Ceknricek.com — Kesibukan terjadi di Pelabuhan Ujung dan Pelabuhan Tanjung Perak. Tiga kapal Inggris, HMS Waveney, HMS Malika, dan HMS Asmodus berlabuh dan menurunkan pasukan mereka, Brigade 49 Divisi ke-23 di Surabaya.
Peristiwa itu terjadi hari ini, 74 tahun silam, tepatnya pada 25 Oktober 1945. Kapal pimpinan Mayor Jenderal Douglas Cyril Hawthorn, dengan komandan Brigade, Brigadir Aubertin Walter Sothern Mallaby ini datang ke Surabaya dengan membawa enam ribu pasukan.
Tentara Sekutu, pasukan Inggris datang ke Kota Pahlawan ini sebagai bagian dari pemenang Perang Dunia II. Tugas mereka adalah melucuti tentara Jepang dan menyelamatkan tawanan Sekutu. Kebanyakan orang Inggris dan prajuritnya adalah orang-orang Gurkha dan Nepal yang berpengalaman dalam perang. Namun yang terjadi sepertinya di luar dugaan mereka.
Pelanggaran Kesepakatan
Satu hari setelah mendarat Brigadir A.W.S Mallaby melakukan pertemuan dengan Gubernur R.M.T.A Soerja untuk menandatangani kesepakatan setelah sebelumnya rakyat dan pimpinan mereka tidak mau menerima kedatangan Sekutu.
Isi dari perjanjian itu kemudian melahirkan beberapa kesepakatan, yakni pihak Inggris mengakui kedaulatan Indonesia di Surabaya; Inggris tidak akan membawa masuk Pasukan Belanda dan tidak menyusupkan tawanan pada pasukan mereka; Inggris hanya diperbolehkan pada radius 800 meter dari pelabuhan; akan dibentuk kontak biro agar kerjasama berjalan lancar.
Namun, apa yang terjadi sepertinya sudah bisa ditebak. Sekutu melanggar perjanjian. Begitu mendarat, secara sepihak Brigadir Mallaby memerintahkan pasukannya untuk menduduki 20 titik strategis di dalam kota. Hal ini tentu saja melanggar kesepakatan bahwa mereka tidak akan bergerak melebihi radius 800 meter.
Tidak hanya itu. Pada tanggal 27 Oktober, tiba-tiba sebuah pesawat melayang- layang di atas kota Surabaya. Pesawat milik Royal Air Force (RAF) Angkatan Udara Inggris itu menyebarkan ribuan pamflet berisi ancaman:
“…seluruh rakyat Surabaya harus mengembalikan seluruh senjata hasil rampasan dari tentara Jepang. Mereka yang menyimpan senjata akan langsung ditembak di tempat,” demikian seperti dikutip oleh Nugroho Notosusanto dalam Pertempuran Surabaya.
Baca Juga: R.E Martadinata, Panglima Angkatan Laut yang Tewas di Udara
Bagi para pejuang, isi pamflet tersebut jelas menunjukkan niat Inggris untuk mendudukkan Belanda kembali sebagai penguasa di Indonesia. Seketika itu juga, sejumlah tokoh Surabaya pun mengadakan pertemuan. Mereka membahas berbagai pertimbangan dan memperhitungkan beberapa kemungkinan.

Di Surabaya pada saat itu terdapat berbagai kekuatan diantaranya, Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang dipimpin Dr. Mustopo, TKR dari Divisi Malang. Laskar Rakyat Hizbullah Malang dan BPRI (Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia) yang dipimpin oleh Bung Tomo.
Pada saat itu juga para pemimpin Nahdlatul Ulama dan Masyumi pun menyatakan bahwa perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia adalah Perang Sabil, suatu kewajiban yang melekat pada semua muslim.
Mallaby Tewas, Memicu Pertempuran 10 November
Hingga satu malam setelah sebenarnya pamflet dari pesawat, situasi di Surabaya semakin memanas. Bentrok pun tak terhindarkan antara para pejuang di Surabaya dengan pasukan Inggris pada 28 Oktober 1945.

Dua hari kemudian, dikutip dari Historia, arek-arek Suroboyo telah membantai sekira 400 serdadu Inggris (termasuk 16 perwira). Dari serangan kecil yang berubah jadi serangan umum inilah Inggris kemudian meminta Soekarno untuk meredam emosi rakyat Surabaya.
Namun di tempat lain, meskipun telah disepakati gencatan senjata antara kedua belah pihak, bentrokan pun tetap terjadi. Puncak dari bentrokan ini tentu saja dengan terbunuhnya Brigadir Mallaby.
Baca Juga: Sejarah Hari Ini: Bom Bali I Duka Terdalam Bangsa
Pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur itu tewas pada 30 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30 WIB, ketika mobil Buick yang ditumpanginya berpapasan dengan sekelompok milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah.

Kesalahpahaman menyebabkan terjadinya tembak menembak yang berakhir dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby oleh tembakan pistol seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang tak diketahui identitasnya.
Baca Juga: Sejarah hari Ini: Kediktatoran Thanom dan Pemberontakan Mahasiswa Thailand
Kematian Mallaby inilah yang dianggap kemudian memicu terjadi peperangan lebih besar lagi. Mayor Jenderal E.C. Mansergh, pengganti Mallaby, mengeluarkan ultimatum kepada pasukan Indonesia di Surabaya pada tanggal 9 November 1945 untuk menyerahkan senjata tanpa syarat.
Namun, ultimatum tersebut nyatanya tak digubris arek-arek Suroboyo yang justru pada Subuh dini hari pada 10 November 1945 turun ke medan perang untuk mati demi kemerdekaan dengan dibantu pasukan dari luar Surabaya.
BACA JUGA: Cek POLITIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini