awal, seperti adegan lempar bambu runcing yang menancap ke leher, hingga adegan tertembak dan ledakan yang terlihat seperti animasi kotor. Malahan, adegan perang dalam film Nagabonar era 70-an masih lebih menarik meski dengan modal teknologi yang seyogyanya tak secanggih saat ini.
Baca Juga: “Nagabonar Reborn” Hadir Usung Nasionalisme dan Perempuan
Tentu, kita harus memberi rasa hormat kepada Gading Marten yang memerankan Nagabonar. Dengan berbagai upayanya, dirinya sudah berusaha untuk mengikuti logat anak Medan, meski memang masih kurang sempurna. Namun segala daya dan upaya yang dilakukan Gading tak cukup mengangkat film yang memang bernarasi dangkal ini.
Begitu pula dengan para pemeran pembantu seperti Citra Kirana (Kirana), Ence Bagus (Bujang), hingga Doni Damara, yang nampaknya hanya melengkapi dari ambisi tren reborn dari sang sutradara, Dodi Setiadi itu. Nama terakhir itu sepertinya akan menjadi kambing hitam, lantaran film ini seperti kehilangan arah dalam menentukan genre. Jika drama, maka tidak ada adegan dramatis yang layak dinikmati.
Jika komedi, maka nuansa humor yang ditimbulkan dalam film justru terkesan dipaksakan atau garing. Apalagi jika dianggap film perang, tak ada seni artistik perang dalam film ini.
Kritik juga perlu diberikan kepada penggambaran tokoh Nagabonar dalam film ini. Pasalnya, Nagabonar di film ini tak ayal seorang Medan yang ceroboh, bahkan menembakkan pistol saja tidak bisa, yang kebetulan ketiban durian runtuh karena terlibat perang dan menjadi Jenderal. Berbeda dengan penggambaran dalam film asli, yang menunjukkan bahwa Nagabonar ialah masyarakat (bahkan sampah masyarakat karena copet), yang rela angkat senjata dan melakukan apapun demi negara.
Dengan segala hormat, jika memang ingin menonton Nagabonar yang memang sarat pesan dan membakar semangat jiwa nasionalisme bangsa, maka lebih baik kembali saja menonton film lawas Nagabonar di tahun 1987 itu. Kalau hanya memanfaatkan tren daur ulang film tanpa menghadirkan nilai tambah apapun, apa kata dunia?
BACA JUGA: Cek Berita SELEBRITI, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.