Oleh : Zainal Bintang
Ceknricek.com – Memperingati Hari Lahir Pancasila 1 Juni hari ini, sejatinya harus bergelimang kekhusyukan. Arti kata khusyuk menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah: tujuan, niat atau kebulatan hati, penuh penyerahan, sungguh-sungguh.
Bagaimanapun juga Pancasila adalah ideologi negara. Ia bagaikan mercusuar pemandu moralitas perjalanan kapal besar yang bernama Indonesia di dalam mengarungi samudera luas yang secara politik terkadang berperilaku buas.
Akan tetapi nyatanya hari – hari ini, kekhusyukan yang dibangun dengan susah payah oleh segenap stakeholder bangsa belum sepenuhnya ajeg. Kondisi Pancasila sejak reformasi ibarat sedang kurang sehat digerogoti ribuan masalah terutama masalah korupsi yang sudah akut di negeri ini.
Negara Pancasila sejatinya masyarakatnya Pancasilais. Tapi pada paska reformasi Pancasila telah terdegradasi dan kehilangan narasi oleh aksi – aksi kasus korupsi yang berseri. Dilakoni aktor berlatar pejabat negara yang seharusnya adalah penjaga gawang penghalau korupsi. Apalagi telah mengangkat sumpah di depan kitab suci.
Pelaku korupsi kebanyakan aktor negara mengikuti teori pemisahan kekuasaan negara atau trias politica nya Montesquieu : eksekutif, legislatif dan yudikatif atau dikenal dengan istilah la separation des pouvorius.
Tindak laku korupsi adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Karena merusak tatanan kehidupan masyarakat. Memperluas kemiskinan. Dampak buruknya itu setara dengan perbuatan terorisme. Merintangi kebahagiaan orang.
Ekses korupsi sama dengan terorisme. Dengan kata lain kelakuan koruptor sama dan sebangun dengan teroris. Hanya beda wujud dan bentuk operasionalisasinya. Kalau teroris membunuh orang lain dan juga bunuh diri. Koruptor memperkaya diri tujuh turunan, tapi orang miskin dibiarkan tetap miskin tujuh turunan.
Perbuatan korupsi penyebab kemiskinan rakyat pada sebuah bangsa. Sejumlah proyek pembangunan berantakan. Menutup lapangan kerja. Menciptakan pengangguran terbuka.
Di ujungnya memproduksi kriminalitas. Baik yang konvensional seperti perampokan, perampasan dan pembunuhan dan sejenisnya ; maupun kejahatan yang moderen dan sistemik di ranah politik.
Kejahatan di ranah politik dalam bentuk korupsi moderen. Pelakunya adalah politisi kader parpol. Formatnya korupsi berjamah yang terbuka dan tersetruktur. Bahkan terlegitimasi melalui akrobatik hukum yang multi tafsir.
Inilah sesungguhnya persoalan serius yang di hadapi Pancasila ; yang dihadapi bangsa ini, hari ini : Korupsi moderen itu!
Dari sudut pandang inilah, publik menjadi prihatin ketika terjadi pro kontra para elite bangsa atas rencana KPU (Komisi Pemilihan Umum) melarang mantan narapidana koruptor maju menjadi caleg.
Perdebatan berhari – hari belakangan ini menjadi alot dan terjebak ke dalam sandera formalisme. Alasannya karena UU No. 7/2017 tentang Pemilu derajatnya lebih tinggi daripada sekedar PKPU (Peraturan Komisi Pemilihan Umum).
Seharusnya dari awal koalisi parpol pendukung sudah satu bahasa dengan pemerintah guna mengambil jalan pintas mendorong revisi UU Pemilu. Jalan pintas di jalur politik bukan barang haram. Namanya adalah political will. Revisi UU Pemilu hari ini sangat mendesak sebagai infrastruktur moralitas terciptanya clean government untuk memotong kanker ganas extraordinary crime : korupsi moderen itu.
Rakyat sebenarnya menunggu langkah kuda presiden Jokowi. Yang seharusnya lebih vokal dan terdepan menyuarakan, “mantan napi koruptor tidak boleh ikut jadi caleg” ; dan pada waktu yang bersamaan meminta legislator Senayan segera menindak lanjuti proses revisi UU Pemilu.
Sehingga dengan narasi seperti itu, Jokowi terlindung dari tuduhan melanggar undang – undang. Pada saat yang sama mengalirkan simpati dan pujian masyarakat atas keberanian presiden mengambil resiko. Rakyat sudah berhasil diyakinkan tentang karakter pejuang yang ada pada seorang Jokowi.
Namun, karena Jokowi nyatanya tidak melakukannya, yang tercipta malah kegaduhan politik yang panjang. Menjadi tontonan sehari – hari yang kontra produktif bagi diri presiden. Akhirnya apa yang terjadi, presiden seperti terjebak menari di gendang orang lain.
Untuk melakukan jalan pintas revisi UU Pemilu yang dimaksud, kesatuan pandang parpol pendukung dengan pemerintah adalah jalan tol bebas hambatan. Apa susahnya jika memang mau? Hanya isi kitab suci saja yang tidak boleh direvisi.
Banyak contoh revisi UU telah dilakukan melalui jalan pintas politik. Bahkan di era pemerintahan Jokowi sekalipun. Sebutlah RUU Antiterorisme.
Sementara itu harus diakui, bahwa sosialisasi dan pengimplementasian nilai – nilai Pancasila sebenarnya adalah tugas pokok semua partai politik termasuk seluruh anggota DPR di semua tingkatan. Demikian juga di ranah eksekutif maupun yudikatif.
Jika dioptimalkan fungsi semua aktor penghuni lembaga trias politica itu untuk menumbuhkembangkan Pancasila di hati rakyat, hasilnya pasti masif. Karena mereka memiliki perangkat, jaringan, sistem, anggaran dan SDM yang sangat mumpuni. Digerakkan oleh motor bermesin besar, namanya negara.
Sangat boleh jadi tidak perlu ada lembaga mentereng seperti BPIP (Badan Pengelola Ideologi Pancasila). Karena yang paling jauh dapat dilakukannya adalah : indoktrinasi, penataran dan panel diskusi. Sesuatu yang sudah tidak sesuai dengan semangat zaman now.
Dengan kata lain, tentu tidak pula akan lahir sindiran getir dari penghuni “republik medsos” yang menyebar meme yang satiris: Saya Pancasila. Saya 100 Juta.
Pada akhirnya rakyat harus bangkit melawan korupsi moderen di jalur politik. Karena sebagian besar pemegang mandat rakyat telah tersesat meninggalkan Pancasila.
Mereka bagaikan tersesat di jalan yang terang.
Selamat memperingati hari lahir Pancasila.
*Zainal Bintang, wartawan senior dan anggota Dewan Pakar Partai Golkar