Ceknricek.com — Indonesia adalah negara besar. Jumlah penduduknya mencapai 264 juta. Negeri ini membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Pertumbuhan 5% tidak cukup untuk mengatasi kemiskinan dan pengangguran.
Setidaknya begitu, inti omongan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro pada saat membuka seminar yang membahas soal RPJMN 2020-2024 bersama OECD di Kantor Bappenas, Rabu (9/10). “Makanya kita butuh pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi lagi,” tuturnya.
Persoalannya, selama Joko Widodo memimpin, pertumbuhan ekonomi Indonesia terjebak di angka keramat 5% itu. Pada tahun ini, proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia juga tidak akan berubah: 5,08%.
Baca Juga: Maaf, Daya Saing Kita Memang Payah
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Suahasil Nazara, mengatakan estimasi tersebut masih sesuai dengan kondisi perekonomian global. Lagi pula, perkiraan tersebut juga tidak terpaut jauh dari angka yang dikeluarkan Bank Dunia.
Menurut laporan Bank Dunia, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2019 diperkirakan akan tetap berada di angka 5%.
Bank Dunia menyebut, perkiraan itu dikeluarkan karena angka perdagangan yang juga terkontraksi. Selain itu, pendapatan masyarakat Indonesia di luar negeri juga tidak tumbuh sesuai harapan sebelumnya.
“Akibatnya, nilai ekspor kita juga ikut menurun. Penurunan ekspor akan mempengaruhi sektor-sektor lain seperti manufaktur. Perkiraan yang dikeluarkan Bank Dunia tidak berbeda jauh dengan angka kami,” katanya, seperti dikutip Bisnis, Jumat (11/10).
Laporan Bank Dunia
Bank Dunia dalam laporan bertajuk “East Asia dan Pacific Economic Update October 2019: Weathering Growing Risk” yang diluncurkan oleh Bank Dunia pada Kamis (10/10) menyebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksikan tumbuh dengan capaian sebesar 5,1% pada 2020 dan 5,2% pada 2021. Meski demikian, Bank Dunia menekankan sejumlah tantangan yang akan dihadapi Indonesia pada tahun depan.
Salah satunya adalah perang dagang antara China dan Amerika Serikat. Tensi perang dagang yang kembali memanas dengan ancaman tindakan balasan China terhadap kebijakan Amerika Serikat (AS) akan berpengaruh terhadap peningkatan risiko perdagangan dunia dan proyeksi pertumbuhan ekonomi China.
Eskalasi tersebut secara langsung akan berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi di kawasan serta harga komoditas, dan dapat mengancam pertumbuhan ekonomi Indonesia. Selain itu, kondisi tersebut juga berpotensi memperlebar defisit transaksi berjalan karena pendapatan dari sektor ekspor mengalami kontraksi.
Di tengah perang dagang yang bergejolak, ekspor diproyeksikan mengalami pertumbuhan negatif dengan capaian sebesar -1% pada 2019 dan diproyeksikan akan kembali tumbuh pada 2020 dan 2021 dengan pertumbuhan sebesar 1,5% dan 2,8%.
Selain itu, nilai mata uang emerging market, termasuk Indonesia, yang pulih pada tahun lalu juga kembali terancam. Hal tersebut karena investor akan kembali menyeimbangkan portofolionya dengan aset-aset safe haven seperti US Treasury.
Imbal hasil obligasi yang lebih tinggi diikuti dengan naiknya biaya pinjaman akan berpengaruh terhadap situasi kredit yang akhir-akhir ini mengalami pemulihan. Dalam jangka panjang, hal tersebut juga akan mempengaruhi nilai investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Baca Juga: Bank Dunia Prediksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun Ini 5,1%
Tantangan lain yang harus dihadapi Indonesia adalah mengurangi kesenjangan. Berdasarkan data dari Bank Dunia, dalam rentang waktu Maret 2018 hingga Maret 2019, setidaknya 28 provinsi di Indonesia sukses mengurangi angka kemiskinan.
Sementara itu, enam provinsi lain menunjukkan tren kenaikan angka kemiskinan. Fenomena ini terutama terjadi pada bagian timur Indonesia. Provinsi Papua merupakan wilayah dengan angka kemiskinan tertinggi di Indonesia dengan 27,5%, terpaut jauh dengan Jakarta sebagai provinsi dengan angka kemiskinan terendah, yakni 3,5%.
Ekonomi Digital
Bambang mengatakan pertumbuhan ekonomi 5% tidak mampu untuk mengatasi seluruh persoalan perekonomian di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia, faktanya hanya segitu-gitu saja. Di tengah ketidakpastian dan perlambatan ekonomi global, Bambang mengatakan pertumbuhan ekonomi dengan rentang hanya sampai 5% begitu riskan.
Jika menengok ke belakang pun, rata-rata pertumbuhan ekonomi sejak 1969 sampai 2018, selalu menurun. Pertumbuhan ekonomi rata-rata pada tahun 1968-1979 Indonesia tumbuh 7,5%.
Sementara rata-rata pertumbuhan ekonomi pada 1988-1996, berada pada kisaran 6,4%. Terus turun menjadi 5,3% pada tahun 2000-2018.
Maka dari itu, dibutuhkan upaya yang ekstra untuk meningkatkan dan mengembangkan pertumbuhan ekonomi. Bambang berpendapat perlunya Indonesia melakukan transformasi pengolahan hasil sumber daya alam [SDA] dan manufaktur. Juga tidak kalah adalah meningkatkan devisa dari pariwisata, untuk bisa menekan defisit neraca pembayaran (Curent Account Defisit/CAD). “Dalam ekonomi digital, kita juga akan meningkatkan lewat startup-startup yang sedang berkembang,” tuturnya.
Baca Juga: Gagal Bayar Bisa Giring Krisis Seperti 1997
Menurutnya, untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, terdapat beberapa tantangan, yakni peraturan tidak mendukung penciptaan dan pengembangan bisnis, dan bahkan cenderung membatasi, terutama pada peraturan investasi. Selain itu juga, lembaga-lembaga di Indonesia berkualitas rendah dan maraknya korupsi dan birokrasi yang tidak efisien. Serta lemahnya koordinasi antar kebijakan.
“Regulasi aktivitas perdagangan juga seharusnya ditangani dalam jangka waktu yang singkat dan harus tepat. Karena itu kita harus memperbaikinya, baik dari sisi kebijakan dan institusi/kementerian itu sendiri,” tuturnya.
BACA JUGA: Cek INTERNASIONAL, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.