Ceknricek.com — Pasca kemerdekaan situasi politik dan ekonomi Indonesia masih serba tidak menentu. Tahun 1946 pemerintah Republik Indonesia memmindahkan Ibu kota ke Yogyakarta. Jakarta dikuasai Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Namun di tengah suasana yang pelik inilah sejarah bergulir.
Pada 29 Oktober 1946, tepat hari ini, 73 tahun yang lalu, untuk kali pertama Indonesia memulai langkah awal sebagai negara berdaulat secara ekonomi dengan mengumumkan penggunaan Oeang Republik Indonesia (ORI) di Yogyakarta.
Dalam Pidatonya yang disiarkan oleh RRI, Wakil Presiden Indonesia Muhammad Hatta menegaskan bahwa ORI mulai berlaku pukul 00.00 tengah malam, atau beberapa jam setelah pidatonya mengudara sekitar pukul 20.00.
Sejarah Oeang Republik Indonesia
Setelah proklamasi dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, Indonesia kala itu belum memiliki mata uang sendiri. Di seluruh wilayah Indonesia masih beredar mata uang peninggalan Hindia Belanda, mata uang Jepang, dan uang De Javasche Bank.
Di tengah-tengah kondisi ini Sekutu kembali menyerang dan membuat Ibu kota republik harus dipindahkan sementara ke Yogyakarta (4 Januari 1946-17 Agustus 1950). Dalam kondisi darurat inilah Bung Hatta kemudian mengumumkan penggunaan Oeang Republik Indonesia (ORI).
“Besok tanggal 30 Oktober 1946 adalah suatu hari yang mengandung sejarah bagi tanah air kita, rakyat kita menghadap penghidupan baru. Besok mulai beredar Oeang Republik Indonesia sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah,” kata Hatta.
Pidato Hatta itu tentu saja tidak muncul mendadak. Sejak 1945 pemerintah RI memang sudah berkeinginan untuk memiliki mata uang sendiri di tengah suasana dan berbagai keterbatasan yang membelit pemerintah.
Salah satu upaya politik yang dilakukan oleh pemerintah adalah mengeluarkan pernyataan yang dikeluarkan pada 2 Oktober 1945. Pada saat itu pemerintah mengumumkan bahwa uang NICA sudah tidak berlaku lagi. Pernyataan politik ini kemudian disusul pemerintah dengan memproduksi mata uang sendiri.
Persiapan penerbitan ORI dimulai pada masa A.A. Maramis menjadi Menteri Keuangan RI yang kedua. Namun uang ORI baru dapat diproduksi pada masa Surachman Tjokrodisurjo yang menjabat sebagai Menteri Keuangan keempat.
Baca Juga: Sejarah Hari Ini: Kongres Pemuda dan Lahirnya Sumpah Pemuda
Produksi uang ORI dimulai pada Januari 1946 dan ditandatangani oleh R.A.S Winarno dan Jonoet Ramli. Pencetakan uang ini dilakukan di percetakan negara ”Salemba” Jakarta yang di zaman Belanda bernama “Lands Drukkerij setiap hari dari pukul 07.00 hingga 22.00.
ORI pertama yang dicetak R.A.S Winarno dan Joenoet Ramli adalah lembaran pecahan 100 rupiah. Kemudian, pada masa Menteri Keuangan kelima, Sjafruddin Prawiranegara, ORI resmi beredar pada 30 Oktober 1946, sehari setelah pidato Hatta. Mata uang yang dicetak itu ditandatangani Maramis.
Pada saat itu, ORI emisi 1 terbit dalam delapan seri uang kertas yaitu satu sen, lima sen, sepuluh sen, setengah rupiah, satu rupiah, lima rupiah, sepuluh rupiah, dan seratus rupiah.
Peredaran ORI
Meski telah memiliki mata uang sendiri proses perdaran ORI ke seluruh pelosok daerah di Indonesia ternyata cukup sulit dilakukan. Hal ini dikarenakan berbagai sarana prasarana yang kurang memadai serta ditambah minimnya tenaga yang terampil di bidang moneter dan perbankan.
Di saat yang bersamaan pula, pihak Belanda melalui NICA juga terus menghalang-halangi peredaran ORI dengan menrbitkan mata uang sendiri pada Maret 1946. Tujuannya jelas, ingin kembali mengendalikan perekonomian Indonesia. Mereka juga melakukan cara-cara licik dengan memalsukan mata uang ORI agar kredibilitas mata uang tersebut menurun sehingga orang berpikir dua kali untuk menggunakannya.
Satu tahun menjelang, pada periode 1947-1948 (Agresi Militer I dan II) beberapa daerah kemudian mengeluarkan Oeang Repoeblik Indonesia Daerah (ORIDA). Hal ini dilakukan untuk menahan gempuran uang NICA serta jurus pemalsuan ORI yang dilancarkan Belanda. Namun, peredaran ORIDA berhenti sejak Maret 1950, seiring terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS).
R.Z. Leirissa dalam Sejarah Perekonomian Indonesia (2012) mengutip Tirto, mengungkapkan setelah pendudukan Belanda terhadap Yogyakarta, nilai tukar ORI jatuh terhadap uang NICA. Khusus di kota-kota besar nilai tukar ORI turun tajam. Kondisi yang lain terjadi di kota-kota kecil dan pedesaan, nilai ORI tetap tinggi karena petani dan pedagang menolak uang NICA.
Awalnya penukaran uang antara ORI dengan uang NICA adalah 1:5. Kemudian, melemah menjadi 1:7. Setelah itu, ORI menguat kembali menjadi 1:3 dan 1:2 per 31 Maret 1949, setelah terjadi serangan umum 1 Maret 1949.
Perubahan dari ORI ke Rupiah
Setelah masa Revolusi berakhir, pada Desember 1951, De Javasche Bank kemudian dinasionalisasi menjadi Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral. Di saat yang sama, Bank Indonesia juga merilis uang rupiah yang berlaku sebagai alat pembayaran.
Hingga saat itu, terdapat dua macam uang rupiah yang berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Republik Indonesia, yaitu uang yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia (Kementerian Keuangan) dan yang diterbitkan oleh Bank Indonesia.Pemerintah RI menerbitkan uang kertas dan logam pecahan di bawah Rp 5, sedangkan Bank Indonesia menerbitkan uang kertas dalam pecahan Rp 5 ke atas.
Pada tahun 1952 hingga 1953, Bank Indonesia kemudian mulai merilis uang kertas baru, mulai dari 1 Rupiah hingga 100 Rupiah. Ini menandai periode baru dalam sejarah Rupiah di mana penerbitan dan peredaran uang kertas Rupiah kini menjadi tugas Bank Indonesia. Sedangkan uang koin masih ditangani oleh Pemerintah secara terpisah.
Era Orde Baru, Bank Indonesia diberi wewenang untuk mencetak dan menerbitkan uang, baik dalam bentuk koin ataupun kertas, serta mengatur peredarannya.Uang inilah yang terus berkembang menjadi alat pembayaran yang diterima hingga kini. Asal nama Rupiah sendiri berasal dari rupee (India) dan rupia (Mongolia) yang berarti perak.
BACA JUGA: Cek POLITIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini