Ceknricek.com – SUARA rakyat sudah dijaring. Alhamdulillah. Proses pemilihan kepala daerah (pilkada), yang dilaksanakan serempak, Rabu (27/6/18) di 171 daerah di seluruh Indonesia, berlangsung aman, lancar dan damai. Hasil resminya masih harus ditunggu. Akan diumumkan setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) selesai melakukan rekapitulasi tanggal 9 Juli 2018.
Tapi, sebelum itu, masyarakat Indonesia sudah menyimak hasil penghitungan cepat (quick count). Diolah oleh beberapa lembaga survei yang bekerjasama dengan stasiun televisi, quick count itu sudah disiarkan televisi. Hasilnya?
Cukup mengejutkan. Perolehan hasil kontestasi pemimpin daerah rasa pilpres itu— dianggap merupakan pertarungan awal para tokoh pemilik partai yang terlibat dalam pilpres 2019—, ternyata cukup menohok para pemilik partai. Mereka di antaranya adalah Megawati Soekarnoputeri (PDIP), Susilo Bambang Yudhoyono (Demokrat) dan Prabowo Subianto (Gerindra).
Perolehan suara kader mereka dalam perebutan 17 kursi gubernur kali ini jeblok di bawah standar, alias di luar keinginan mereka. Padahal, ketiga tokoh itu selama ini dikenal publik lewat partai masing-masing kerap melakukan manuver, koalisi dan sejenisnya untuk merebut suara rakyat melalui pilkada. Tentu, itu demi mendapatkan kekuasaan politik di tingkat daerah dan nasional.
PDIP, partai yang pada tahun 2014 sukses bersama koalisinya menaikkan Joko Widodo menjadi presiden RI, misalnya, bersama koalisinya pada pilgub kali ini, hanya bisa merebut empat kursi gubernur. Di Jawa Tengah, Bali, Sulawesi Selatan dan Maluku. Mega dan partainya kalah dari saingan bebuyutannya, Partai Demokrat yang dikendalikan mantan presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono yang bersama partai koalisinya, memenangkan enam kursi gubernur. Di Jawa Timur, Sumatera Utara, Jateng, NTB, Maluku Utara dan Papua.
Tapi, SBY pun, dengan partai koalisinya juga menerima kekalahan pahit di pilgub Jawa Barat. Mereka mengusung Demiz/Dedi Mulyadi yang ditunjuk Partai Golkar sebagai cawagub. Mereka kemudian didukung partai lain. Yaitu : PKPI, Perindo, Garuda dan Berkarya. Di penghitungan lembaga survei sebelumnya, koalisi ini sering unggul. Hanya bersaing ketat dengan pasangan Ridwan Kamil/Uu yang diusung koalisi Partai Demokrat, PPP, PKB dan Hanura.
Namun, siapa sangka, di penghitungan cepat, perolehan pasangan Deddy dan Dedi ini merosot dan disalip pasangan Asyik (Ahmad Syaikhu/ Sudrajat).
Tokoh yang paling anjlok perolehan partainya adalah Prabowo Subianto. Calon presiden dan sekaligus pemilik Partai Gerindra itu bersama partai koalisinya hanya berhasil merebut tiga kursi gubernur. Di Sumatera Utara, Kalimantan Timur dan Maluku. Ini mesti dikatakan pencapaian dibawah standar. Bagi Gerindra dan Prabowo yang berambisi memimpin koalisi partai untuk merebut kursi presiden tahun 2019.
Kekalahan paling menyakitkan dan mungkin akan terus disesali Prabowo dan Gerindra pastilah kegagalan mereka di Jawa Barat. Bersama mitra lamanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Gerindra sudah sepuluh tahun (sejak 2008) menguasai tahta gubernur Jawa Barat. Ini wilayah penting dan strategis karena populasi pemilih terbesar di Indonesia. Yakni, sebanyak 31,7 juta jiwa. Bersama Jawa Timur (30,1 juta jiwa) dan Jawa Tengah (27 juta jiwa), total populasi pemilih di wilayah Pulau Jawa itu seluruhnya berkisar 88 juta jiwa atau sekitar 58% dari total populasi pemilih Indonesia yang menurut catatan KPU sebanyak 152.057.054 juta jiwa.
Makanya, ada asumsi bisa memenangkan pemungutan suara di Jawa berarti telah memenangkan pemilihan presiden Indonesia. Itulah sebab tiga pusat kekuatan partai politik: PDIP, Gerindra dan PD sibuk mengatur strategi untuk merebut kursi kepala daerah di tiga provinsi itu.
Gerindra dan PKS sebenarnya tinggal meneruskan koalisi mereka untuk meneruskan tahta gubernur Jawa Barat. Cukup dengan mengusung wakil gubernur pilihan mereka pada tahun 2013: Deddy Mizwar. Semula itu sudah disepakati. Pertimbangan popularitas aktor dan sutradara tenar tersebut dan juga pengalamannya sebagai wagub, menjadi faktor penguat pengusungannya dalam pilkada nanti.
Apalagi latar belakang keluarga Demiz, begitu bintang film “Nagabonar” itu biasa dipanggil, cukup relijius—sebagai anak Betawi. Rata-rata relijius dan kenal agama, itulah yang mendekatkan anak Betawi dengan kebanyakan masyarakat Priangan.
Faktor sosial relijius penduduk Jawa Barat ini juga yang menyebabkan PKS bisa tumbuh subur di daerah itu. Sedikitnya enam kader PKS kini tercatat menjadi kepala daerah atau wakilnya di wilayah kota: Bandung, Bekasi, Sukabumi, Depok, dan kabupaten Bandung dan Garut. Selain ada juga yang menjadi pimpinan dewan di Subang, Sumedang, dan Sukabumi.
Prabowo semula sepakat mengusung Demiz untuk Jabar 1 bersama PKS. Mitra lamanya itu kemudian menunjuk kadernya Ahmad Syaikhu, Wakil Ketua DPW PKS Jawa Barat sebagai calon wakil gubernur.
Tapi itulah. Politik terkadang menyimpan kepentingan yang tidak terduga. Setelah sempat jalan beberapa bulan, mendadak Prabowo Subianto dan Gerindra berubah pikiran. Mereka mau mengusung calon lain: Mayjen (Pur) Sudrajat, mantan Kapuspen ABRI, dirjen Strategi Pertahanan di Departemen Pertahan dan mantan dubes RI di RRC.
Bersama PKS yang tetap menugaskan Syaikhu, koalisi ini akhirnya benar-benar meninggalkan Demiz. Cagub ini kemudian bergabung dengan Partai Demorat. Partai ini lalu berkoalisi dengan Partai Golkar yang memasang kadernya Dedi Mulyadi sebagai wakil gubernur. Jadilah Demiz dan Dedi tampil bersama. Bersaing dengan tiga pasangan. Satu diantaranya pasangan Ahmad Syaikhu/Sudrajat.
Sudrajat memang cukup dikenal sebagai figur berpendidikan dan cerdas. Tapi, kelemahannya, ia tidak begitu dikenal masyarakat Jabar. Penunjukan dia pun agak mepet mendekati waktu pelaksanaan pilkada. Inilah agaknya yang menyebabkan cukup lama, perolehan suara pasangan yang memilih nama julukan ‘Asyik’ itu, selalu jauh di bawah dua cagub lain menurut pelbagai lembaga survei.
Toh, di pilkada, menurut hitungan cepat, pasangan ini secara mengejutkan bisa meraup angka jauh di atas perkiraan lembaga survei. Asyik hanya kalah tipis (2-3 %) dari Ridwan Kamil/Uu Ruzhanul, yang diusung koalisi Partai Nasdem, PPP, PKB dan Hanura. Kubu Asyik masih belum menerima kekalahan versi quick count.
