Ceknricek.com–‘’Mas, kali ini jeda dulu ngobrolin perempuan ya, kita sedikit beralih ke si Meta, bukan mahasiswi sampeyan lhoo..hehehe..metaverse maksudnya..yang lagi heboh gegara si Zuckerberg mendeklarasikan Facebook berubah menjadi META di akhir bulan lalu. Sampeyan copy ..roger thoo..atau jangan-jangan kudet alias kurang update sebagai akademisi, wah bahaya lhoo..’’ cecar Gus Dur di siang yang rinai hujan tipis mengiris kalbu ditingkahi berbagai musibah banjir ini.
‘’Inggih Gus, pirsa..ini sejatinya ambisi plus utopia Mark Zuckerberg atau sekedar rebranding Facebook yang dililit banyak masalah njih?’’ tukas saya agak asbun alias asal bunyi.
Saya masih teringat Zuckerberg pernah menggambarkan perusahaan ‘metaverse’ sebagai internet yang memungkinkan setiap orang seolah-olah hidup di dalamnya dimana kita bisa menghadiri beragam acara seperti menyaksikan konser musik atau festival teater, bekerja ke kantor, dan lainnya secara virtual dengan menggunakan teknologi seperti virtual reality (VR) dan augmented reality (AR).
‘’Ya, seperti biasalah, selalu muncul reaksi pro dan kontra di dunia fana Mas. Bahkan si Roger McNamee sebagai salah satu investor awal Facebook yang dulu erat bekerjasama dengan Zuckerberg juga menyebut metaverse sebagai ide buruk. Dia mengatakan bahwa rencana soal metaverse sebagai distopia atau komunitas yang tidak didambakan bahkan menakutkan di masa depan. Kepada BBC, McNamee wanti-wanti bahwa seharusnya rencana itu membuat semua orang khawatir serta seharusnya Facebook tak diizinkan membuat atau mengembangkan metaverse. Nah, lhoo…makin membingungkan bukan? Sejatinya, wujud rupa riil si metaverse ini belum ada koq, tapi sudah dihebohkan sedemikian rupa, ribuan tayangan mirip-mirip teaser film hollywood membahas metaverse telah bergentayangan ramai di kanal YouTube, biar makin penasaran dan makin laris nantinya getho…
Supaya sampeyan makin bingung hahaha..marilah kita berefleksi bersama bagaimana kelak kita menyikapi kehadiran si meta ini dalam kerangka relasi teknologis yang telah digagas banyak pemikir besar sejak dulu. Yakni relasi yang menghubungkan antara manusia selaku subyek dan teknologi sebagai piranti atau alat yang dimanfaatkan oleh manusia, bukan sebaliknya.
Rosenberger dan Verbeek (2015) menjelaskan pemahaman relasi teknologi yaitu ketika teknologi mampu untuk membangun relasi di antara penggunanya dan dunianya. Diambil contoh, misalnya, saat teknologi sonografi membentuk pengalaman dan ekspektasi ibu yang sedang hamil terhadap kondisi kandungannya. Teknologi juga membantu membentuk ‘subjektivitas’ dari penggunanya dan ‘objektivitas’ dunianya. Subjek dan objek bukan sebagai entitas yang pre-given, artinya bukan sebagai suatu entitas yang ada terberi secara terpisah, melainkan justru dikonstitusikan melalui relasi teknologis yang termediasi di antara keduanya (subjek-objek).
Relasi teknologis terjalin disebabkan adanya interaksi yang menghubungkan antara manusia dan teknologi, atau teknologi dan dunia. Pemahaman tentang interaksi ini ternyata menurut para pemikir, tidak secara penuh membantu penjelasan mengenai konsep relasi teknologi secara mendalam. Alasannya, interaksi hanya menjelaskan sejauh ‘tindakan diantara’, sehingga mengindikasikan apa yang terjadi di antara manusia dan artefak teknologi ataupun sebaliknya. Konsep interaksi justru akan membawa konsekuensi pemahaman klasik yang memungkinkan adanya keterpisahan antara subjek-manusia dan objek-teknologi, ‘di-antara’ menjadi suatu tindakan yang spesifik. Konsep interaksi tidak hanya berhenti ketika telah mampu membaca suatu ‘aksi di-antara’ melainkan harus bergerak lebih lanjut lagi yaitu melalui pendekatan mediasi.
Basis pendekatan mediasi justru membalikkan pemahaman umum tentang relasi antara manusia dan teknologi. Interaksi muncul karena adanya mediasi yang mendasarinya, dengan demikian mediasi bukan sebagai action in-between melainkan justru menjadi ‘konfigurasi dasar’ dari keterhubungan antara manusia dan teknologi. Keduanya subjek dan objek yang hadir dan dikonstitusikan melalui relasi interaktif antara keduanya. Dengan kata lain, mediasi adalah menjadi the origin of entities (asal-usul entitas) tinimbang hanya sekedar berada di-antara kedua relasi interaktif tersebut. Pola pandang seperti inilah yang kemudian menuntun Graham Harman ketika membaca gagasan Heidegger, mengatakan bahwa ‘mediasi teknologis bukanlah mediasi-sesuatu, atau antara-sesuatu, tetapi kondisi ontologis dari semua hal’. Pada satu sisi, pendekatan post-fenomenologi menitikberatkan pada pandangan bahwa manusia dan dunianya ialah produk dari mediasi dan keduanya bukan sebagai titik awal relasi di-antara, artinya mediasi mendahului relasi teknologi. Teknologi tidak hanya sekedar menjadi perantara atau di antara manusia dan dunianya sebagaimana dimaknai dalam pemahaman tradisional, melainkan sebagai hasil dari konfigurasi, di mana teknologi bergabung dengan konteks relasi manusia dengan dunianya (Verbeek, 2012). Ketika manusia menambahkan atau mengimplan bagian tubuhnya ‘cyborg’ misalnya, maka saat itulah lahir tindakan dan pengalaman yang berbeda.
Nah, bagaimana bila sudut pandang filosofis tersebut nanti coba disematkan dalam semesta virtual yang didukung beragam piranti canggih AR dan VR secara real-time dan serempak? Bakal lebih mengasyikkan dibanding pengalaman main Pokemon Go beberapa tahun lalu yang sempat bikin heboh itu? Atau, akan menjerat kita dalam adiksi baru yang mengaburkan batas-batas antara realitas dan virtualitas nan maya? Wallahualam..kita nikmati saja sembari terus bersiap dan belajar mengantisipasinya..getho aja koq repot..’’ Gus Dur pun berlalu, tinggallah saya bengong melompong ditikung bimbang antara harapan membuncah dan kekhawatiran impak risiko negatif yang menyertai.
*)Greg Teguh Santoso, akademisi dan pemikir bebas, belajar-mengajar-menulis menebar kebaikan, berumah di versatilistmilenial2020@gmail.com