Ceknricek.com –Pengamat politik DR Syahganda Nainggolan mengoreksi istilah new normal yang dipakai pemerintah Indonesia, usai penerapan status Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).Menurutnya, new normal adalah pengertian yang bersifat internasional. WHO kemudian melakukan standarisasi . Dalam menentukan new normal, ada parameter kurvanya melandai atau tidak.
“Nah kalau melihat ini, Anies (Baswedan) itu faham makanya dia bilang masa transisi. Karena new normal kurvanya harus landai.Di Asean Indonesia tidak pernah melandai, Singapura pernah melandai tapi kemudian naik lagi,”kata Syahganda, saat jadi nara sumber di program Sarita (Sarinya Berita) yang dibawakan Rahma Sarita di Realita TV.

Menurut Syahganda, di Singapura pernah naik kurvanya tapi hal itu bukan disebabkan penduduk asli. Mereka kemudian secepat mungkin mengatasinya. Diantara negara-negara Asean,terburuk adalah Indonesia. Karena di Indonesia tidak pernah dilakukan tahapan-tahapan seperti di Wuhan,Korsel,Italia,Perancis dll, dimana mereka bekerja cepat melakukan lockdown atau semi lockdown, kemudian mengerahkan tenaga medis ke rumah sakit yang membutuhkan. Kemudian menghentikan aktifitas ekonominya baik secara sadar maupun tidak sadar.
“Mereka berhasil semua. Mei kemarin orang-orang Italia melakukan dansa kemenangan. Karena mereka dua bulan terkurung. Makanya kalau kita bicara new normal, adanya new normal versi Indonesia. Ini dulu terminologi yang harus kita sepakati.Karena new normal versi WHO dan komunitas internasional itu beda,”kata Syahganda.
Baca Juga : Di Australia Pemda Terus Membangkang Pemerintah Pusat
Kemudian Syahganda menyoroti apa yang paling minimum yang bisa dilakukan oleh negara. Yaitu mengendalikan R dari sebuah kurva yaitu perbandingan mereka yang masuk rumah sakit dan yang keluar rumah sakit dan sudah sehat. Negara mampu mengendalikan manajemen kesehatan. Dokter-dokternya tidak meninggal kena covid. Sementara Indonesia hingga hari ini sudah 33 tenaga paramedis yang meninggal.
“Kemudian perawat-perawatnya. Inilah hal yang paling sedikit bisa dilakukan sebagai bagian dari upaya mengendalikan kurva daripada covid ini. Yang paling hebat tentu model seperti Vietnam, Selandia Baru dll. Di New Zealand sudah dua minggu tidak ada yang sakit lagi.Makanya mereka sudah tepuk tangan,”kata Syahganda.
Rezim Jokowi,menurut Syahganda, betul-betul dari awal itu masih tepuk tangan bercanda-canda saat covid masuk. Misal menteri kesehatan bilang buat apa pakai masker. Padahal di Thailand dan Vietnam menteri kesehatannya bagi-bagi masker. Presiden ngomong minumlah jamu dan empon-empon. “Kita tidak mengindahkan apa yang dilakukan bangsa-bangsa beradab di dunia.Sehingga kita mengambil risiko. Jadi risikonya kurva kita itu seperti benang kusut. Nggak tahu bagaimana turun naiknya,”sindir Syahganda.
Baca Juga : Jika Jubir Covid-19 Secantik dr Reisa
Selain itu Pemerintahan Jokowi mengagungkan pertumbuhan ekonomi. Memang pertumbuhan ekonomi masih positif di kuartal pertama. “Tapi efeknya apa? Efeknya kita menjadi negara di dunia yang susah memprediksi masa depan bangsa. Jadi kalau ditanya nilai, saya kebingungan menilainya karena mereka dikasih soal nggak ngerti soalnya,”pungkas Syahganda Nainggolan.
BACA JUGA: Cek Berita SELEBRITI, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.