Ceknricek.com–Menurut WHO, tak seorangpun boleh tercederai saat mencari pertolongan, artinya ‘Patient Safety’ menjadi tolok ukur utama dari setiap upaya medis. Hippocrates, Bapak Ilmu Kedokteran Modern, mengatakan bahwa kedokteran adalah profesi yang menolong, pelayanan kepada pasien adalah kepedulian, bukan berniaga atau berbisnis.
Menurut Konsil Kedokteran Dunia, praktek kedokteran yang baik hanya bisa dilakukan oleh dokter yang baik, yang memberikan pelayanan ketimbang mencari keuntungan, yang selalu memperbaharui pengetahuan dan ketrampilannya, dan yang menjaga hubungan baik dengan pasien dan sejawat dokter lainnya. Semua diatas telah tertuang secara rinci dan pas dalam UU Praktek Kedokteran (UU No.29-2004).
Dalam menjalankan profesinya, seorang dokter wajib menjunjung tinggi kepercayaan yang diberikan pasien dengan melakukan upaya terbaik sesuai dengan tingkat kemajuan ilmu kedokteran yang ada dan terjangkau. Upaya terbaik ini tentunya terikat dengan ruang dan waktu. Saat saya mulai mempelajari ilmu kedokteran di awal tahun 80an, pasien dengan tumor jinak otak hanya 50% yang bisa tertolong dengan tindakan bedah saraf. Saat ini, 40 tahun kemudian, jumlah pasien tumor jinak otak yang tidak bisa ditolong jumlahnya tidak lebih dari 5%.
Ilmu Kedokteran termasuk salah satu ilmu yang terus berkembang secara cepat bahkan lebih cepat dari kemampuan para dokter untuk mengejar perkembangan tersebut. Jumlah publikasi ilmiah dalam jurnal kedokteran terus bertambah. Studi tahun 2010 (Garba S et al. Oman Med J. doi:10.5001/omj.2010.89) menunjukkan ada satu artikel medis baru setiap 26 detik.
Membaca Jurnal Kedokteran adalah cara yang lazim untuk mengikuti perkembangan bidang ilmu/ spesialisasi yang ada. Selain itu, menambah ilmu melalui pendidikan tambahan/ fellowship, serta mengikuti kegiatan seminar dan workshop adalah yang paling sering dan paling diminati oleh para dokter.
Esensi Kegiatan Program Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB)
Dalam UU No.29-2004 (UUPK) pasal 28 ayat 1, disebutkan bahwa setiap dokter yang berpraktek wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan kedokteran berkelanjutan….dalam rangka penyerapan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran. Pasal berikutnya menyatakan bahwa penetapan standar pendidikan dan pelatihan kedokteran berkelanjutan merupakan kewajiban organisasi profesi (OP) kedokteran (IDI dan Perhimpunan Dokter Spesialis).
Terkait dengan ketentuan 250 SKP IDI untuk re-sertifikasi setiap 5 tahun termaktub dalam ‘Buku Ungu’ tentang pedoman pelaksanaan Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan atau P2KB yang diterbitkan oleh PB-IDI. Buku ini menjadi acuan pelaksanaan P2KB dan merupakan bentuk kesungguhan dan keseriusan IDI untuk menjaga amanat pasal 28 UUPK ini. 250 SKP ini harus dipenuhi bukan hanya dari mengikuti kegiatan seminar/ symposium.
Hampir semua kegiatan P2KB ini diselenggarakan oleh OP, serta harus memenuhi standar yang ditetapkan oleh OP (IDI atau Perhimpunan Spesialis dan Perhimpunan Seminat), demikian pula terkait penetapan Satuan Kredit Profesi (SKP)-nya. SKP adalah ukuran poin dan sekaligus bukti bahwa dokter selalu memperbaharui keilmuannya. Artinya setiap dokter dengan spesialisasi yang berbeda, atau dengan keseminatan yang berbeda hanya bisa mengikuti program kegiatan seminar/ symposium, atau pelatihan dan pembelajaran yang terkait dengan bidang ilmunya.
