Ceknricek.com — Tepat pada tangal hari ini, 9 tahun silam, 6 Oktober 2010, aplikasi media sosial berbasis foto, Instagram diluncurkan. Kini, setelah sembilan tahun berjalan, Instagram jadi salah satu media sosial yang menjadi primadona.
Di Indonesia sendiri, pengguna aktif aplikasi besutan Kevin Systrom dan Mike Krieger ini sekitar 56 juta, memasuki urutan ke empat di dunia, setelah Amerika dan Brazil dan India.
Evolusi dan Sejarah Instagram
Tahun 2010 Instagram diluncurkan oleh Kevin Systorm dan Mike Krieger di platform App Stroe milik Apple. Beberapa jam kemudian, The Telegraph menulis, aplikasi ini langsung menarik perhatian pengguna internet.
Dalam waktu 24 jam, sebanyak 25.000 orang langsung menjajal aplikasi ini. Seminggu setelahnya, jumlah penggunanya meningkat drastis. Tercatat, sebanyak 200.000 orang mengunduh aplikasi ini.
Baca Juga: Instagram Luncurkan Fitur “Restrict” Untuk Atasi Perundungan
Dan kini, setelah 9 tahun berlalu, jumlah pengguna Instagram di dunia sebanyak hampir 1 miliar pengguna aktif sebagaimana sempat dilaporkan liputan6, Juni 2018. Banyaknya pengguna ini memang tidak terlepas dari bagaimana perusahaan yang memulai pengembangannya di San Fransisco ini terus memperbarui fitur mereka.
Namun, perubahan Instagram sendiri secara drastis dimulai setelah mereka diakuisisi oleh Facebook pada 2012. Aplikasi yang semula hanya memiliki fitur Fast, Simple dan Beautiful itu kemudian ditambahkan beberapa fitur baru seperti video, live streaming, insta story, boomerang, dan fitur-fitur penunjang lainnya.
Evolusi sejarah Instagram sebenarnya dapat ditarik dari perusahaan Burbn, Inc yang berdiri pada 2010. Pada awalnya usaha yang didirikan dua jebolan Stanford University ini memiliki banyak fokus untuk mengembangkan perusahaan start up dalam sebuah piranti bergerak HTML5.
Setelah satu minggu mereka bekerja, Kevin dan Mike kemudian mencoba untuk membuat sebuah ide bagus yang pada akhirnya terbentuklah versi pertama dari Burbn, namun di dalamnya masih ada beberapa hal yang belum sempurna karena terlalu banyak fitur.
Hal ini tentu saja membuat sulit untuk mereka berdua, hingga diputuskanlah untuk mengurangi fitur-fitur yang ada, dan memulai lagi dari awal, namun akhirnya mereka kemudian hanya memfokuskan pada bagian foto, komentar, dan juga kemampuan untuk menyukai sebuah foto. Itulah yang akhirnya menjadi Instagram.
Platform Paling Narsis
Instagram adalah Platform media sosial paling narsis. Bagaimana tidak? Pada 2017, dengan melibatkan total responden sebanyak 16.876 mahasiswa yang disurvei selama satu tahun, mulai dari awal Juni 2016 hingga Maret 2017, hasil riset LenEDU menunjukan bahwa platform Instagram merupakan aplikasi medsos paling narsis.
Ada salah satu pertanyaan pokok yang diajukan dalam riset tersebut. Salah satunya adalah, “Platform media sosial apa yang di dalamnya terdapat paling banyak orang narsis?” 64 persen responden kemudian menjawab Instagram, lalu disusul Snapchat (15 persen), Twitter (11 persen), dan terakhir Facebook (10 persen).

Dalam publikasi surveinya, LenEDU juga menyebutkan bahwa dunia dalam bingkai media sosial kini juga telah berubah dari tujuan awalnya yang sederhana, yakni menghubungkan orang-orang lewat medium online.
Namun, alih-alih menjadikan media sosial sebagai alat komunikasi antar sesama pengguna, dalam evolusinya, medsos juga menghasilkan tujuan baru: pembentukan citra diri serta gejela seperti narsisme di atas.
Baca Juga: Instagram Luncurkan Fitur Baru Lawan Perundungan Online
Salah satu bentuk manisfestasi narsisme seseorang di Instagram adalah selfie atau swafoto. Dalam jurnal Buletin Psikologi UGM, kegiatan swafoto merupakan upaya representasi seseorang dalam media sosial agar dianggap “ada” atau eksis di dalam sebuah jaringan teknologi.
Swafoto yang sukses adalah yang ditandai dengan banyaknya pujian atau pemberian tanda “love”. Situasi itu kemudian menimbulkan semacam candu bagi mereka yang ingin tetap eksis di dalam media tersebut.
Bila sudah demikian, maka individu yang sudah merasa puas akan semakin terdorong untuk terus melakukan swafoto. Apabila kondisinya terbalik, mereka juga akan tetap melakukan swafoto, meskipun dengan evaluasi-evaluasi tertentu (Buletin Psikologi. 2017:39).
Dalam jurnal tersebut juga dituliskan, swafoto juga menandakan sesuatu yang positif, dimana terdapat elemen keterbukaan diri (self-diclosure) di media sosial. Hal ini tentu saja berefek terhadap bertambahnya jalinan pertemanan di media soial yang semakin luas.
BACA JUGA: Cek Berita TEKNOLOGI & INOVASI, Persepektif Ceknricek.com, Klik di sini