Ceknricek.com — Sejumlah figur politik, intelektual, dan aktifis telah mendaftarkan Permohonan Uji Materi (PUM) ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid 19 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan yang diundangkan pada 31 Maret 2020. PUM memang merupakan hak konstitusional warga negara untuk berpartisipasi dalam membangun tata pemerintahan yang sehat dan kuat.
Oleh karena itu, nalar konstitusional yuridis menisbahkan PUM bukan sebagai tindakan menentang atau menghambat kebijakan pemerintah, melainkan lebih merupakan upaya mengingatkan atau mengantisipasi agar tidak terjadi pelanggaran konstitusi.
Perppu sebagai Aturan Hukum Interim
Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 memang memberi wewenang kepada Presiden untuk menerbitkan Perppu sebagai aturan hukum interim guna mengatasi kegentingan memaksa yang mencakup 3 kondisi, yaitu (1). Adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum yang terjadi yang secara secara cepat berdasarkan undang-undang. (2). Undang-Undang yang ada belum mengatur, tidak lengkap, atau terdapat norma yang saling bertentangan (contradictory norms). (3). Terjadi kevakuman aturan hukum yng tidak dapat diatasi melalui proses legislasi normal oleh pembentuk undang-undang. Tentang kondisi obyektif penerbitan Perppu, Putusan MK No.138/PUU-VII/2009 memberi perumusan yang agak berbeda. Dengan demikian, sejatinya Perppu merupakan aturan hukum yang bersifat interim.
Meskipun Perppu merupakan aturan hukum yang interim, materi muatannya tetap tidak boleh bertentangan dengan norma konstitusi sebagaimana ajaran asas lex superiori derogate lege inferiori, tidak ada jenis aturan hukum yang boleh bertentangan dengan norma UUD 1945 sebagai konstitusi negara, yang secara normatif termaktub dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
PUM terhadap Perppu cukup menarik seraya menggelitik. Sebab, sesuai ketentuan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undangan Dasar 1945 (UUD 1945) yang direduplikasi menjadi norma Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang No.24 Tahun 2003 tentang MK, menurut konstitusi sebetulnya Perppu bukan menjadi obyek uji materi di MK. Sebab, Perppu sejatinya bukan merupakan undang-undang yang dibuat oleh kekuasaan legislatif yang dimaksud Pasal 20 UUD 1945. Perppu sebetulnya merupakan tindakan pemerintah (executive order) yang oleh karena belum diatur dalam undang-undang maka diatur melalui Perppu.
Baca juga: Bamsoet: MK Setuju Laporan Kinerja Lembaga Negara Disampaikan Langsung Dalam Sidang Tahunan MPR
Basis rasional konstitusi mengecualikan Perppu sebagai obyek PUM di MK adalah umur Perppu sangat singkat sekitar 3 bulan. Sebab menurut Pasal 22 ayat (2) dan (3), Perppu harus diajukan kepada DPR pada masa sidang berikutnya, untuk mendapat persetujuan atau penolakan. Apabila DPR menerima, maka Perppu akan diberlakukan sebagai undang-undang, sebaliknya apabila DPR menolak, maka DPR dan Presiden akan membentuk undang-undang tentang pencabutan Perppu. Implikasi praktik dari umur Perppu yang singkat tersebut telah menyebabkan beberapa PUM terhadap Perppu ditarik oleh pemohon, atau diputus oleh MK tidak dapat diterima, oleh karena Perppu telah bermetamorfosa menjadi undang-undang.
Beranjak dari rasionalitas konstitusi dan pengalaman praktik demikian, seharusnya pemangku kepentingan kembali kepada nalar dan kehendak konstitusi, yang tidak menghendaki Perppu sebagai obyek uji materi di MK.
Norma demikian memang hanya berlaku terhadap Perppu yang terbit pasca amandemen UUD 1945. Tidak dapat diberlakukan terhadap Perppu berupa Undang-Undang Penetapan Presiden yang banyak terbit pada era orde lama yang sampai sekarang masih berlaku sebagai hukum positif.