Dengan mekanisme seperti ini jelas bahwa seorang dokter bukan sekedar mengikuti kegiatan abal-abal maupun kegiatan pelatihan/ pembelajaran yang tidak terkait dengan kompetensinya, demi adanya jaminan kepada publik bahwa pendidikan tambahan yang diikuti itu benar dan terstandar, bukan cuma sekedar untuk memenuhi kecukupan SKP saja. Semua itu dimaksudkan agar dokter selalu bisa menjunjung tinggi kepercayaan yang diberikan pasien dengan melakukan upaya terbaik sesuai dengan tingkat kemajuan ilmu kedokteran yang ada dan yang terjangkau.
Dokter Pemburu SKP, Kerancuan, Penyimpangan, dan Kerusakan yang dibuat oleh menkes
Lewat UU 17/2023, PP 28/2024, dan PMK 12/2024, menkes betul-betul telah menjadi super body dalam tatakelola dokter dan nakes, mulai dari urusan Pendidikan Dokter Spesialis, mengatur standar kompetensi spesialis lewat ‘para pesuruh menkes’ dalam KKI dan Kolegium, bahkan bak Wakil Tuhan menentukan benar dan salah terkait Moral dan Etika Dokter lewat ‘para pesuruh menkes’ dalam Majlis Disiplin Profesi.
Lewat UU 17/2023 juga, kemenkes mengambil alih semua urusan terkait SKP, terkait dengan pencapaian dan pemenuhan SKP. Kemenkes juga punya wewenang menyetujui lembaga-lembaga yang dapat menyelenggarakan P2KB. Di saat yang sama, kemenkes juga berwenang menyatakan diterima atau tidaknya SKP yang diajukan dokter. Menkes merasa bangga bisa merampok peran IDI terkait urusan SKP ini.
Ternyata pengambil alihan secara paksa urusan SKP dari IDI dan Perhimpunan Spesialis ini tidak lain disebabkan oleh motif mencari cuan dan berburu rente yang memang sifat genetik seorang bankir (seolah membantu nasabah, padahal ada rente yang diburu) yang kebetulan berjubah menteri. Hal ini bisa dilihat dari pelbagai kegiatan pelatihan yang menyasar dokter dan nakes yang dilakukan oleh jajaran RS Vertikal di bawah dirjen yankes seperti di bawah ini:
- Radiofarmaka Kanker bagi Radiofarmasi di RS, tg 5-16/ 7/2023, biaya 20 juta/ peserta
- Pelatihan Penatalaksanaan Pasien Kanker dengan Kemoterapi, tg 3-11/ 7/ 2023, biaya 8 juta
- Pelatihan Penanganan Obat Kanker (Handling Cytotoxic), 7-16/ 8/2023, biaya 8 juta/ peserta
- Pelatihan Manajemen Pelayanan Instalasi rawat jalan di RS, tg 21-24/ 8/2023, biaya 4,25 juta
Dalam perjalanannya, program SKP melalui platform Plataran Sehat kemenkes ini menjadi semrawut, bahkan carut marut, mempersulit dokter dan nakes, sehingga lebih layak disebut platform Plataran Sakit. Banyak dokter mengeluh tentang kegiatan SKP yang diikuti tidak relevan dengan bidang kompetensinya. Para penyelenggara tidak menentukan target audience dan learning objectives yang jelas. Akibatnya, ada dokter THT ikut webinar Bedah, dan dokter Bedah ikut webinar Saraf, bahkan dokter Penyakit Dalam ikut webinar Imunisasi pada bayi dan anak. Semuanya jelas sudah saling-silang dan menyimpang dari tujuan utama pengumpulan SKP.
