Ceknricek.com — Dulu, Susilo Bambang Yudhoyono ada yang menganggap peragu dan lamban dalam mengambil keputusan. Ada pihak-pihak yang menggambarkan sang presiden itu sebagai kerbau. Kini, presiden pelanjutnya, ternyata tak jauh beda. Peragu, bahkan cenderung plin-plan. Setidaknya itu tergambar pada sikap Presiden Joko Widodo dalam menyikapi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi atau UU KPK.
Awalnya, Jokowi mendukung UU KPK, menolak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk mencabut revisi UU KPK, dan mendukung judicial review di MK. Belakangan ia akan mempertimbangkan Perppu KPK setelah mendapat masukan dari sejumlah tokoh yang diundang ke Istana, menyusul meletusnya demonstrasi di kota-kota di seluruh pelosok Indonesia.
Perppu maupun judicial review, merupakan dua mekanisme yang semuanya konstitutional, serta dua-duanya dapat dilakukan. Mekanisme judicial review, diamanatkan dalam Pasal 24C UUD 1945. Sedangkan Perppu juga diamanatkan dalam Pasal 22 UUD 1945.
Baca Juga: Ayo Pak Presiden, Jangan Banyak Diskusi
Hanya saja, para pegiat antikorupsi mendesak tidak ada lain lain, kecuali perppu untuk menyelamatkan KPK. Hanya saja, sampai saat ini Jokowi masih menimbang-nimbang. Ragu. Sedangkan rakyat bak menghitung bunyi tokek. Perppu… tidak … perppu … tidak … Persis seperti judul Majalah Tempo edisi edisi 7-13 Oktober 2019.
Jokowi digambarkan Tempo seperti tidak punya kedudukan. Padahal, presiden selayaknya seorang raja. Segala ucapannya laksana sebuah aturan yang harus dilaksanakan dan tidak boleh mencla-mencle. Dalam perpekstif tersebut, kelihatan sikap Presiden menjadi tidak konsisten.
Jokowi tampaknya menyadari ada ‘ongkos politik’ seandainya mengambil jalur Perppu. Karena partai politik pendukung dirinya dalam pilpres kemarin, jelas-jelas menolak perppu.
Risiko Tanpa Perppu
Pegiat antikorupsi dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho, mengingatkan pelbagai kemungkinan buruk jika Presiden tak mengeluarkan Perppu KPK. Salah satu yang bakal terjadi adalah potensi penurunan operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK. Kekhawatiran itu muncul lantaran dalam revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang sudah diketok itu memuat ketentuan setiap penindakan harus atas seizin Dewan Pengawas atau Dewas.
Semua mekanisme penyadapan harus lewat izin Dewas. Proses penyitaan dan penggeledahan juga harus lewat Dewas. Jika itu diterapkan aspek penindakan nanti akan turun drastis.
Padahal selama ini, sebagian pengungkapan kasus di KPK seperti penyuapan terungkap dari penyadapan. Sedangkan dalam perundangan yang baru saja disahkan, proses penyadapan harus melalui izin Dewas.
Celah Transaksional
Sejumlah pengusutan kasus dugaan korupsi juga terancam dihentikan. Soalnya UU baru itu memuat kewenangan penghentian perkara melalui Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Konsekuensi yang lain, beberapa kasus yang belum tuntas berpotensi di-SP3.
Padahal, ada perbedaan karakteristik setiap kasus korupsi. Ada perkara yang membutuhkan waktu pengusutan lebih lama dibanding perkara lain. Contohnya, penyidikan kasus korupsi e-KTP membutuhkan waktu dua sampai tiga tahun. Sebab penghitungan keuangan negara perlu dilakukan secara mendetail dan sebaran di seluruh Indonesia harus diperiksa.
Auditor pemeriksa kerugian keuangan negara butuh waktu 2 tahun untuk menyelesaikan itu. Belum lagi pemeriksaan saksi-saksi yang banyak dan lain-lain.
