Ceknricek.com–Ayo baikot Pertamina. Kita ganti BBM (Bahan Bakar Minyak) ke Shell. Begitulah seloroh di group pertemanan yang saya ikuti saking keselnya. Sudah dikasih captive market masih bermain curang juga. Bagaimana tidak kesel. Sudah membeli dengan sengaja bahan bakar bagus untuk menjaga kebersihan mesin kendaraan. Eh ternyata bodong. Berarti selama ini mesin kendaraan yang dijaga ini diasupi barang yang kotor. Waduh. Nyesek bener. Inilah perasaan orang kebanyakan. Tanpa dia tahu dan bisa bertanya Pertamina yang mana yang melakukan. Mereka tidak tahu Pertamina Holding, Pertamina Hulu atau Pertamina Hilir. Pokoknya Pertamina.
Kemudian hari-hari berikutnya saya menemukan antrian motor di Pom Bensin Shell. Kaget saya. Begitu juga saya lihat di media sosial ternyata antrian itu terjadi. Saya pikir ancaman di group pertemanan itu hanya seloroh saja. Ternyata bukan seloroh dan ancaman tetapi dibuktikan oleh para konsumen. Terutama motor yang selama ini membeli Pertamax di Pertamina, dengan harga kurang lebih mendekati harga shell, untuk menjaga perfoma mesinnya. Mereka termasuk kelas yang paling dikecewakan.
Intinya Pom Bensin Shell sudah mulai ramai. Mobil pun, yang selama ini, mengisi Pertamax juga mulai mendatangi Shell. Saya jadi terhenyak. Apakah hanya senilai itu nasionalisme kita. Atau memang market tidak mengenal nasionalisme. Tetapi sebelum terungkapnya kasus korupsi oplosan Petalite dengan Pertamax di Pertamina terungkap Pom Bensin Shell sangat sepi. Ketika itu lewat Pom BBM Shell jarang melihat ada kendaraan di Shell. Tapi akhir-akhir ini terjadi sebaliknya.
Saya sudah lama merenung. Mengapa Shell membangun pom bensin di Indonesia padahal dia tahu harga BBM Pertamina lebih murah dibanding shell. Mungkin untuk yang kualitasnya lebih bagus di Pertamina seperti Pertamax atau Pertamaxdex harganya mendekati harga di Shell. Sehingga, sepengetahuan saya, harga Pom Bensin Shell selalu lebih tinggi dari awal. Sekarang baru terjawab.
Situasi ini, dengan sabar, yang dinantikan oleh Shell. Ternyata nasionalisme yang selama ini saya sangkakan kepada para pengguna BBM Pertamina ada batasnya. Ketika harus menghadapi jalan tanpa alternatif nasionalisme bisa hilang. Ini harus jadi bahan pelajaran buat para pelayan publik teristimewa Pertamina. Sekarang tinggal dipikirkan bagaimana mengembalikan trust publik terhadap Pertamina. Bagaimana mengembalikan kepercayaan publik bahwa yang dinamakan Petalite itu bukan Pertamax. Untuk mengembalikan trust ini tentu saja tidak gampang. Tidak bisa hanya sekedar mencopot pihak-pihak terkait korupsi saja.
Memang korupsi Pertamina, yang dilakukan oleh beberapa oknum di anak Perusahaan Pertamina secara berjamaah, ini cukup parah. Korupsi dilakukan secara struktural oleh sebuah perusahan PT Pertamina Patra Niaga. Sehingga perbaikannya pun harus dilakukan secara komprehensif mulai dari orangnya hingga manajemennya. Atau bahkan bisa sampai ke vendor-vendor pemasok BBM oplosan ini yang juga sudah ada yang jadi tersangka. Begitu juga para pengawas dari Pertamina Holding dan Kementrian ESDM mestinya bisa diminta pertanggungjawaban juga. Senyampang atau setelah kasusnya selesai bagaimana pertamina membenahi mananjemen anak usahanya itu. Ini yang ditunggu-tunggu publik. Sampai kemana penyidikan Kejaksaan Agung mengalir.
Korupsi Pertamina ini memecahkan rekor besaran angka kerugian negara dalam sejarah korupsi Indonesia. Bayangkan Rp968,5 triliun. Angka ini sepertiga dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara tahun 2025. Selama ini rekor korupsi terbesar dipegang oleh PT Timah yang “hanya” di angka Rp300 triliun. Maaf jadi “hanya” saking besarnya korupsi Pertamina ini. Tiga kali lipat.
Pihak Pertamina sudah beberapa kali memberi keterangan. Pihak Pertamina menghimbau kepada Masyarakat jangan kuatir dengan BBM yang sedang beredar. Apakah pernyataan-pernyataan pihak pertamina ini akan berhasil. Saya ragu. Mengingat korupsi ini dilakukan secara structura oleh anak perusahaan Pertamina. Indikatornya gampang saja. Berhentinya antrian pembelian BBM ke Pom Bensin Shell. Atau tidak akan kembali. Itu yang saya kuatirkan.
Menurut saya pihak pertamina, BPH Migas, dan Kementrian ESDM harus menunjuk tim independent untuk melakukan investigasi terhadap proses produksi hingga jalur distribusi BBM yang keluar dari Pertamina. Tim independent yang ditunjuk itu benar-benar berasal dari berbagai kalangan: Lembaga Konsumen, akademisi terkait, dan auditor terkait. Biarkan mereka bekerja bersih dari pengaruh pihak manapun. Jangan ada yang cawe-cawe. Biarkan tim independent ini mejadi wakil Masyarakat dalam mengembalikan trust publik ke Pertamina.
Kerja dari tim independent ini harus benar-banar komprehensif dan transparan sehingga kepercayaan publik akan kembali senyampang tim ini bekerja. Jadikan keterangan-keterangan tim investigasi ini menjadi konten-konten yang bisa mengembalikan reputasi Pertamina. Beri kepercayaan kepada konsumen untuk memiliki pengetahuan dalam membedakan mana Pertalite, Pertamax, dan mana yang dioplos. Berilah konsumen pengetahuan yang sederhana tentang produk-produk Pertamina. Bahkan lebih jauhnya bangkitkan rasa memiliki konsumen terhadap Pertamina sebagai Perusahaan milik bangsa sendiri. Konten-konten ini bisa berupa teks, vidio atau audio.
Memang konsumen berhak tahu apa yang terjadi persisnya di Pertamina. Pertamina harus benar-benar terbuka kepada konsumen. Mengingat Pertamina pemegang pasar hampir tunggal untuk BBM dalam negeri sebagai Badan Usaha Milik Negara. Dengan cara seperti ini konsumen akan merasa dianggap dan dihargai sehingga akan menimbulkan kepercayaan kembali pada Pertamina. Sehingga antrian di Shell kembali menyepi.
#Nurjaman Mochtar jurnalis senior