Ketidakmampuan menkes mengelola P2KB Berbahaya bagi ‘Patient Safety’
Sebelum UU 17/2023, setiap perhimpunan spesialis yang menentukan topik terkait dengan masing-masing kompetensi sehingga para dokter fokus pada bidang kompetensi masing-masing. Sekarang, di bawah koordinasi menkes semua kegiatan P2KB dibuat bagai baju yang ‘all size’ bisa untuk siapa saja, tanpa batasan kompetensi karena penyelenggara yang memang tidak kompeten, bahkan banyak pembicara yang latar belakang pendidikannya tidak relevan dengan topik yang dibahas. Semua ini terjadi pertama karena menkes dan jajarannya cuma sebatas merasa seolah-olah kompeten menggantikan peran Lembaga Akademik sebagaimana Kolegium Bidang Ilmu (yang merupakan Hak Milik OP Perhimpunan Spesialis), bak peribahasa “Tong Kosong Nyaring Bunyinya”, atau bisa juga “Air Beriak tanda Tak Dalam”.
Ketidakmampuan menkes dan jajarannya dalam mengelola kegiatan P2KB yang sebelumnya dikelola langsung oleh setidaknya 38 Perhimpunan Spesialis (belum termasuk Nakes dan Named lain di luar Dokter) bisa terlihat dari munculnya banyak kegiatan ilmiah yang asal-asalan, tanpa kejelasan siapa yang disasar (dokter atau nakes lain), dengan learning objective yang tidak jelas, dan nilai SKP yang juga tidak sesuai dengan standar, serta SKP yang bisa diperoleh siapapun yang terdaftar sebagai peserta cukup dengan membuka link zoom online, sambil melakukan praktek rawat jalan atau sambil melakukan operasi di kamar bedah, bahkan sambil belanja di pasar.
Belum lagi bicara tentang pengunggahan bukti SKP ke system ‘Plataran Sakit’ kemenkes, yang tidak pernah tidak bermasalah. Banyak kendala teknis mulai dari tidak bisa mengunduh platform, kesulitan mengunggah dokumen, sudah diunggah tapi tidak terkonfirmasi, apalagi bila peserta terlalu banyak. Semua bisa dilihat dalam grup WA yang dipenuhi narasi keluhan, kekesalan, dan kemarahan yang membuat waktu para dokter dan nakes lebih terkuras untuk mengurus SKP daripada belajar materi kegiatan yang diikuti.
Semua persoalan di atas memperlihatkan hilangnya Esensi kegiatan P2KB sebagai upaya wajib para Dokter dan Nakes untuk selalu menjunjung tinggi kepercayaan yang diberikan pasien dengan melakukan upaya terbaik sesuai dengan tingkat kemajuan ilmu kedokteran yang ada dan terjangkau (sebagaimana diamanatkan sebelumnya oleh UU 29/2004 tentang Praktek Kedokteran. Lain daripada itu, juga terlihat secara kasat mata kebodohan dan ketidakmampuan menkes dan jajarannya yang tidak mampu menggantikan peran Organisasi Profesi (IDI dan Perhimpunan Spesialis) sebagai Lembaga Pengembang Ilmu Pengetahuan Kedokteran.
Yang paling berbahaya adalah ketika kebodohan, tidak adanya kompetensi, dan kegagalan menkes dalam pengelolaan kegiatan P2KB ini akan berujung pada banyaknya praktek dokter yang di bawah standar, praktek abal-abal tanpa landasan Evidence Based Medicine (EBM), serta praktek dokter ala Klinik Tong Fang dan Dukun Ponari yang cuma berdasar pada testimoni pasien, dan praktek dokter yang memanfaatkan ketidaktahuan pasien demi mencari cuan semata, betapa mengerikan akibatnya bagi masyarakat semua. Astaghfirullahaladzim.
#Zainal Muttaqin, Praktisi Medis Bedah Saraf dan Guru Besar FK Universitas Diponegoro