Ceknricek.com — Bak sinetron, Pemerintahan Joko Widodo sudah berderet mengeluarkan paket kebijakan ekonomi. Tak tanggung-tanggung. Pada periode pertama kekuasaannya, Jokowi telah menelurkan 16 paket kebijakan ekonomi. Jadi seperti cerita bersambung saja. Anehnya, paket-paket kebijakan ini tak banyak punya pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Investasi pun belum bisa dibanggakan. Tumpul.
Kini, sedikit demi sedikit menjadi jelas penyebabnya. Paket-paket dari istana itu ternyata tidak berjalan seperti yang diskenariokan. Nah, soal ini bisa ditengok dari kebijakan presiden tentang harga gas untuk industri.
Kebijakan ini merupakan paket kebijakan ekonomi III dan kemudian dituangkan dalam Perpres No. 40 Tahun 2016. Beleid ini diteken Presiden Joko Widodo pada 3 Mei 2016. Dalam pasal 3 aturan ini, Menteri ESDM menetapkan harga jual gas tidak akan lebih tinggi dari US$6 per mmbtu. Penetapan ini dilakukan untuk tujuh industri prioritas. Industri itu adalah industri pupuk, petrokimia, baja, keramik, kaca, sarung tangan karet, dan oleokimia. Sayang seribu sayang, sampai detik ini, belied itu hanya bak macan ompong saja.
Nah, ini yang membuat Jokowi masygul. Kekecewaan ini disampaikan Presiden saat menggelar rapat terbatas tentang ketersediaan gas untuk industri di Kantor Presiden Komplek Istana Negara, Jakarta, 6 Januari lalu.
Tak berhenti di sini. Politisi di Senayan juga mulai rebut. Pada Senin (271), dalam rapat dengar pendapat (RDP), anggota Komisi VII DPR RI mencecar jajaran Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tentang masalah tersebut. “Pasokan gas pasca 2021 di sektor pupuk di badan badan usaha yang pernah bapak pimpin, belum ada kejelasan yang mereka terima,” ujar Wakil Ketua Komisi VII, Eddy Suparwoto kepada Menteri ESDM, Arifin Tasrif.
Baca Juga: Gas Bumi dan Perpres Angin Surga
Presiden langsung pada pokok persoaan. Ia meminta agar harga gas untuk industri dalam negeri mengacu kepada perpres yaitu sebesar US$6 per MMBTU. Presiden menginstruksikan agar harga tersebut dapat diwujudkan pada kuartal pertama 2020 atau paling lambat Maret 2020. Setelahnya akan dievaluasi melalui beberapa opsi lain jika hal tersebut tidak dapat diwujudkan.
Lantaran itu, Jokowi memberikan tiga opsi yang mesti dipilih sebagai solusinya. Pertama adalah pemangkasan jatah pemerintah di sisi hulu, kedua penerapan opsi domestic market obligation (DMO), lalu ketiga yakni impor gas dari luar negeri.
Opsi DMO bisa membantu mewujudkan harga gas yang tepat sasaran. Adapun kebutuhan gas industri yang diharapkan bisa dipenuhi dari DMO dan harga khusus sebanyak 320 mmscfd. Selain itu, impor pun bisa sebagai opsi atau penyeimbang jika ditemukan harga jauh lebih kompetitif.
Kini PT PGN Tbk. tengah menyiapkan diri menjalankan instruksi presiden itu. “Kami dukung tiga opsi yang disampaikan presiden,” ujar Direktur Utama PGN, Gigih Prakoso, usai RUPSLB, Selasa (21/01). “Kami pun telah berdiskusi dengan Kementerian ESDM agar bisa mencapai harga gas US$ 6 per mmbtu,” tambahnya.
Mahal
Harga energi, terutama gas dan listrik, di Indonesia kelewat mahal sehingga menjadikan industri tidak kompetitif. Ujung-ujungnya investor enggan menanamkan modalnya di sini. “Kita kalah dengan Vietnam,” ujar Eddy.
Industri keramik sebelumnya juga mengeluh hal yang sama. Indusri ini mestinya menjadi salah satu yang menikmati harga gas US$6. Hanya saja, saat ini industri keramik masih membeli harga gas yang terbilang tinggi, antara US$7,98 hingga US$9,1 per mmbtu.
