Ceknricek.com — Tepat tanggal hari ini, 20 tahun lalu, 30 Agustus 1999, ratusan ribu warga Timor Timur (Timtim) mendatangi 200 lokasi pemungutan suara untuk menentukan masa depan mereka.
Dalam referendum yang disponsosri oleh PBB itu, mayoritas rakyat Timtim kemudian memilih untuk merdeka dari Indonesia setelah dikuasai selama 23 tahun sejak 1976.
Timor Portugis
Pada era kolonialisme, Pulau Timor dibagi menjadi dua wilayah, Timor Barat dan Timor Timur. Batas ini kemudian semakin dipertegas dengan perjanjian antara Belanda dan Portugis yang sebelumnya saling memperebutkan pulau tersebut. Pada 1859 disetujui bahwa wilayah bagian timur dikuasai Portugis, sedangkan bagian barat dikuasai oleh Belanda.
Tahun 1974, tepatnya pada 25 April, Portugal mengalami Revolusi Anyelir hingga Timor Portugis menjadi daerah tak bertuan. Ini dikarenakan konstitusi yang memenangkan kudeta tersebut mengharuskan wilayah jajahan Portugis yang sebelumnya berstatus provinsi di luar negeri agar dilepaskan serta bebas menentukan nasibnya sendiri.
Dalam keadaan kosong seperti itu, muncullah partai-partai baru yang terbentuk di Timor Timur untuk segera merumuskan kemerdekaan. Tercatat Partai Uni Demokrat Timur (UDT), Front Revolusioner Independen Timor Timur (Fretilin), dan yang terakhir Demokrat Asosiasi Timor (Apodeti).
Karena setiap partai memiliki misi sendiri-sendiri, Fretilin, yang berhaluan komunis menginginkan agar Timor Timur merdeka dan berdaulat secara penuh. UDT menginginkan merdeka secara bertahap, sementara Apopdeti bertujuan untuk berintegarsi ke Indonesia. Konflik internal pun terjadi di antara mereka meskipun hanya sebatas argumen. Namun tidak di kalangan akar rumput, hingga kemudian menyebabkan pertumpahan darah di antara mereka.
Sementara itu, Perang Dingin di dunia sedang berlangsung antara blok Barat dan Blok Timur. Indonesia, yang pada saat itu dipimpin oleh Soeharto mulai khawatir setelah Fretilin memenangkan “kemerdekaan sepihak” dan melakukan deklarasi. Kekhawatiran terhadap Red Scare (Ketakutan Merah) ini akhirnya membuat aneksasi Indonesia ke Timor Timur.
Aneksasi Indonesia
Melihat kudeta sepihak yang dilakukan Fretilin dan ketakutan kemenangannya akan merembet hingga perbatasan, Indonesia kemudian mempengaruhi Barat hingga mendapat bantuan dari Amerika Serikat yang juga tidak mau Timor Timur dikuasai Fretilin yang komunis.
September 1975, pasukan khusus Indonesia mulai melakukan serangan awal ke Timor Timur. Dalam serangan ini, lima wartawan yang bekerja untuk jaringan berita Australia dieksekusi oleh tentara Indonesia di kota perbatasan Balibo pada 16 Oktober 1975. Peristiwa yang dikenal sebagai Balibo Five akhirnya menimbulkan kemarahan aliansi jurnalis di Australia.

Baca Juga: Menyingkap Wiranto dan Kasus Referendum TimTim 1999
Memasuki 7 Desember 1975, Indonesia mulai melakukan invasi resmi ke Timor Timur lewat operasi militer bernama Operasi Seroja. Mobilisasi besar-besaran pasukan militer Indonesia diarahkan ke kota Dili Timor Timur. Kontak senjata pun terjadi dengan pasukan militer Fretilin yang memiliki julukan Falintil.
Pasukan Fretilin menderita kekalahan. Setelah Indonesia mengambil kendali atas menara radio, memutuskan komunikasi dengan dunia luar, tiga hari berikutnya, pada 10 Desember 1975, militer Indonesia berhasil mengambil alih Baucau, kota terbesar kedua di Timor Timur setelah Dili.
Yang terjadi kemudian adalah sejarah, karena kian tahun jumlah pasukan Indonesia terus bertambah di Timor Timur. Sementara itu pasukan Fretlin terdesak dan mundur ke hutan dan pegunungan sambil terus bergerilya. Serangan pasukan Indonesia pun semakin keras dengan menembaki apa saja yang ditemuinya.
Deretan kekerasan berlangsung sejak invasi pertama 1975 hinggga 1999. Temasuk pembantaian Santa Cruz, yang berlangsung pada 12 November 1991 dengan diberondongnya para demonstran pro kemerdekaan hingga menyebabkan 250 orang tewas.

17 Juli 1976, pemerintah Indonesia kemudian memperkenalkan provinsi ke-27 mereka yang baru, yakni wilayah Timor Timur. Pemahaman ini pun segera diajarkan di sekolah-sekolah serta seluruh saluran nasional.
Lewat doktrin-doktrinnya Presiden Soeharto juga mengatakan bahwa Timor Timur adalah anak hilang yang telah kembali ke pangkuan Pertiwi, serta menyatakan bahwa para nasionalis Timor Timur adalah pemberontak dan separatis yang harus ditumpas.
Dikutip dari Tirto, Commision for Reception, Thruth and Reconciliation (CAVR) melaporkan korban kematian terkait konflik setidaknya berjumlah 102.800 orang. Dari jumlah itu, sekitar 18.600 orang dibunuh atau hilang. Dan sekitar 84.00 orang meninggal kelaparan atau akibat sakit parah. Angka-angka ini mewakili perkiraaan minimum CAVR yang temuannya diklaim berbasis ilmiah.
Kemerdekaan Timor Leste
Era Reformasi dan lengsernya Soeharto pada 1998 setelah 32 tahun berkuasa, membawa angin segar baru bagi Timor Timur. Dengan difasilitasi misi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Timor Timur (Unamet), penentuan pendapat alias referendum kemudian dilakukan pada Senin, 30 Agustus 1999.

Baca Juga: Rusuh Papua, Belajarlah dari Timor Timur
Arsip Kompas menuliskan, ratusan ribu orang berjalan menuju 200 lokasi yang tersebar di beberapa tempat untuk melakukan pemungutan suara dengan diajukannya dua pertanyaan untuk mereka. Apakah Anda menerima otonomi khusus untuk Timor Timur dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, atau menolak otonomi khusus yang diusulkan hingga menyebabkan pemisahan Timor Timur dari Indonesia.
Lima hari kemudian, tepatnya Sabtu, 4 September 1999, Sekjen PBB Kofi Annan di New York mengumumkan, dari sekitar 450.000 pemilih, 78,5 persen warga Timor Timur memilih untuk menolak otonomi, 19,7 persen memilih otonomi, dan 1,8 persen dinyatakan tidak sah. Di hari yang sama, kemudian Ketua Unamet Ian Martin di Dili, mengumumkan hasil tersebut yang dialihkan ke bahasa Indonesia, Portugal, dan Tetun.
Setelah resmi menjadi negara berdaulat pada 20 Mei 2002, Xanana Gusmao kemudian resmi disumpah menjadi presiden pertama Timor Leste dan mengakhiri penjajahan Indonesia terhadap Timor Timur.
BACA JUGA: Cek Berita AKTIVITAS PRESIDEN, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.