Kekalahan ketiga partai leader pilpres 2019 agaknya bisa memunculkan perubahan konstelasi perpolitikan nasional. Rekan koalisi ketiga partai tersebut, terutama yang kadernya unggul di sejumlah pilgub, pilbup, dan pilwakot, nantinya bisa merasa memiliki bargaining baru.
Sebab, partai Nasdem, PAN, Golkar dan Hanura, misalnya, pada pilgub kemarin, berhasil menjadikan cagub/wagub yang mereka dukung menang.
Nasdem yang terbanyak, memenangkan 11 calon. PAN: 10 calon, Golkar dan Hanura, masing-masing: 9 calon.
Nah, semua partai tentu akan melakukan evaluasi. Internal dan eksternal pasca pilkada 2018. Apalagi sebulan setelah pengumuman resmi KPU pada Agustus nanti, sudah masuk agenda baru: pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden 2019.
Banyak kemungkinan baru bisa terjadi. Misalnya, perubahan dalam posisi dan mitra koalisi partai di pilpres. Misalnya, apakah Prabowo dengan hasil minimalis Gerindra di pilkada akan tetap bisa menjadi leader koalisi untuk menantang Jokowi di pilpres 2019?
Demikian juga dengan peranan dan posisi Megawati dalam grup koalisi pendukung Jokowi. Mungkin peran Ketum PDIP itu tidak lagi sekuat sebelumnya. Partai pendukung yang unggul di pilkada, tak tertutup kemungkinan menjadi lebih percaya diri untuk meminta jatah cawapres pada Jokowi. Posisi Muhaimin (PKB) bisa jadi melemah, seiring lemahnya perolehan partai itu di pilgub/pilkada. Partai nahdliyin itu hanya memenangkan 6 cagub.
Sebaliknya, Nasdem yang selama ini diam, bisa saja akan ikut memajukan cawapresnya menyaingi Golkar.
Yang jelas, mesti diakui, hasil quick count di pilgub kemarin, sedikit banyak
telah memperkuat kubu dan posisi presiden petahana di pilpres 2019.
Lantas bagaimana konstelasi di kubu pendukung tagar #2019GantiPresiden? Posisi Prabowo dan Gerindra sedikit banyak bisa jadi akan melemah. Diantaranya karena kekeliruan dan kemelesetan dalam strategi partai itu pada pertarungan di pilgub. Antara lain, gara-gara salah kalkulasi. Melepas peluang di pilgub Jabar dan Sulawesi Selatan.
Hampir sama ceritanya seperti di pilgub Jabar. Di Sulsel, Gerindra sebelumnya sudah sepakat mengusung cagub dan cawagub potensial Prof DR Ir H. M. Nurdin Abdullah/Andi Sudirman Sulaiman (adik kandung Menteri Pertanian Amran Suaiman). Nama julukan pasangan ini Profesor Andalan. Namun, karena ada ketidakcocokan dalam langkah politik, Gerindra melepas Prof Andalan.
Padahal, catatan kinerja Nurdin Abdullah, doktor Pertanian lulusan Universitas Kyusu, Jepang (1984) itu luar biasa saat menjabat bupati Bantaeng, Sulawesi Selatan, selama dua periode (2008-2013)(2013-2018).
Bupati pertama Indonesia bergelar profesor dan kini berusia 54 tahun itu, dikenang warganya karena kerja kreatif dan konsistensinya. Dalam menata kehidupan sehari-hari masyarakat Bantaeng. Mengubah cara hidup, menyediakan fasilitas kesehatan dan rumah sakit, tata lingkungan, pertanian, pendidikan dsbya.
Akademisi nonpolitis itu berhasil menyulap Bantaeng menjadi kabupaten yang kini dipandang di Sulsel. Untuk itu, ia sering mendapat penghargaan dan pujian. Banyak media sudah menulis ihwal terobosannya dalam memimpin Bantaeng. Bupati kelahiran Pare-Pare itu sudah menerima sekitar 100 penghargaan dari pelbagai instansi, termasuk Tanda Kehormatan Bintang Jasa Utama dari Presiden Jokowi.
