Ceknricek.com — Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) meminta pemerintah untuk menarik dan memperbaiki terlebih dahulu RUU Omnibus Law sebelum diajukan ke Parlemen. Sejauh penelusuran PWI, RUU Omnibus Law itu berpotensi melanggar konstitusi UUD 1945, juga terutama mencederai semangat reformasi karena membuka peluang besar Presiden menumpuk kekuasaan di satu tangan.
“Praktek kekuasaan semacam yang terjadi di era Orde Baru itu sudah lama kita tinggalkan, sudah kita reformasi pada tahun 1998,“ kata Atal S Depari, Ketua Umum PWI Pusat dalam keterangan tertulisnya yang diterima redaksi Kamis (20/1) malam.
Atal menyoroti adanya pasal dalam RUU Omnibus Law yang secara eksplisit memberi peluang pemerintah mengubah UU dengan cukup menerbitkan PP “Dalam sistem hukum kita tidak dapat mensejajarkan PP dengan UU yang derajatnya lebih tinggi,” tambahnya. PP hanya melaksanakan UU. Tidak dapat dibenarkan PP mendikte UU.
Sumber: Istimewa
Atal memberi contoh spesifik. Regulasi di bidang pers yang sudah memiliki payung hukum berupa UU Pers No 40/1999. Ada pasal dalam RUU Omnibus Law dimana UU itu dapat direduksi pemerintah dengan cukup menerbitkan PP. “Dalam konteks itulah kawan-kawan merasa UU Omnibus Law ini berpotensi besar mereduksi kemerdekaan pers yang dengan susah payah dirintis para pendahulu kita, para pejuang pers.
Atal sebenarnya tidak keberatan perubahan pasal 18 UU Pers dengan menambah hukuman dan denda bagi tindak menghalang-halangi atau menyensor produk jurnalistik berkali lipat dari sebelumnya. Begitu pula halnya dengan jika media pers melakukan pelanggaran. “Itu sudah benar. UU memang selalu mengatur secara adil hak dan kewajiban. Namun, seperti halnya di sektor lain dalam UU Omnibus Law ini pemerintah dapat mengubahnya melalui PP. Inilah substansi masalah yang kami tolak,” papar Pemimpin Redaksi Majalah Suara Pemred.
Dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Cipta Kerja Omnibus Law di pasal 170 ayat 1 pemerintah bisa menganti UU dengan menggunakan Peraturan Pemerintah (PP). Redaksional yang memicu polemik. Namun, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly langsung mengklarifikasi.
Dalam RUU tersebut, katanya, ada kesalahan ketik di Pasal 170 tersebut. “Iya (salah ketik) jadi ini mungkin kesalahan,” ujar Yasonna di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (17/2).
“Jika betul salah ketik, selayaknyalah pemerintah menarik kembali draf itu untuk diperbaiki. Setelah itu baru diserahkan kepada DPR-RI untuk dibahas dan diundangkan,” imbau Atal.