Padahal bagi industri keramik harga gas berkontribusi 30-35% dari total biaya produksi. Harga gas sangat mempengaruhi daya saing industri keramik karena setelah kenaikan harga gas yang sangat tinggi, kurang lebih 55% di tahun 2013, daya saing industri keramik Indonesia langsung turun drastis. Sebelumnya industri keramik nasional mampu menggenjot ekspor di atas 15% dari total produksi, dan saat ini besaran ekspor itu diperkirakan melorot di bawah 5%.
Arifin Tasrif mengakui ada empat industri yang belum menikmati harga gas sebagaimana diatur dalam Perpres. Industri keramik masih merogoh harga US$7,7, lalu industri kaca US$ 7,5, industri sarung tangan karet US$9,9, dan oleokimia US$8 sampai US$10 per mmbtu. Artinya, industri oleokimia dan sarung tangan karet mendapat harga gas yang paling mahal di antara semua industri lain.
Dari data Kementerian ESDM, harga jual gas ini didapat dari jumlah harga gas hulu ditambah biaya penyaluran (transmisi dan distribusi). Namun, harga gas hulu lah yang menyumbang biaya terbesar, yaitu mencapai US$3,4 sampai US$8,24.
Padahal, biaya transmisi gas hanya US$0,02 sampai US$1,55. Lalu biaya distribusi US$0,2 sampai US$2, biaya niaga US$0,24 sampai US$0,58, hingga biaya iuran usaha US$0,02 sampai US$0,06.
Baca Juga: PGN Garap Lini Bisnis Penyaluran Gas Alam Terkompresi ke Konsumen
Arifin mengatakan pemerintah sudah memiliki pilihan untuk menurunkan harga gas, yaitu mengurangi bagian negara serta efisiensi penyaluran gas melalui pengurangan porsi pemerintah dari hasil kegiatan produksi gas, penurunan biaya transmisi, mengkaji ulang biaya distribusi dan niaga. “Mewajibkan Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) untuk memenuhi kebijakan DMO gas,” tandasnya.
Pelaksana tugas Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM, Djoko Siswanto, menambahkan untuk menurunkan harga gas akan menggunakan celah pengurangan harga gas dari hulu dan pengurangan biaya distribusi. “Kalau gas pipa ada biaya distribusi, margin maksimal 7%. Kalau maksimal artinya bisa di bawah itu. Coba kita lihat di bawah itu, yang bisa capai US$6 per MMBTU, berapa persen dari ICP. Bisa dilihat yang jelas peraturan yang sudah dibuat,” katanya.
Djoko melanjutkan, untuk mendapat sumber gas murah, pemerintah akan menugaskan Perusahaan Gas Negara (PGN) memborong gas alam cair (Liqufied Natural Gas/LNG) milik Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) yang belum mendapat kesepakatan pembeli. Besaran harga jual LNG ke PGN tersebut akan mempertimbangkan besaran harga di konsumen akhir sebesar US$6 per MMBTU.
“Harga lelang seusai keinginan PGN supaya dia bisa mencapai harga US$6 di industri. Kan dia ada biaya infrastruktur. Infrastruktur X kurang US$6 itulah harga dia beli (di hulu). Ini PGN lagi menghitung,” tuturnya.
Menurut Djoko, pemerintah pun akan mengurangi bagiannya dari penjualan gas tersebut, agar harga gas sampai tingkat konsumen industri mencapai US$6 per MMBTU dan produsen gas tidak dirugikan dengan penerapan mekanisme ini. Saat ini Kementerian ESDM masih menunggu besaran harga gas yang sanggup dibeli PGN.
Jika menelaah apa yang disampaikan para petinggi tadi, rasa-rasanya menurunkan harga gas bukan hal yang rumit. Anehnya, mengapa baru sekarang mereka mau bertindak. Kanapa tidak sejak Perpres No. 40 Tahun 2016 itu terbit. Mengapa mesti menunggu empat tahun. Jika gerak kerja pada pembantu presiden ini sekendang sepenarian, tentu tak perlu ada perpers yang menjadi macan ompong.
BACA JUGA: Cek POLITIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini