Ceknricek.com — Tepat pada tanggal hari ini, 279 tahun silam, 26 September 1740, Gubernur Jenderal VOC, Adrian Valckenier, menggelar sidang darurat bersama Dewan Hindia Belanda menghadapi situasi Batavia yang sedang gawat.
Saat itu, masyarakat Tionghoa di Batavia diterpa isu bahwa ratusan orang-orang Cina yang dikirim ke Srilanka dengan kapal justru dibuang di tengah laut. Tak pelak kabar itu membuat kalangan keturunan Cina melakukan perlawanan.
Keadaan semakin genting. Serangan dari kalangan Cina terhadap unit-unit penting VOC (pabrik gula, pos militer) pun menjadi sasaran kemarahan tersebut. Respons yang dilakukan oleh Adrian selanjutnya adalah di luar nalar kemanusiaan. Pembantaian massal terhadap orang Cina pun dilakukan.

Batavia Abad ke-17 Hingga Ke-18
Awal abad ke-17, Belanda membutuhkan bantuan dalam pembangunan kota pesisir di Hinda Belanda. Hal ini memicu migrasi besar-besaran imigran dari negeri Cina ke Batavia yang dimulai pada masa Gubernur Jenderal Hendrick Zwaardecroon (1720-1725).
Untuk menyikapi kebijakan tersebut–karena saking banyaknya imigran dari Cina–Hendrick bahkan sampai merumuskan jabatan baru, yakni Kapitan Cina (sebelumnya Syahbandar), yang fungsinya untuk mengatur masyarakat etnis Tionghoa di Batavia dan wilayah-wilayah lainnya di Hindia Belanda.
Setelah tiba di Batavia, kaum migran Tionghoa kemudian bekerja sebagai tukang bangunan, buruh pabrik gula dan berdagang. Keadaan ini terus berlangsung hingga abad ke-18. Sebagian dari mereka lalu tinggal di dalam tembok Batavia, sisanya lagi di luar tembok. Beberapa di antara mereka juga banyak yang menjadi kaya karena berdagang, namun tidak sedikit pula yang miskin dan dimanfaatkan oleh VOC.

Sementara itu, harga gula di dunia internasional anjlok karena VOC kalah bersaing dengan maskapai dagang Inggris. Kondisi ini membuat para buruh pabrik gula yang mayioritas Cina dipecat. Di sisi lain, karena semakin banyaknya para imigran dari Cina pemerintah pun mulai membatasi migrasi dengan memperkenalkan sistem kuota. Meskipun upaya yang ditempuh tidak berhasil.
Baca Juga: Sejarah Hari Ini: Pemindahan Ibu Kota Bandung
Hal itu tentu saja bukanlah masalah pokok yang utama. Lemahnya ekonomi di Hindia Belanda juga berdampak pada meningkatnya kriminalitas dan pengangguran. Tentu saja hal ini menimbulkan dampak sosial yang buruk di masyarakat.
Meningkatnya imigran Tionghoa yang masuk ke Batavia kemudian bukan lagi dianggap sebagai sebuah bantuan bagi VOC, melainkan sebagai ancaman. Dikutip dari deutsche welle, pada tahun 1719, jumlah etnis Tionghoa di Batavia tak lebih dari 7.500 jiwa, dan 20 tahun kemudian, pada 1739 melonjak jadi lebih dari 10 ribu, baik yang bermukim di dalam dan luar benteng.
Hal ini memaksa VOC memikirkan sebuah kebijakan lain. Untuk mengatasi kepadatan penduduk di Batavia, pada masa Gubernur Jenderal Adrian Valckenier kemudian mengirimkan orang-orang Cina, terutama yang belum memiliki pekerjaan ke Srilanka, dan sebagian lagi ke wilayah Afrika Selatan, wilayah sama yang diduduki VOC.

