Ceknricek.com–Mendengar dan membaca tentang sinyaliran telah terjadinya korupsi yang maha luar biasa dalam Pertamina, jelas membuat kita, sebagai bagian dari bangsa Indonesia, ikut merasakan prihatin, sedih, geram, cemas dan sekaligus juga, barangkali BANGGA! Bangga? Iya! Kok?
Bagaimana tidak bangga, bukan sekali ini saja Pertamina pernah digerogoti. Dalam tahun 1975, di bawah pimpinan seorang Ibnu Sutowo, Pertamina pernah tekor 10,5 miliar dolar. Namun akhirnya Pertamina tetap kekar dan maju tak gentar (sayangnya bukan selamanya membela yang benar), pantang mundur sejengkal pun. Dan sebagaimana suka dikumandangkan oleh sementara di antara pemimpin atau pejabat tinggi kita Indonesia adalah negara yang besar! Indonesia adalah negara yang kaya raya sarat dengan anugerah Ilahi dalam bentuk sumber alam! Dikorupsi sampai tujuh keturunan pun niscaya Indonesia akan tetap eksis seakan kita memiliki lampu Aladin. Sim salabim! Segalanya pulih kembali. Tidak perlu lewat perampasan aset para koruptor. Kan kasihan mereka, sudah dikurung (meski mungkin hanya pada malam hari atau hanya pada siang hari) masak hasil korupsinya harus dirampas kembali?. Di mana kemanusian kita yang adil dan beradab?
Bahwa para koruptor di Arab Saudi, misalnya, sering dibangunkan dari tidur setelah tengah malam untuk menjalani pemeriksaan lanjutan, itu adalah perbuatan yang buas, mungkin hanya cocok untuk para penghuni gurun pasir. Mereka juga tidak sungkan mengerat tangan pencuri.
Mungkin karena mereka tidak dipandu oleh kemanusiaan yag adil dan beradab. Di sepertiga Sultan di antara bulan-bulan ini (Ramadhan) terkenang kembali petuah-petuah yang sering disampaikan oleh para alim ulama kami di Masjid Gang Bengkok (juga disebut Masjid Lama) di Medan, yang merupakan hadiah dari seorang Tionghoa kaya raya di zamannya, Tjong A Fie yang dikenal sebagai Kapten Cina waktu itu.
Hikmah Ramadhan
Umat Islam di seluruh jagat raya telah menunaikan kurang lebih separuh dari ibadah penting dalam apa yang disebut sebagai Sultan di antara semua bulan dalam Islam yakni Ramadhan.
Ketika ada yang bertanya: apa sih hebatnya dan dahsyatnya bulan Ramadhan? Jelas, jawabannya adalah bahwa dalam bulan inilah Kitab yang maha luar biasa, Al Quran-nul-Karim, mula pertama diturunkan untuk mencerdaskan, mencerahkan dan menyelamatkan Umat Manusia.
Sebagaimana pernah diucapkan oleh Rasulullah (saw) sekitar 1446 tahun silam, kejahilan ignorance adalah bentuk kemiskinan yang paling buruk. Dan Islam datang untuk menghilangkan kejahilan tersebut. Tergantung pada kita apakah akan memanfaatkannya atau membiarkan diri kita terbenam dalam kemiskinan terburuk itu. Tepuk dada tanya selera.
Dalam Al Quran, ayat yang mewajibkan Umat Islam berpuasa, hanya sekadar menyebut demi kamu taqwa. Namun disebalik pesan singkat ini ternyata terpendam begitu banyak khasiat yang dapat digali.
Puasa dalam bulan Ramadhan, di samping nilai-nilai kesehatannya yang sudah tidak lagi dapat dibantah dan dipungkiri, juga mengandung berbagai hikmah akhlaqiah, sosial dan kemanusiaan.
