Ceknricek.com–‘’Apa kabar Gus? Agaknya Covid sudah makin terkendali, semoga tetap sehat dan semangat njih…saya ingin minta kesempatan melanjutkan ngobrol pintar kita sebelumnya…’’
‘’Alhamdulillah…sing penting seger waras Mas…saya juga sudah pengen ngopi nih…sambil ngobrol pintar yang sedikit ngawur walau tetap berisi hehehe…Kita lanjut yaa, obrolan kita terdahulu sampai pada akar masalah dunia pendidikan dalam upaya membendung laju derasnya hoax dan pekatnya nuansa post truth…’’
‘’Walau saya bukan digital natives, di alam sini saya tetap mengikuti perkembangan dan tingkah-polah generasi milenial hingga generasi Alfa yang tak bisa lepas dari beragam gawai digital. Digitalisasi adalah suatu keniscayaan, kita takkan mungkin menghindar darinya, terlebih hal ini dipacu dan dipaksa berakselerasi dalam kondisi pandemi COVID-19 ini. Proses digitalisasi yang sekiranya membutuhkan waktu beberapa tahun guna menyiapkan tak hanya infrastruktur dan teknologinya, dipaksa untuk bersiap dalam hitungan bulan.
Beragam soal peretasan data yang bisa kita telusur ke belakang meninggalkan pertanyaan besar: apakah lompatan digitalisasi ini dipaksakan? Sungguh siapkah sumber daya insani kita dan sudah kokohkah kepercayaan digital bangsa ini? Kepercayaan adalah salah satu konstruksi fundamental untuk setiap interaksi dalam masyarakat kita, itu adalah paling mudah untuk didefinisikan tetapi paling sulit untuk diterapkan. Itu amat bergantung pada transparansi serta berbagai upaya untuk berperilaku konsisten. Soal konsistensi inilah titik terlemah kita selama ini menurut amatan saya dan pengalaman selama di dunia sana’’
‘’Pada bulan Mei 2021 lalu sebuah lembaga riset ternama merilis laporan bertajuk ‘ASIA Digital Trust’ yang menandaskan bahwa mayoritas warga Asia mengutamakan pentingnya keamanan data (data security) sebagai fondasi paling utama dalam menumbuh-kembangkan digital trust dalam dinamika kesehariannya. Termasuk, tentu saja, di dalamnya adalah hasil riset atas masyarakat Indonesia. Dalam upaya membangun kepercayaan pada sistem digital yang menghubungkan kita semua, pertama-tama adalah amat penting untuk memahami bagaimana orang (atau users) memercayai atau tidak memercayai ekosistem digital yang tersedia dan digunakan saat ini.
Misalnya, jika dua negara menawarkan lingkungan e-commerce yang serupa, tetapi proporsi pengguna yang lebih besar di satu negara benar-benar menggunakan sistem tersebut daripada di negara lain, itu menunjukkan bahwa negara pertama menunjukkan tingkat kepercayaan pengguna yang lebih besar. Tentu saja, semua ini adalah upaya pengukuran holistik yang bergantung pada banyak faktor, khususnya konteks setempat masyarakat pengguna yang berbeda dari satu negara ke negara lainnya.
Dengan kata lain, digital trust itu tidaklah bersifat monolitik alias satu dimensi saja, melainkan multi-dimensi yang mesti dicermati dan diukur serta dianalisa. Dalam konteks Indonesia, selama ini banyak fokus cenderung diarahkan pada peran penjamin kepercayaan yaitu pemerintah dan lembaga yang membangun dan mengatur ekosistem digital kita. Disadari atau tidak, sebagian besar diantara kita sedikit abai bahwa pengguna sendiri juga memiliki peran utama dalam menumbuhkan kepercayaan pada digital trust ekosistem digital kolektif kita. Ketika datang ke dunia digital, bukan hanya perusahaan yang menciptakan industri dan bukan hanya regulator yang menentukan keamanannya, tetapi seyogyanya kita makin menyadari bahwa sebagian besar konten digital dibuat oleh dan dari pengguna, sehingga sebagian besar keamanan dan privasi data bergantung pada bagaimana pengguna individu terlibat dengan sistem ini.
Ada banyak seruan baru-baru ini untuk meningkatkan regulasi data dan konten, tetapi sama pentingnya bagi pembuat kebijakan dan teknolog untuk berinvestasi dalam membangun kesadaran akan risiko siber dan informasi yang salah di antara pengguna. Ini dapat berupa lokakarya profesional, kursus literasi data, atau bahkan kelas pendidikan media yang diarahkan untuk menumbuhkan kebiasaan baik sejak dini. Namun, sekali lagi tetap perlu kita pahami bersama bahwa kepercayaan digital bukanlah konsep yang statis belaka, bila suatu level tertentu tercapai maka seterusnya akan berlaku demikian, tidak!
Berbagai upaya dan intervensi pembangunan kepercayaan digital mana pun — baik di tingkat institusional maupun individu — haruslah bersifat proaktif, berwawasan ke depan, dan disesuaikan dengan dinamika perubahan perilaku, sikap, pengalaman, dan lingkungan unik ekosistem digital yang dipergunakan. Mewujudkan suatu kepercayaan digital demi kemashalatan bersama adalah never ending process. Saya jadi teringat apa yang pernah dikatakan kolega saya George Shults: “When trust was not in the room, good things did not happen. Everything else is details.” Ternyata benar juga yaa…’’
Note: zonder = tanpa
*)Greg Teguh Santoso, akademisi dan pemikir bebas, berumah di versatilistmilenial2020@gmail.com