Namun, saat rencana tersebut mulai berjalan, beredar kabar yang meresahkan, bahwa orang-orang Cina yang dikirim ke Srilanka dan Afrika Selatan dengan menggunakan kapal, dibuang di tengah laut. Etnis Tionghoa pun dilanda kecemasan.
Baca Juga: Sejarah Hari Ini: Mengenang Tragedi Semanggi II
Kabar yang belum jelas kebenarannya ini tak pelak memantik kekhawatiran kalangan Cina yang masih bertahan di Batavia. Gelombang protes dan perlawanan untuk melawan kebijakan ini pun datang dari berbagai daerah. Pemberontakan terjadi. Dan Belanda menumpas pemberontakan ini dengan pembantaian massal yang menyebabkan ribuan orang Cina terbunuh.
Tragedi Kali Angke
Kebijakan pembantaian terhadap etnis Tionghoa sebenarnya ditentang keras oleh beberapa kalangan lain di Dewan Hindia, misalnya mantan gubernur Zeylan, Gustaaf Willem baron van Imhoff, yang datang kembali ke Batavia pada tahun 1738. Rapat pun beberapa kali digelar oleh dewan karena perdebatan dua tokoh tersebut. Di tengah perdebatan ini tersiar kabar benteng Batavia telah dikepung orang-orang Cina.
Aksi yang lebih beringas dari penguasa pun terjadi. Pada tanggal 7 Oktober 1740, setiap orang Cina, dari bayi sampai orang tua, tak peduli pria atau wanita, dihabisi dengan membabi-buta. Bahkan, orang Tionghoa yang sedang dirawat di rumah sakit pun tidak luput dari pembantaian (Lilie Suratminto, “Pembantaian Etnis Cina di Batavia 1740”, Jurnal Wacana, April 2004, h. 24).

Tanggal 8 Oktober 1740, kerusuhan semakin membesar. Orang-orang Tionghoa dari wilayah sekitar Batavia, termasuk Tangerang dan Bekasi, turut bergabung hingga mencapai 10.000 orang. Thomas Stanford Raffles (1830) dalam The History of Java mencatat, 1.789 orang peranakan Cina terbunuh dalam insiden ini.
Pada 9 Oktober 1740, tentara VOC yang mengatasi pemberontakan, berbalik mengejar pemberontak. Rumah-rumah dan pasar warga Tionghoa dibumihanguskan. Ratusan warga Tionghoa lari ke kali, diburu dan dibantai tanpa ampun. Kali Angke dan Kali Besar banjir darah. Razia etnis Tionghoa berlanjut. Bahkan Dewan Hindia menjanjikan hadiah per kepala etnis Tionghoa yang dipancung. Hal itu memancing etnis lain ikut memburu mereka.

Baca Juga: Sejarah Hari Ini: Sultan Haji Menandatangani Kesepakatan Dengan VOC
Kekerasan ini pun dengan cepat menyebar di seluruh kota Batavia sehingga lebih banyak orang Tionghoa dibunuh. Meski Valckenier mengumumkan bahwa ada pengampunan untuk orang Tionghoa pada tanggal 11 Oktober, kelompok pasukan tetap terus melakukan perburuan hingga pada 22 Oktober, Valckenier dengan tegas menyatakan pembunuhan harus dihentikan.
Akibat insiden ini, antara 5.000 hingga 10.000 orang Cina dinyatakan tewas, 500 orang lainnya luka berat, dan lebih dari 700 rumah warga Tionghoa dijarah dan dibakar (W.R. van Hoevell, Batavia in 1740, 1840:447-557). Hingga tragedi ini berakhir, diperkirakan hanya sekitar 600 hingga 3.000 etnis Tionghoa yang selamat dari insiden tersebut.
Tragedi genosida yang juga dikenal dengan istilah “Chinezemoord” atau “Pembunuhan Tionghoa” ini pun menuai banyak kecaman, termasuk pihak kerajaan Belanda sendiri. Kerajaan Belanda lalu menginstruksikan menangkap Valckeneir. Ia ditarik kembali ke Belanda. Pada 1742 ia digantikan Gustaaf Willem Imhoff yang berhasil meyakinkan pemegang saham utama VOC, bahwa Valckenier yang memicu pembantaian di Batavia.
BACA JUGA: Cek BIOGRAFI, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.