Kewenangan penerbitan SP3 akan membuka celah transaksional. SP3 membuka peluang intervensi, kalau perkara sedang berjalan dan ada orang yang berkepentingan dengan perkara itu maka bisa saja kemudian melakukan tekanan dan lain-lain sehingga ada tools untuk mengakomodir intervensi tersebut dengan SP3.
Baca Juga: KPK Masih Sangat Dipercaya, Mayoritas Rakyat Setuju Presiden Keluarkan Perppu
Lebih jauh lagi, KPK tak lagi menjadi lembaga negara independen. Berdasarkan Pasal 3 UU KPK yang baru tertulis, KPK adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Keberadaan pasal itu dalam aturan yang baru membuat status KPK tak lagi bersifat independen. Padahal sejak awal KPK diharapkan menjadi bagian dari rumpun kekuasaan ke empat, yakni lembaga negara independen dan terbebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Penerbitan Perppu berisi pencabutan revisi UU KPK ini penting ditempuh Presiden Jokowi. Soalnya, mekanisme uji materi atau judicial review di Mahkamah Konstitusi, sebagai upaya lain membatalkan revisi UU KPK akan mendapat jalan buntu. Maklum saja, komposisi MK memuat tiga unsur yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Pencegahan
Banyak pihak mengkhawatirkan masa depan pemberantasan korupsi bakal suram tanpa penerbitan Perppu KPK. Selain karena revisi UU KPK yang saat ini bermasalah, pimpinan KPK terpilih juga diragukan kesungguhannya untuk menindak kasus korupsi.
Arah ke depannya, KPK akan jadi komisi pencegahan korupsi, bukan lagi pemberantasan. Jika menyimak pernyataan Irjen Firli Bahuri, Ketua KPK terpilih, dari tujuh program yang dipersentasikan ke DPR , upaya penindakan penegakan hukum berada di nomor tujuh.
Dengan UU KPK yang sekarang, ditambah pimpinan yang sekarang itu lebih senang pencegahan maka pemberantasan korupsi akan jadi ‘madesu’, masa depan suram.
Baca Juga: Pernyataan Lengkap Jokowi Terkait Demo Mahasiswa dan Perppu UU KPK
Melihat rentetan kekhawatiran tersebut, Jokowi patut mendengarkan masukan pegiat antikorupsi dan para akademisi. Jokowi hendaknya mengabaikan desakan sejumlah elite partai politik.
Perppu akan menjadi bagian korektif dari Jokowi untuk memperbaiki kesalahan dalam proses pembahasan revisi UU KPK yang menurut banyak pihak terburu-buru, tidak transparan, tidak akuntabel, dan terkesan ditutup-tutupi.
Jika sudi mengeluarkan Perppu KPK, Jokowi akan menambah daftar panjang pelemahan lembaga antikorupsi itu. Bisa dicatat, sepanjang lima tahun pemerintahan Jokowi, berbagai pelemahan lembaga antirasuah ini telah terjadi. Mulai dari penyerangan terhadap Novel Baswedan, pemilihan Pimpinan KPK yang sarat akan persoalan, ditambah lagi pengesahan UU KPK.
Jokowi juga akan dianggap sebagai presiden ingkar janji pada ‘Nawa Cita’. Dalam poin ke-4 ‘Nawa Cita’, Jokowi berjanji melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan tepercaya.
Publik dengan mudah menganggap bahwa NawaCita ini hanya ilusi belaka jika Presiden tidak segera bertindak untuk menyelamatkan KPK.
Jokowi juga akan dianggap mengabaikan amanat reformasi. Salah satu amanat reformasi 1998 lalu adalah pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hal ini termaktub dalam TAP MPR Nomor XI/MPR/1998.
Boleh jadi, bagi Jokowi, masalah UU KPK seperti maju kena mundur juga kena. Dilema. Hanya saja, jika jalan Perppu yang ditempuh, maka Jokowi akan mencatat sejarah yang elok. Bukan sejarah tentang menghitung suara tokek dan Pinokio.
BACA JUGA: Cek POLITIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.