Pemicu PUM
Muncul PUM terhadap Perppu No.1 Tahun 2020 dipicu karena adanya norma Pasal 27 yang sekilas dianggap oleh sebagian elemen rakyat bertentangan dengan UUD 1945 oleh karena memuat 3 ihwal hukum, yaitu (1). Biaya ekonomi yang dikategorikan bukan sebagai kerugian negara. (2). Pemberian impunitas kepada pejabat pelaksana Perppu No.1 Tahun 2020, dan (3). Pengecualian keputusan pejabat pelaksana Perppu No.1 Tahun 2020 sebagai obyek gugatan Tata Usaha Negara.
Perppu No.1 Tahun 2020 memang mengintrodusir terminologi “Biaya ekonomi” yang berarti adanya biaya yang harus dikeluarkan pemerintah untuk meraih oportuniti tertentu. Perppu mengecualikan biaya ekonomi sebagai komponen kerugian negara, artinya dari tahapan posting hingga pembelanjaannya lepas dari sangkaan merugikan keuangan negara.
Perumusan demikian menyalahi prinsip belanja negara yang niscaya tunduk pada aturan hukum yang berlaku, serta menjunjung tinggi prinsip transparansi, akuntablitas, dan responsibilitas. Oleh karena itu, perlu penegasan, pada tahapan mana biaya ekonomi bukan sebagai kerugian negara. Apakah pada tahapan alokasi atau realokasi, atau pada tahapan pembelanjaan, atau mencakup semua tahapan?
Apabila pengecualian itu sampai mencakup tahapan pembelajaan berikut turunannya maka norma Pasal 27 ayat (1) membuka peluang terjadi kembali tragedi penyalahgunaan keuangan negara sebagaimana kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang sampai saat ini tidak tuntas dan terus menjadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Baca juga: MK Gelar Sidang Pertama Uji Materi UU KPK yang Diajukan 39 Kuasa Hukum
Secara teoritis, perumusan norma “biaya ekonomi” dalam Perppu Pasal 27 ayat (1) Perppu No.1 Tahun 2020 memang sangat sumir dan absurd, sehingga menyalahi prinsip rumusan norma hukum yang baik yaitu padat, jelas, dan lengkap. Oleh karena itu, perlu penegasan dan pemaknaan agar menjadi norma hukum yang nominatif.
Apabila Pasal 27 ayat (2) Perppu dibaca selintas memang akan muncul kesan Pasal 27 ayat (2) memberi impunitas kepada penyelenggara negara pelaksana Perppu No.1 Tahun 2020. Namun, bila diteliti secara seksama, ternyata impunitas tersebut tidak bersifat mutlak, oleh karena tetap ada kewajiban penyelenggara negara melaksanakan Perppu dengan itikad baik dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Dengan demikian, terhadap penyelenggara negara pelaksana Perppu No.1 Tahun 2020 tetap dapat diproses secara hukum sepanjang terdapat bukti awal yang mengindikasikan pejabat yang bersangkutan tidak beritikad baik atau melanggar peraturan perundang-undangan dalam melaksanakan Perppu. Sedangkan pengecualian keputusan penyelenggara negara pelaksana Perppu dari obyek gugatan Tata Usaha Negara merupakan sesuatu yang dapat diterima secara konstitusional, oleh karena pelaksanaan memang memerlukan kepastian hukum.
Suatu hal yang niscaya, meskipun Perppu No.1 Tahun 2020 sedang diuji ke MK, namun rasio konstitusional serta sesuai asas presumption iustae causa, Perppu No.1 Tahun 2020 tetap berlaku sebagai aturan hukum yang sah dan mengikat sebagai aturan hukum untuk menanggulangi ancaman Covid 19.
Bahrul Ilmi Yakup/Ketua Asosiasi Advokat Konstitusi (AAK)/Dosen Pascasarjana Universitas Jayabaya
BACA JUGA: Cek EKONOMI & BISNIS, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini