Ceknricek.com — Pada 1946 sekelompok seniman mendirikan perkumpulan bernama Gelanggang Seniman di Jakarta. Perkumpulan itu diprakarsai oleh tiga serangkai tokoh Angkatan 45: Chairil Anwar, Asrul Sani dan Rivai Apin.
Puncak kreativitas dari perkumpulan seniman ini ialah diproklamirkannya Surat Kepercayaan Gelanggang tepat pada hari ini 69 tahun yang lalu, 22 Oktober 1950. Tujuan dari surat ini adalah untuk lepas dari pengaruh atau ikatan dari angkatan sebelumnya, dan juga pihak penguasa yang dianggap munafik dan memasung kreativitas seni. Mereka menentang chauvinisme dan menganut paham bahwa seni itu bersifat universal, tidak terkotak-kotak.
Kesenian yang Universal
Beberapa tahun sebelum Surat Kepercayaan Gelanggang diproklamirkan, Asrul Sani, Chairil Anwar dan Rivai Apin sudah melakukan suatu upaya untuk menyatakan sikap kepenyairan mereka yang berbeda dengan angkatan sebelumnya (Pujangga Baru) .
Dari sinilah kemudian terbit kumpulan puisi bertajuk Tiga Menguak Takdir (1950). “ Takdir yang dimaksud di sini adalah Sutan Takdir Alisjahbana, tokoh utama dalam Pujangga Baru, “ ungkap Leon Agusta, dalam video Democracy Project.
Dalam perjalanannya, seniman yang berkumpul di Gelanggang tidak hanya pengarang seperti Pramoedya Ananta Toer, Usmar Ismail, Mochtar Lubis dan Sitor Situmorang. Melainkan juga pelukis seperti Henk Ngantung, Mochtar Apin, Baharuddin M.S. dan Basuki Resobowo.

Kelak Rosihan Anwar menyebut kelompok ini sebagai angkatan 45. Namun, dalam bukunya Pengkajian Kritik Sastra Indonesia (2009) karya Yudiono K.S tidak semua pihak sepakat dengan penamaan ini.
Sebagian dari mereka keberatan karena nama angkatan ini seolah menumpang pada kepahlawanan para pejuang bersenjata. Sedangkan mereka yang mendukung nama ini berpendapat bahwa berjuang di bidang kebudayaan tidak kalah penting dari perjuangan dengan senjata.
Baca Juga: Mengenang Penyair Seribu Tahun, Chairil Anwar
Pada 18 Februari 1950, kelompok tersebut kemudian merumuskan dan menandatangani pernyataan sikap kebudayaan bernama Surat Kepercayaan Gelanggang. Namun, surat pernyataan itu sendiri baru diumumkan secara luas pada 22 Oktober 1950 di Majalah Siasat.

Penyiaran yang ‘cukup terlambat’ dan hampir sembilan bulan itu menurut beberapa catatan sangat mungkin dimaksudkan sebagai reaksi atas publikasi Mukadimah Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang dicetuskan 17 Agustus 1950. Menurut Jennifer Lindsay mengutip Tirto, dalam pengantar bukunya Ahli Waris Budaya Dunia: Menjadi Indonesia 1950-1965 (2011), nama “Gelanggang” sendiri diambil dari suplemen kebudayaan majalah tersebut.
Pernyataan sikap kebudayaan ini terdiri dari enam alinea yang dibuka dengan kalimat: “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri”. Lindsay menambahkan, sejak awal para perumus Surat Kepercayaan Gelanggang memang mengakui bahwa proyek kebudayaan Indonesia bersifat internasional.
Pokok lain yang dianggap penting oleh Lindsay adalah kesadaran para perumusnya yang sejak dini telah merasa perlu membuat pernyataan kebudayaan dalam sejarah bangsa yang masih muda usia.
Melahirkan Manifesto Kebudayaan
Sikap para seniman Gelanggang yang menolak hubungan antara kebudayaan dengan kekuasaan kemudian berbenturan dengan organisasi seniman Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang mengedepankan politik sebagai panglima dan seni sebagai propaganda politik.
Baca Juga: Menguak Takdir Asrul Sani
Dari sinilah lalu lahir Manifes Kebudayaan (Manikebu) yang puncaknya terjadi pada 17 Agustus 1963 ketika para seniman Gelanggang kembali menyatakan sikap, setelah Lekra sempat menjadi “penguasa” dalam dunia kebudayaan Indonesia, khususnya kesusastraan.
Polemik pun muncul antar dua kelompok yang bertentangan. Dan di tengah suasana panas tersebut, berkat pengaruh kedekatan dengan kekuasaan, Lekra kemudian “meminjam” tangan penguasa untuk membungkam sastrawan Manifes.
Hasilnya, Soekarno melarang Manikebu pada 8 Mei 1964. Termasuk karya-karya sastra mereka dilarang beredar. Alasan pelarangan itu, karena Manifes dianggap kontra revolusi.
Dalam perjalanannya, bandul pendulum kekuasaan ini pun kembali berbalik. Hal yang pada awalnya dirasakan oleh sastrawan Manifes kemudian dirasakan pula oleh kelompok Lekra pasca 65 akibat dari naiknya Presiden Soeharto memegang tampuk kekuasaan selama 32 tahun.
BACA JUGA: Cek HEADLINE Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini