Ceknricek.com — Soal pajak e-commerce atau dagang-el, Sri Mulyani nyatanya hanya piawai cas cis cus alias ngomong doang, omdo. Pada akhir tahun lalu, Menteri Keuangan ini menerbitkan peraturan soal itu, yang menurut rencana akan diterapkan 1 April 2019. Begitu waktunya nyaris tiba, saat menjelang pemilihan presiden, Menteri Sri mencabut aturan tersebut. “Biar nggak bikin gaduh,” begitu kira-kira ia berdalih.
Kini, pemerintah kembali mewacanakan menarik pajak toko online. Tekad ini disampaikan Sri di tengah belum jelasnya posisi dirinya akan menjadi menteri lagi atau tidak di Kabinet Kerja II. Maklum saja, Sri bukanlah menteri yang dianggap mumpuni. Kalangan oposisi menyebut dia sebagai menteri pencetak utang.
Hanya saja, soal tekad memajaki toko daring sudah tercermin dalam RAPBN 2020 beserta Nota Keuangan yang disampaikan Presiden Joko Widodo kepada DPR, Jumat pekan lalu. Di sana disebutkan pemerintah berencana menarik pajak dari e-commerce untuk menciptakan level playing field (perlakukan yang sama) antara toko online dan toko konvensional.
Menurut pemerintah, meningkatnya perkembangan ekonomi digital, baik secara global maupun nasional, menyebabkan shadow economy yang menjadi sumber risiko pendapatan negara.
Beberapa bentuk digital ekonomi yang menjadi sasaran pajak antara lain perdagangan secara elektronik (e-commerce), serta penggunaan uang elektronik (e-cash dan koin digital) secara anonim. Dari sudut pandang perpajakan, shadow economy masuk dalam kategori sektor yang sulit dipajaki (hard-to-tax sectors).

Baca Juga: Survei MarkPlus, Inc: Rata-rata Perempuan Indonesia 1-2 Jam Belanja Lewat E-commerce
Nah, untuk memberikan rasa keadilan bagi setiap pelaku usaha, pemerintah berupaya menciptakan level playing field bagi semua pelaku usaha, baik konvensional maupun e-commerce.
Selain itu, pemerintah akan mencari sumber-sumber penerimaan pajak baru sesuai dengan peraturan perundang-undangan untuk dapat memperluas sumber penerimaan pajak. Sumber-sumber penerimaan pajak yang baru ini mencakup pencarian objek pajak yang baru dan penerapan peraturan perpajakan terhadap ekonomi digital.
Kebijakan tersebut tetap akan dilakukan secara prudent sehingga tidak menjadi beban pada perekonomian dan dapat menjadi sumber penerimaan yang berkelanjutan (sustainable).
Bukan Pajak Baru
Sekadar mengingatkan, pada akhir tahun lalu, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengeluarkan peraturan tentang kebijakan pembayaran pajak bagi para pelaku e-commerce di Indonesia, termasuk pembuat konten di media sosial (selebgram) dan YouTuber. Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik.
Dalam peraturan tersebut, pemerintah tidak menetapkan jenis atau besar pajak yang akan dikenakan. Namun, memberikan penjelasan prosedur pemajakan untuk mendorong para pelaku usaha agar taat pajak.
Pedagang yang menjajakan barang atau jasanya di marketplace, diminta untuk memberitahukan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) kepada penyedia marketplace. Jika belum memiliki NPWP, maka dapat segera mengurus kepemilikannya atau melaporkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) kepada platform marketplace yang bersangkutan.
Selanjutnya, pedagang yang memiliki omzet di bawah Rp4,8 miliar melaksanakan kewajiban PPh yang berlaku. Sementara pedagang yang memiliki omzet di atas itu, akan dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan melaksanakan kewajiban PPN sesuai ketentuan yang ada.
Sama halnya dengan pedagang, marketplace juga harus memiliki NPWP dan dikukuhkan sebagai PKP. Kemudian, marketplace juga diminta untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN juga PPh terkait penyediaan platform kepada pedagang dan penjualan barang dagangan milik marketplace itu sendiri.