Inilah kesempatan langka untuk kembali tafakur, introspeksi diri selama 11 bulan belakangan ini apa yang sebenarnya telah kulakukan, atau tidak/belum kulakukan?; bagaimana ke depan?; sanak keluargaku, handai taulanku? Inilah kesempatan untuk memberi peluang pada alam pikiran kita agar dapat dibasuh dan dipugar kembali. Puasa membentuk fiil untuk senantiasa mengutamakan kesabaran, kedermawanan, rasa syukur.
Ketika kita berpuasa, maka secara nyata kita dapat merasakan azab rasa lapar, haus dan sekaligus belajar bagaimana cara menanggungkan semua itu dengan sabar dan bahkan dengan rasa bangga. Bangga karena mampu mengendalikan diri. Nah disinilah letak nilai utama yang sangat mendasar dari puasa.
Khusus apabila bulan Ramadhan kebetulan jatuh pada musim panas di Australia ini, ketika siang bukan saja panjang melainkan juga gerah. Namun segala tugas keseharian harus tetap dijalankan, sementara bahan bakar untuk menunjang kegiatan tersebut harus menunggu waktu yang telah ditetapkan sebelum dapat dimanfaatkan menunggu waktu berbuka iftar, sekarang ini sekitar jam 20:00.
Dalam keadaan seperti itu, bisa saja seorang Muslim masuk ke rumahnya, makan dan minum sepuas-puasnya dan bahkan bergaul dengan istrinya di siang hari, dan ketika ada orang lain yang bertanya: apakah dia puasa? Maka jawabnya bisa saja dengan sangat meyakinkan: YA!
Namun penulis yakin haqqul yakin sungguh sangat banyak Umat Islam yang tidak bersedia, tidak rela melakukan hal itu. Bukan saja melanggar ketentuan berpuasa dalam bulan Ramadhan, melainkan juga berdusta. Kenapa?
Karena kita malu sama Allah (swt) yang kita yakini melihat segalanya. Sebagainana firman Allah dalam surat Al Hadid 57:4: *Wa hua maakum ainama kuntum Wallahu bima tamaluna bashiir* Yang artinya kira-kira: (Dia bersama kamu dimana pun kamu berada. Dan Allah maha melihat apa saja yang kamu lakukan).
Ini merupakan hikmah yang sangat luar biasa dan berharga. Maksudnya: dapat melakukan pelanggaran ketentuan makan, minum dan bergaul dengan istri/suami di siang hari bulan Ramadhan, namun tidak melakukannya, pada hal lapar dan haus telah merasuk tubuh, begitu pula syahwat. Namun tetap tabah dan bersiteguh untuk tidak melakukannya, pada hal tiada seorang pun yang akan mengetahuinya.
Kenapa? Karena Wa huwa maakum ainama kuntum, wallahu bimaa tamaluuna bashiir. Dan DIA bersama engkau dimana pun engkau berada termasuk di dalam bilik rumah di siang hari bulan Ramadhan dan Dia Maha Melihat segala yang engkau kerjakan. Jadi malu kepada Allah, bukan kepada manusia atau makhluk lain. Bayangkan tidak ada insan yang akan mengetahui, tidak ada aparat keamanan yang akan mengetahui, tidak ada intel yang dapat menciumnya, namun tetap tidak dilakukan, karena malu pada Allah (swt).
Kalau ini menjadi panduan dan bimbingan kita dalam kehidupan sehari-hari, maka segala penipuan, dusta, korupsi dan kejahatan-kejahatan lain niscaya tidak akan dilakukan oleh seorang Muslim karena Wa huwa maakum, ainama kuntum, wallahu bima tamalunabashir.
Akan tetapi sungguh sangat disayangkan, kebanyakan Umat Islam hanya malu pada Allah (swt) dan meyakini Allah bersama mereka dan melihat segala yang mereka lakukan, hanya di siang bulan Ramadhan, bukan saban hari, saban jam, saban menit, saban detik, saban saat.
Pada hal sudah ditempa dan digembleng setiap tahun, selama sebulan, namun hasilnya masih jauh dari memuaskan. Masih saja banyak Umat Islam yang tidak segan-segan untuk korupsi apabila ada kesempatan dan diyakinkan atau meyakini tidak bakalan ketahuan oleh KPK, oleh polisi, oleh kejaksaan.
Seakan kalau sekotak uang diserahkan di parkiran sebuah mall, Allah tidak akan dapat melihatnya, sebab sinyal hp saja kadang-kadang memang tidak mencapai parkiran bawah tanah mal atau gedung lain.
Alhasil, segala amal ibadat itu menjadi berkurang nilainya, atau bahkan sia-sia. Memang ada yang kini mengatakan, biar tidak memenuhi syarat puasa, namun dari segi berat badan mungkin ada khasiatnya.
Ini sebenarnya hanya capaian duniawinya, tanpa pahala. Namun yakinlah, Allah (swt) juga yang Maha Mengetahui, dan Dia-lah yang akan menghukum atau mempahalai. Puasa adalah bagian dari persamaan hak alias kesetaraan di antara manusia sesuai dengan ajaran Islam, yang merupakan agama yang dapat dikatakan egaliter duduk sama rendah, berdiri sama tinggi.
Al-Quran mengingatkan:Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah mereka yang paling taqwa. (Inna akramakum indallahi atqakum). QS 49:13. Bukan harta, bukan tampang, bukan kedudukan. Dan melalui puasa di bulan Ramadhan, kesetaraan ini terkonsolidasi. Rasulullah (saw) mengingatkan: Yang bersikap rasis di antara kamu bukanlah bagian dari umatku. Dan dalam Ramadhan, kesetaraan ini kembali terwujud.
Tersebutlah seorang Sultan bernama Abdurrahman Kedua yang waktu itu bertakhta di Spanyol yang dikuasai Muslim. Sang Sultan memiliki istana yang diberi nama Az-Zahra, di sebelah timur Cordova, yang sungguh sangat luar biasa; tidak ada tolok bandingnya. Meski sungguh sangat berkuasa, namun Sultan Abdurrahman sama sekali tidak pernah menganggap dirinya berada di atas hukum.
Suatu kali, entah karena apa, mungkin hanya karena dia meski Sultan namun hanyalah manusia biasa, melakukan kesilapan dalam bulan Ramadhan DIA DENGAN SENGAJA TIDAK BERPUASA DI BULAN SUCI ITU.
Menyadari kesalahannya itu sang Sultan langsung memanggil Majelis Ulamanya dan kepada mereka meminta petunjuk bagaimana caranya beliau dapat menebus dosa telah dengan sengaja tidak berpuasa dalam bulan Ramadhan.
Pimpinan majelis waktu itu adalah seorang bernama Imam Yahya, yang langsung menetapkan kepada Sultan Abdurrahman, agar langsung sesudah Idul Fitri, Sri Baginda harus melakukan puasa selama 60 hari berturut-turut. Meski terkejut namun Sultan Abdurrahman menerima kewajiban itu.
Ketika para alim ulama keluar meninggalkan istana, seorang di antara mereka bertanya kepada Imam Yahya, bahwa bukankah dari segi shariah kesalahan meninggalkan puasa dengan sengaja dalam bulan Ramadhan dapat ditebus dengan memberikan makan 60 orang miskin di samping mengqadha puasanya itu. Imam Yahya agak berang mendengar teguran ini dan menandaskan: Dia adalah seorang Sultan yang mampu memberi makan 600 orang. Tetapi keharusan melakukan puasa pengganti selama 60 hari ini hanya dia yang dapat melakukannya.
Dan menurut catatan Sejarah Andalusia, Sultan Abdurrahman Kedua yang memiliki Istana Al Madinatul Zahra, memang melaksanakan puasa 60 hari itu. Astaghfirullah Hal azim allazi laa ilaha illa huwa, al hayyul qayyum, wa atubu Ilahi.