Ceknricek.com — Tepat pada tanggal hari ini, 82 tahun yang lalu, 22 September 1937, Steve Liem Tjoan Hok alias Teguh Karya lahir di Maja, Lebak, Benten.
Kelak, dari tangannya yang dingin lahir bibit-bibit aktor dan aktris beserta karyanya yang menjadi salah satu tonggak emas dalam kesenian di Indonesia.
Tangan Dingin Steve Liem
Nama aslinya Steve Liem Tjoan Hok. Semasa kecil ia dipanggil Ahok. Pria yang kemudian mengubah namanya menjadi Teguh Karya ini lalu menjadi guru bagi ratusan aktor-aktris teater dan film di Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, sebut saja Slamet Rahardjo, Tuti Indra Malaon, Nano Riantiarno, Ninik L Karim, Franky Rorimpandey, dan masih banyak lagi.
Untuk itulah, bagi para seniman, ia dianggap sebagai suhu alias gurunya para teaterawan dan pemain film Indonesia. Cikal bakal Teguh berkarya di dunia seni film dan teater sendiri dimulai tatkala ia masuk Akademi Teater Nasional Indonesia atau ATNI.
Baca Juga: Dinamika Perjalanan Hidup Nano Riantiarno
Awal tahun 1960-an, Teguh belajar teater dari Djajakusuma dan untuk film, bersama Asrul Sani dan Usmar Ismail. Teguh juga memperoleh beasiswa sekolah Art Directing di East West Center Hawaii, Amerika Serikat. Sekembalinya ke Indonesia, Teguh Karya ikut membangun dunia seni dan teater dengan mengajar kelas akting dan drama di ATNI.
Di lembaga pendidikan kesenian pertama di Jakarta ini Teguh Karya kemudian juga membangun sendiri kerajaan seninya, Teater Populer. Pendirian Teater Populer sendiri didorong oleh faktor bahwa usai ATNI tutup akibat masalah finansial, tak ada lagi tempat untuk belajar teater. Maka dari itu, Teguh membulatkan tekad untuk menciptakan fasilitas berlatih dan belajar ilmu teater.
Di kala itu, Teguh juga sedang bekerja di Hotel Indonesia sebagai stage manager teater setelah mendapat tawaran untuk manggung di hotel tersebut. Momen itu pula yang akhirnya menguatkan cikal bakal Teater Populer Hotel Indonesia pada 1968. Empat tahun berselang, ia mengubah grupnya menjadi Teater Populer. Dari grup inilah pula, Teguh untuk kali pertama terjun sebagai sineas, lewat film pertamanya Wajah Seorang Lelaki (1971).
Meraih Piala Citra
Lewat Film pertamanya,Teguh mengalami kegagalan secara komersial, meskipun demikian ia ingin tetap bertahan di industri film dan akhirnya membuat film-film populer yang cukup menarik minat masyarakat pada masa itu. Ia kemudian membuat film Cinta Pertama (1973) dan menyabet kategori sebagai Sutradara Terbaik dalam Festival Film Indonesia.
Baca Juga: Mengenang Usmar Ismail, Bapak Perfilman Nasional
Selanjutnya, seperti telah tercatat dalam sejarah perfilman Indonesia, setiap menghasilkan film, Teguh Karya juga menghasilkan prestasi dan piala. Salah satu film karyanya yang menjadi legenda yakni Badai Pasti Berlalu yang kemudian membawa pulang tiga Piala Citra dengan jumlah penonton mencapai 212 ribu orang.
Popularitas film yang dibuat pada 1977 dan diangkat dari novel roman karya Marga T tak hanya mengangkat nama Teguh Karya. Juga para pemainnya seperti Christine Hakim yang berperan sebagai Siska, Roy Marten dan murid sang sutradara, Slamet Rahardjo. Seperti halnya Usmar Ismail di era 1950 hingga akhir 1960, Teguh kemudian menjadi legenda. Lewat tangan dinginnya, ia melahirkan karya-karya dan murid-murid dengan nama besar.
Pada akhir 1980-an, filmnya, Pacar Ketinggalan Kereta menebalkan reputasinya sebagai sineas dengan memboyong delapan piala Citra. Hingga awal dekade 90-an, Teguh masih terus berkarya dengan membuat film dan sinetron lepas. Misalnya film The Procession di tahun 1992, mini seri berjudul Alang-Alang di tahun 1994 dan film televisi, Indonesia Berbisik di tahun 1995.
Teguh Karya, yang sepanjang hayat memilih hidup melajang, mengembuskan nafas terakhir kali di RSAL Mintohardjo, Jakarta Pusat, pada 11 Desember 2001 di usia 64 tahun, setelah terserang stroke sejak tahun 1998. Dunia perfilman Indonesia pun berkabung atas kepergiannya. Atas ke-Teguh-annya dalam ber-Karya, dia mendapatkan penghargaan Usmar Ismail dari Dewan Film Nasional.
“Teguh Karya adalah suhu. Dia menjadi semacam setrum magnet yang gelombang getarannya sanggup membuat anggota kelompoknya terus merasa ‘demam berkesenian’. Dia adalah guru, sahabat sekaligus bapak. Kepadanya, anak didiknya tidak hanya belajar teater dan kesenian saja, tapi juga belajar tentang kehidupan agar bisa tetap berdiri meski kesulitan datang bertubi-tubi.” ungkap Slamet Rahardjo dikutip dari Kompasiana.
Total, selama laku hidupnya, Teguh karya telah menghasilkan 13 karya film, di antaranya, Wajah Seorang Lelaki (1971), Cinta Pertama (1973), Ranjang Pengantin (1974), Kawin Lari (1975), Perkawinan dalam Semusim (1976), Badai Pasti Berlalu (1977), November 1828 (1978), Usia 18 (1980), Di Balik Kelambu (1982), Secangkir Kopi Pahit (1984), Doea Tanda Mata (1985), Ibunda (1986), serta Pacar Ketinggalan Kereta (1989).
BACA JUGA: Cek FILM & MUSIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.