Ayah lima anak ini dikenal dedikatif. Banyak teman dan lingkunganya mendorong dia maju ke pemilihan Sulsel Satu. Sampai akhirnya bersepakat dengan Gerindra dan berapa partai lain untuk maju merebut kursi tersebut.
Dalam perjalanan berjuang merebut kursi gubernur, ada permintaan dari Gerindra. Agar cagub usungan mereka itu menanda tangani semacam kesepakatan. Nanti kalau terpilih sebagai gubernur, Nurdin mendukung Prabowo sebagai capres. Sang cagub tak bisa menerima syarat itu.
Gerindra kemudian mengalihkan dukungan ke cagub Agus Arifin Nukman, wagub Sulsel dua periode, dan cawagub Tanribali Lamo.
Pasangan Profesor Andalan tetap maju. Mereka didukung: PDIP, PAN dan PKS. Dan pada akhirnya, pasangan ini, menurut quick count, memeroleh suara tinggi, jauh melampaui tiga pasang saingannya.
Begitulah. Fakta kekalahan Gerindra di dua provinsi penting tadi, memperlihatkan kekeliruan dalam pengambilan keputusan bersinergi dengan mitra kerja politik.
Hal yang mirip juga dilakukan Megawati Soekarnoputeri. Di Jabar, dia mengabaikan Ridwan Kamil, figur walikota Bandung yang amat populer, rajin, kreatif dan disukai generasi muda. PDIP memiliki 20 kursi di DPRD provinsi Jabar.
Ini memungkinkan mereka mengusung calon sendiri. Lalu, ketum PDIP itu memaksakan diri, mau mengusung sendiri kadernya. Yakni, Tubagus Hasanuddin, anggota DPR, sebagai cagub, bersama mantan Kapolda Jabar Anton Charliyan. Padahal, cawagub ini punya catatan negatif. Pernah didemo massa FPI ke Kapolri di Jakarta, karena mereka tuding telah membiarkan atau menggunakan ormas GMBI (Gerakan Mahasiswa Bawah Indonesia) untuk membubarkan kegiatan FPI. Di pilgub kemarin, cagub dan cawagub PDIP tidak populer itu memperoleh suara paling rendah.
Selain kekalahan telak di Jabar, Mega dan PDIP juga menerima pukulan amat pahit di perebutan kursi gubernur Jawa Timur. Kemenakan kandungnya sendiri Puti Guntur Soekarno yang dipasangkan sebagai cawagub mendampingi Saifullah Yusuf cagub dari PKB, kalah dalam hitungan cepat, dari pasangan Khofifah Indar Parawansa/Emil Dardak.
Secara keseluruhan, agak kecil kemungkinan hasil hitungan cepat—apalagi kalau selisih kekalahan di atas 5 %— bisa berbeda dengan hasil hitungan konvensional KPU. Memang, dari 17 kontes pilgub yang sudah dihitung quick count, ada dua hasil yang selisihnya tipis: 1% sampai 3%. Yakni, hasil di Jabar. Antara angka yang diperoleh Ridwan/Uu dengan Ahmad Syaikhu/ Sudrajat (Asyik).
Lalu yang kedua, hasil di Sumatera Selatan. Antara angka yang diperoleh Herman Deru/Mawardi Yahya dengan angka yang diperoleh Dody Reza Alex Nurdin/ Giri Ramanda Kiemas. Selisih suara sekitar 1 %. Pasangan Dodi/ Giri tidak mengakui hasil penghitungan cepat. Mereka akan menunggu penghitungan KPU.
Hasil lengkap, memang menunggu pengesahan KPU. Setelah itu, menjelang dan setelah hasil KPU diumumkan, publik agaknya kembali menonton manuver para politisi. Terutama menyongsong pilpres 2019. Antara politisi dari partai yang kukuh mau mempertahankan dan melanjutkan Jokowi menjadi presiden sampai tahun 2024.
Berhadapan dengan politisi dari partai yang selama ini beroposisi dan bersikeras mau mengganti Presiden Jokowi tahun depan