Ceknricek.com — Munculnya berbagai komentar dan pendapat segelintir pakar hukum bertendensi memanipulasi ketentuan UUD 1945 tentang Penetapan Pemenang Pilpres 2019, oleh karena memiliki kepentingan politik praktis dan sesaat, mendorong saya selaku Ketua Asosiasi Advokat Konsitusi (AAK) yang berjuang untuk menegakkan konsitusi secara tepat dan benar. Kondisi demikian sungguh sangat memprihatinkan. Untuk itu saya berupaya menjelaskan aturan normatif tentang penentuan pemenang pilpres menurut UUD 1945 dan UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Penetapan pemenang Pilpres 2019 tetaplah harus mengacu dan berdasarkan ketentuan Pasal 6A, khususnya norma Pasal 6A ayat (3), yang berbunyi: Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Norma Pasal 6A ayat (3) merupakan norma konstitusi yang berlaku positif.
Oleh karena itu, pemenang Pilpres 2019 harus memenuhi 2 syarat yaitu, (1). Memperoleh suara lebih dari 50% dari suara pemilih sah dalam Pilpres 2019, (2). Perolehan suara tersebut harus harus tersebar minimal 20% di sekurang-kurangnya pada 18 provinsi oleh karena jumlah provinsi saat ini sebanyak 34. Apabila tidak ada paslon capres yang memperoleh suara sesuai ketentuan Pasal 6A ayat (3) tersebut maka pilpres 2019 tidak menghasilkan pemenang yang dapat disahkan dan dilantik sebagai capres-cawapres 2019-2014.
Sangat disesalkan sekaligus memalukan, ketika beberapa ahli hukum (tata negara) berupaya memanipulasi norma UUD 1945 dengan mengatakan norma Pasal 6A ayat (3) tidak berlaku oleh karena telah ada putusan No.50/PUU-XII/2014. Pendapat demikian, secara akademis sungguh memalukan dan menyesatkan. Sebab, telah memanipulasi konstitusi dan untuk menyesatkan rakyat.
Ada 2 alasan yang menyebabkan Putusan MK No.50/PUU-XII/2014, tidak dapat menganulir norma Pasal 6A ayat (3) UUD 1945, (1). MK tidak memiliki wewenang menguji norma UUD 1945, oleh karena tindakan demikian bersifat ultra vires. (2). Putusan MK No.50/PUU-XII/2014 muncul dalam proses pengujian terhadap Pasal 159 ayat (1) UU No.42 Tahun 2008 tentang Pilpres yang sudah tidak berlaku, oleh karena normanya telah diganti dengan UU No.7 Tahun 2017, (2). Senyatanya UU No.7 Tahun 2017 tidak mengakomodir norma Putusan MK No.50/PUU-XII/2014, melainkan tetap tunduk bahkan mereduplikasi norma Pasal 6A ayat (3) UUD 1945, sebagaimana termaktub dalan ketentuan Pasal 416 ayat (1) UU No.7 Tahun 2017 yang berbunyi:
Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari ½ (setengah) jumlah provinsi di Indonesia.
Oleh karena itu, apabila dalam pilpres 2019, tidak ada paslon capres yang memperoleh suara sesuai jumlah dan sebaran yang ditentukan dalam Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 jo Pasal 416 ayat (1) UU No.7 Tahun 2017, maka pilpres 2019 tidak menghasilkan pemenang yang memiliki hak konstitusional untuk dilantik sebagai presiden -wapres 2019-2024.
Dalam ikhwal ini pun, KPU tidak pula dapat mendasarkan penetapan pemenang pilpres 2019 berdasarkan ketentuan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No.5 Tahun 2019 Pasal 3 ayat (7) yang mengadopsi Putusan Mahkamah Konstitusi No.50/PUUXII/2014, oleh karena PKPU a quo bersifat kontra constitutional dan sekaligus contra legem.
Dr. Bahrul Ilmi Yakup, Ketua Asosiasi Advokat Konstitusi, Dosen Ilmu Perundang Undangan Pasca Sarjana Universitas Jayabaya.