Ceknricek.com–Salah satu hal penting yang diusung oleh Menkes Budi Gunadi Sadikin adalah BGSI (Biomedical & Genome Science Initiative). “Apa yang dilakukan pemerintah adalah mengejar ketertinggalan perkembangan bioteknologi di Tanah Air, yang diyakini bisa meningkatkan peluang kesembuhan seseorang”.
“Jadi nanti karena kita sudah tahu genetiknya, pengobatannya akan sangat precise,” demikian bunyi pernyataan beliau saat persiapan keberangkatan LPDP Angkatan 212, Jum’at 1/9/2023 (https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-6908204).
Tentu tidak ada yang salah dengan pernyataan Menkes di atas, bahkan pernyataan tersebut tepat dan menjangkau jauh ke masa depan, kalau saja ia berbicara sebagai Direktur atau pimpinan Rumah Sakit Internasional di sebuah kota metropolitan seperti Jakarta dengan layanan kesehatan dasar yang sudah terjangkau oleh lebih dari 80% penduduknya.
Di Jakarta, rasio dokter umum 1:680, bandingkan dengan Propinsi Sulbar yang 1:10417. Rasio spesialis di Jakarta 52:100.000 populasi, bandingkan dengan Papua yang cuma 3: 100.000.Pernyataan menkes tersebut di atas menjadi sebuah utopia yang cenderung lepas dari konteks kepentingan umum, manakala disadari bahwa beliau adalah orang yang paling bertanggung jawab atas urusan layanan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia.
“Posisi Indonesia di dunia saat ini masih nomor 1 untuk penyakit Scabies atau Kudis, nomor 2 untuk TBC, dan nomor 3 untuk Kusta,” demikian ungkap Prof.Menaldi Rasmin, Guru besar FKUI.
Kalau kita bicara tentang angka anak yang gagal tumbuh/Tengkes atau stunting, posisi Indonesia adalah nomor 5 di dunia dan nomor 2 di Asean.Tingginya angka Tengkes ini membuat WHO menetapkan Indonesia sebagai negara dengan status gizi buruk (https://news.republika.co.id/berita).
Dalam UUD 1945 pasal 34 ayat 3 jelas disebutkan kewajiban negara untuk menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan yang berkualitas. Kementerian Kesehatan adalah kepanjangan tangan negara yang paling bertanggung jawab atas terpenuhinya kewajiban ini.
“Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP)/ Puskesmas yang terakreditasi hanya mencapai angka 56,4% dari target 100%, dan pemenuhan tenaga kesehatan di Puskesmas sesuai standar yang hanya mencapai 56,07% dari target sebanyak 83% puskesmas,” demikian pernyataan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa, dalam rapat dengan Komisi XI DPR RI (Senin, 5 Juni 2023).
Beliau juga tambahkan bahwa 9 dari 10 target Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Bidang Kesehatan terancam tidak tercapai alias gagal (Katadata.co.id 5/6 2023).
Terkait dengan pemenuhan tenaga kesehatan di Puskesmas, dari total 10.292 Puskesmas ada 3285 (31,6%) yang tidak punya dokter gigi (https://databoks.katadata.co.id). Padahal tersedia 2500 lulusan dokter gigi baru setiap tahun, dan dari total 42.000 dokter gigi umum, baru sekitar 30% saja yang bekerja di fasilitas layanan kesehatan milik pemerintah (https://pdgi.or.id). Problem utamanya adalah bukan jumlah yang kurang melainkan pada maladistribusi dan ketidak-mampuan pemerintah untukmenyerap dan mempekerjakan lulusan Nakes.
Adalah fakta bahwa saat ini ada sekitar 1 juta nakes di berbagai daerah yang selama bertahun- tahun berstatus honorer, dan tahun ini hanya 19-20% yang akan diangkat menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) (https://sehatnegeriku.kemkes.go.id). Terkait dengan tenaga honorer ini, di sebuah ibu kota propinsi, Nakes yang berpendidikan S1-S2 hanya memperoleh 1,1 juta rupiah perbulan, padahal upah minimum kota (UMK) di tempat itu adalah 2,9 juta rupiah.
Berita terkait dokter spesialis di daerah yang terpaksa berdemo karena hak-haknya diabaikan selama berbulan-bulan terus bermunculan di media. Pengingkaran hak-hak nakes oleh Pemda ini muncul di Maluku Utara (Indotimur.com, tg 9/1/2023), lalu di Kabupaten Buru (redaksi trans7, tg 4/7/20230), dan terakhir di Papua (KompasTV, 28/8/2023), dan tentu saja terjadi di banyak daerah lain yang tidak sampai muncul di media.
Kami dokter Indonesia tidak menolak narasi bahwa pemeriksaan genomi kini akan bermanfaat untuk pengembangan kedokteran presisi di masa depan. Narasi Menkes bahwa pengambilan data genomi kini akan bermanfaat bagi deteksi mereka yang diduga menderitaTalasemi minor agar jangan menikah dengan sesama pembawa gen Talasemi. Yang kurang dari narasi tersebut adalah bahwa target pemeriksaan ini ternyata hanya terbatas pada saudara kandung dari penderitaTalasemi Beta yang jumlahnya tidak lebih dari 10 ribu orang. Tanpa ada pemeriksaan genomik (yang berbiaya setidaknya Rp 6 juta/ orang) inipun, skrining terhadap pembawa gen Talasemi sudah dilakukan oleh dokter Indonesia dengan teknik elektroforesa (dengan biaya hanya Rp 400 ribu/ orang). Jadi tanpa ada pemeriksaan genomik pun pengobatan Talasemi sudah berjalan baik dengan biaya yang jauh lebih murah, artinya manfaat kehadiran BGSI patut untuk dipertanyakan.
Semoga dengan semua informasi di atas, rakyat Indonesia akan semakin menyadari bahwa terlampau banyak persoalan kesehatan dasar yang merupakan hak konstitusi dari rakyat Indonesia yang belum terpenuhi. Semua persoalan di atas, termasuk pengingkaran terhadap hak-hak dokter dan Nakes adalah tanggung jawab Negara, dan sama sekali bukan tanggung jawab organisasi profesi sebagaimana sering dinarasikan selama ini. Menkes sebagai kepanjangan tangan negara memiliki tanggung jawab terbesar dan tidak boleh menegasikan tanggung jawab tersebut karena jelas bahwa program genomic BGSI bukan solusi atas pelbagai persoalan tersebut.
#Zainal Muttaqin, Praktisi Medis, Guru besar Fakultas Kedokteran Undip