Terakhir, marketplace juga bertanggung jawab untuk melaporkan rekapitulasi transaksi yang dilakukan pedagang pengguna platform.
Sementara bagi pedagang online lain yang membuka lapaknya di luar marketplace, wajib mematuhi ketentuan terkait PPN, PPnBM, dan PPh sesuai dengan ketentuan yang berlaku secara umum.
Peraturan ini sedianya akan diberlakukan mulai 1 April 2019. Namun, menjelang pilpres, aturan itu dicabut. Ditariknya PMK ini menyusul, batalnya kenaikan harga bahan bakar minyak dan tarif tol bandara.
Baca Juga: Kominfo: Belanja Lewat Marketplace Lebih Aman
Kala itu Sri Mulyani mengaku, ditariknya aturan pajak ini lantaran dianggap memicu kesalahpahaman di berbagai pihak. Pemerintah merasa perlu menarik kembali payung hukum tersebut agar tidak menimbulkan ketidakpastian.
Menteri Sri menilai pemberlakuan aturan pajak e-commerce dianggap menghasilkan suatu bentuk pajak baru. Padahal, aturan ini hanya memperjelas urusan registrasi pedagang e-commerce. Pemerintah menganggap masih perlu melakukan sosialisasi.

“Saya ingin sampaikan pengumuman pada media, pertama selama ini banyak yang memberitakan soal PMK 210 seolah-olah pemerintah buat pajak baru,” katanya. “Begitu banyak simpang siur. Jadi, saya memutuskan menarik PMK 210/2018. Dengan demikian yang simpang siur tanggal 1 April ada pajak e-commerce itu tidak benar, kami putuskan tarik PMK-nya,” tegasnya.
Potensi
Kini, aturan terkait pajak e-commerce kembali ke aturan lama, yakni penghasilan sampai Rp4,8 miliar dikenakan pajak 0,5% atau mengacu pada peraturan perundang-undangan tentang pelaku UMKM. “Pelaku ekonomi yang e-commerce ingin treatment antara mereka dan media sosial (medsos) sama. Konvensional ingin supaya perlakukan pajak mereka sama dengan e-commerce,” kata Menteri Sri.
Penyedia platform marketplace yang dikenai di Indonesia antara lain Blibli, Bukalapak, Elevenia, Lazada, Shopee, dan Tokopedia. Selain perusahaan-perusahaan ini, pelaku over-the-top di bidang transportasi juga tergolong sebagai pihak penyedia platform marketplace.
Pelaku usaha yang melaksanakan kegiatan perdagangan barang dan jasa melalui online retail, classified ads, daily deals, dan media sosial juga wajib mematuhi ketentuan terkait PPN, PPnBM, dan PPh sesuai ketentuan yang berlaku.
Mestinya, jika efektif diterapkan, PMK No. 210/PMK.010/2018 akan memperbaiki performa penerimaan PPN dalam negeri. Potensi transaksi e-commerce di Indonesia cukup besar. Berdasarkan laporan Google dan Temasek 2018, nilai transaksi e-commerce di Indonesia mencapai US$12,2 miliar atau jika dihitung menggunakan kurs Rp14.000 nilainya sebesar Rp170,8 triliun. Nilai itu pada 2025 diperkirakan melesat menjadi US$53 miliar.
Jika mengambil angka itu, potensi PPN yang bisa dipungut bisa senilai Rp17,08 triliun. Hanya saja, nilai tersebut dihitung dari angka berdasarkan pesanan. Sementara itu, jika dihitung data nett marchandise value atau dasar transaksi yang sudah dibayar nilainya bisa berubah.
Di sisi lain, kinerja PPN dalam negeri sampai dengan akhir tahun lalu masih menunjukkan pertumbuhan yang kurang bergairah. Bahkan ada kecenderungan terus menyusut. Data Ditjen Pajak menunjukkan kinerja PPN dalam negeri hanya mampu tumbuh pada angka 6,57% atau lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan tahun lalu yang mampu mencatatkan kinerja pada angka 15,14%.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo, tadinya mengapresiasi terbitnya Peraturan PMK itu. Menurut dia, potensi penerimaan pajak dari penerapan aturan itu sebesar Rp342 Miliar. “Nilai itu jika dilihat dengan tarif 0,5 persen dan hanya atas tiga marketplace, yaitu Bukalapak, Tokopedia, dan Blanja.com,” katanya, Januari lalu.

Secara substansi, aturan itu cukup moderat, karena lebih fokus pada pengaturan hak dan kewajiban yang bersifat umum, dan menekankan registrasi sebagai wajib pajak bagi para pedagang. “Tidak ada jenis pajak baru, sehingga kewajiban yang ada terkait PPh, PPh Final PP 23, dan PPN (bagi yang memenuhi syarat),” ujarnya.
Kunci keberhasilan PMK ini salah satunya ada pada pemilik platform, yang akan menjadi tulang punggung pemastian pedagang memiliki NPWP sebelum mendaftar di sebuah platform. Untuk itu sosialisasi, koordinasi, dan pengawasan harus betul-betul bagus.
Pertanyaan kini, mungkinkag Menkeu kembali melansir PMK yang sudah terlanjur ditarik itu atau membuat PMK yang baru? Kita tunggu saja.
BACA JUGA: Cek HEADLINE Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini