RNI (Rangkaian Ngopi Imajiner) Bersama Gus Dur
Ceknricek.com–Seperti tahun-tahun sebelumnya tiap tanggal 20 Mei kita peringati sebagai Hari Kebangkitan Nasional, kita sebagai bangsa mengenang lebih dari seabad lalu, kaum terpelajar mendirikan Budi Utomo sebagai manifestasi kesadaran nasional. Kini, kesadaran itu telah berevolusi: dari cita-cita keadilan menjadi realitas transaksional, nyaris di segala aspek kehidupan. Apakah pikiran saya ini absurd, kecamuk batin saya.
Tak disangka tetiba Gus Dur berujar cukup keras dan tandas: ‘’Lupakan idealisme. Bangkit hari ini berarti naik jabatan karena kedekatan, bukan kapasitas. Berani bicara kebenaran? Hati-hati, nanti dicap subversif atau lebih buruk: dibekingi preman lokal. Eh Mas.., menarik juga nih mengulas tentang premanisme yang akhir-akhir ini banyak disorot. Saran saya, ada baiknya kita tidak meremehkan premanisme lhoo.., ketahuilah Mas: mereka adalah pionir wirausaha lokal. Siapa lagi yang bisa mengelola parkir liar dengan sistem lebih rapi dari pemerintah daerah? Siapa yang menjamin keamanan pasar tradisional, menengahi konflik warga, bahkan menjadi penentu siapa yang boleh berdagang di trotoar?
Tetapi jangan salah lhoo Mas.., preman hari ini sudah naik kelas. Mereka mengenakan seragam, memiliki struktur organisasi, bahkan memiliki pelatihan mental ideologi segala. Mirisnya, dalam era kebangkitan nasional saat ini, saya mencermati premanisme dan korupsi sering kali saling terkait, menciptakan siklus kekuasaan yang sulit diputus. Premanisme menyediakan kekuatan informal yang dapat digunakan oleh aktor korup untuk melindungi kepentingan mereka, sementara korupsi memberikan sumber daya yang memperkuat jaringan premanisme itu sendiri, saling membutuhkan kiranya.
Nah…Indonesia tak kekurangan semangat nasionalisme, saya haqul yaqin akan hal tersebut. Akan tetapi, menurut saya, kita hanya kelebihan simbol. Hari ini kita tak benar-benar bangkit, kita sekadar merayakan “simulakra” kebangkitan—tiruan dari kebangkitan itu sendiri, tanpa substansi yang hakiki. Pada titik ini, berkenaan dengan simulakra tersebut, kita bisa merujuk lebih dalam pemikiran sobat saya Jean Baudrillard yang terpusat pada dua konsep “hyperreality” dan “simulation“. Terminologi ini mengacu pada alam yang tidak nyata dan khayal dalam kebudayaan kontemporer pada zaman komunikasi dan informasi massa (Aprillins, 2009).
Dunia menurut Baudrillard, didominasi oleh “simulacrum”. Ini adalah konsep yang diperkenalkan Jean Baudrillard yang mewakili tiadanya lagi batas antara yang nyata dengan yang semu, dunia telah menjadi dunia imajiner. Jean Baudrilard menggunakan juga istilah hiperialitas untuk menjelaskan perekayasaan (dalam pengertian distorsi) makna di dalam media. Hiperealitas komunikasi, media dan makna menciptakan satu kondisi, di mana kesemuanya dianggap lebih nyata daripada kenyataan, dan kepalsuan dianggap lebih benar daripada kebenaran. Isu lebih dipercaya ketimbang informasi, rumor dianggap lebih benar ketimbang kebenaran. Kita tidak dapat lagi membedakan antara kebenaran dan kepalsuan, antara isu dan realitas. Berkembangnya hiperealitas komunikasi dan media tidak terlepas dari perkembangan teknologi yang telah berkembang mencapai teknologi simulasi (Piliang, 2001:150).
Bila ditelisik lebih lanjut, mau tak mau, saya ‘terpaksa’ nyentil kaum muda nih..yang nyaris tiap menit hidupnya bersentuhan dengan simulacra di dunia maya yang nyaris mengambil hampir sebagian besar ruang nyata kehidupan kita. Dan uniknya, interaksi langsung -yang dulunya bersemayam sangat lama- memudar bahkan dianggap sangat membosankan dan membuang-buang waktu. Cyberspace (ruang maya) sendiri didefinisikan sebagai sebuah ruang yang di dalamnya orang dapat menciptakan dan mengubah peran, identitas, dan konsep diri sesuai dengan keinginannya.
Maka jangan salahkan jika anak muda hari ini lebih ingin menjadi influencer ketimbang aktivis. Setidaknya di media sosial, kebohongan bisa dimonetisasi, itulah realitas kekinian yang mewarnai kebangkitan nasional kita. Aneka media social akan diwarnai berbagai ‘simbol Kebangkitan Nasional’, di mana para pejabat membaca puisi, para siswa berdiri tegak menyanyikan lagu wajib, dan masyarakat menonton parade sambil bertanya-tanya: bangkit dari apa, menuju ke mana?
Mari kita rayakan kebangkitan ini. Bukan kebangkitan seluruh rakyat, tentu saja. Tapi kebangkitan kekuasaan informal, kebangkitan premanisme, dan kebangkitan korupsi yang semakin kreatif. Lembaga antirasuah kita bekerja keras. Tapi jangan khawatir, setiap kali mereka berhasil menjerat satu pejabat, sepuluh lainnya sudah siap menggantikannya. Sustainable corruption: korupsi yang berkelanjutan, demi stabilitas ekonomi dalam jaringan kekuasaan. Inilah yang bertekad untuk diakhiri oleh Presiden Prabowo.
Saya sungguh berharap Mas, setiap 20 Mei, kita tidak berpura-pura mengenang perjuangan, padahal kita sedang mensyukuri kenyamanan status quo. Kita menunduk di upacara, tapi membungkuk lebih dalam kepada kekuasaan informal yang bisa mengamankan kontrak. Saya mencoba mengajak marilah kita jujur sebagai bangsa, walau ini terasa nyelekit: hari Kebangkitan Nasional bukan lagi tentang melawan penjajahan lagi, kita sudah menang melawan Belanda, tapi kalah melawan bangsa sendiri. Premanisme bukan kegagalan sistem; ia adalah sistem itu sendiri. Ia hidup dari kompromi elit, dari pembiaran aparat, dari ketakutan masyarakat. Maafkan saya jika terlalu tandas ya..’’ pungkas Gus Dur dan berlalu.
Seperti biasa, saya tercengang dan masih mencerna apa yang beliau katakan.
*) Greg Teguh Santoso, akademisi dan pemikir independen, doktor di bidang Knowledge Management