Ceknricek.com — Antara seni dan psikologi berkaitan sangat dekat, bahkan saling berhimpitan. Seni tanpa kekuatan psikologi kehilangan kekuatan berpijak. Sebaliknya seni dapat memperjelas kepada publik maksud teori-teori psikologi dalam praktek dengan indah. Dan sutradara John De Rantau, tanpa harus jadi ahli psikologi, mampu merangkum keduanya dengan baik dalam karya film terbarunya berjudul Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi.
Psikolog dan filsuf terkenal Sigmund Freud, punya teori yang sangat terkenal: seluruh tingkah pola atau perilaku manusia, sejatinya, dikendalikan oleh motif dorongan seksual atau libido, termasuk dalam hal humor. Teori yang sangat kompleks ini oleh John De Rantau dapat dijelaskan dan diuraikan dengan gamblang di film Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi. Di tangan John De Rantau, argumentasi teori Sigmund Freud yang sebenarnya rumit, bukan saja diterjemahkan menjadi mudah dipahami, tetapi juga terasa menghibur.
Diangkat berdasarkan cerita pendek karya Seno Gumira Ajidarma dengan judul yang sama, film ini mencoba mempertontonkan motivasi libido dalam praktek sangat dipengaruhi oleh imajinasi masing-masing orang yang kemudian terhimpun dalam imajinasi komunal atau masyarakat. Dampak sosialnya menimbulkan keresahan pasangan suami istri.
Foto: Himaya Studio
Dalam Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi, dengan kemasan komedi situasi, John De Rantau telah meninggalkan pakem-pakem konvensional sebuah karya film. Adapun yang ditampilkan John adalah gambar-gambar imajinasi sebuah masyarakat yang terjangkit motif libido, dan bukan sebuah frame drama sebagaimana karya-karya film pada umumnya. Ini film karikatural, bukan hanya pendekatannya saja tapi juga subtansinya. Dengan begitu, dalam Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi tak lagi diperlukan struktur dramaturgi yang ketat, kesinambungan adegan satu dengan lain, atau konsistensi logika berpikir yang linier. Gambar muncul dari imajinasi para pelaku. Gambar dapat muncul tiba-tiba, mendadak, meloncat-loncat, tak beraturan, semaunya, dapat mengundang tawa, kocak, tapi juga dapat menyindir. Oleh sebab itu, menonton film ini dengan cara pendekatan kovensional, hampir dipastikan akan gagal paham.
Manakala film dibuka dengan gambar mesin ketik tua, misalnya, kita mungkin awalnya mengira itu sekadar berarti kisah film muncul dari seorang tokohnya melalui mesin tik. Itu tak salah, namun mesin tik itu juga memikiki berbagai tafsir. Sang sutradara secara sadar, ataupun boleh jadi insting saja, ingin mengatakan, walaupun kita sudah hidup di zaman modern, di zaman laptop atau komputer, namun sebenarnya gaya hidup atau cara kita hidup kita, masih kuno seperti mesin tik.
Kerangka Masalah
Di sebuah Rukun Tetangga (RT) terjadi kehebohan. Para suami berbulan-bulan tak mau lagi melaksanakan tugasnya sebagai pejantan terhadap istri-istri mereka. Hal ini terjadi lantaran sejak kedatangan Sophie (Elvira Devinamira), seorang mahasiswi cantik jelita yang buat menyelesaikan riset tesisnya tinggal di RT itu. Sophie memiliki kebiasaan, kalau mandi selalu sambil bernyanyi.
Foto: Himaya Studio
Rupanya, tanpa sadar, suaranya yang serak-serak basah sangat digemari para bapak di sana, karena diangggap sangat seksi. Suara yang menimbulkan imajinasi seksual yang liar. Begitu sangat seksinya suara Sophie, dalam persepsi bapak-bapak, sampai-sampai kamar mandinya dibolongi dua lubang kecil, tempat para bapak di sana bergiliran mengintip saat Sophie mandi. Tatkala mengintip dan mendengar suara Sophie bernyanyi, lahirlah imajinasi-imajinasi seksual liar para bapak sebagai bagian dari libido mereka.
Sejak itulah para bapak berubah menjadi tidak tertarik lagi secara seksual kepada istri-istrinya. Maka para istri, yang ternyata juga memiliki hasrat sekual normal sama seperti para lelaki, mulai resah karena tak disentuh oleh sang suami. Pelbagai cara ditempuh kaum emak-emak tersebut guna membangkitkan gairah seks suami masing-masing, tapi gagal total. Lantas istri-istri itu protes kepada Pak RT (Mathias Muchus): menuntut agar Sophie dikeluarkan dari RT itu. Semua itu diceritakan oleh Senja (David John Schapp), yang belakangan jadi kekasih Sophie.
Pendekatan Kontras
Bagi penonton yang jeli, akan melihat John de Rantau, sebenarnya, memakai pendekatan kontras: sebagian besar memang dibuat dengan pendekatan karikatural dan sebagian kecil lagi disisipi dengan pendekatan realis. Keduanya dicampur-adukkan, tetapi sengaja tidak dilebur menjadi satu, melainkan justru sengaja dibuat kontras, sehingga terlihat perbedaannya.
Hampir setiap adegan yang menampilkan Senja dilakukan dengan pendekatan yang realis. Mulai dari peristiwa pencopetan di atas bus, perkelahian Senja dengan pencopet, adegan Senja dan Sophie di atas jembatan di tengah perkampungan, sampai adegan Senja menerangkan siapa dirinya di tepi pantai, semuanya dikemas dengan realis. Selebihnya, di luar adegan Senja, John De Rantau mengontraskannya dengan pilihan yang karikatural. Perbedaan pendekatan sengaja dibiarkan tanpa pretensi untuk dijadikan satu.
Foto: Himaya Studio
Hal Ini dilakukan John, sadar atau instingtif belaka, untuk mengingatkan kita, betapa dalam kehidupan memang terdapat banyak kontras, bahkan di antara orang dekat sekalipun, seperti antara suami-istri. Suami dapat memiliki imajinasi seksual tertentu, sementara istrinya yang tak paham malah menyalahkan pihak lain yang dapat memenuhi imajinasi seksual suaminya itu.
Kontras juga jelas terlihat dari kehidupan sehari-hari. Walaupun letaknya sangat berdekatan, tetapi kehidupan dan penghidupan dapat berbeda bagai langit dan bumi.
Kehidupan di kampung begitu padat, kumuh dan hampir tidak ada privasi. Berjarak tak jauh dari situ, berdiri apartemen yang mewah dengan pola yang individualistis. Keduanya hidup berdampingan dengan cara sangat berbeda seperti air dan bensin.
Itulah sebabnya pada awal-awal film sutradara mengeksploitir hampir seluruh bagian-bagian sudut kampung tempat kejadian. Dengan begitu, penonton menjadi faham di kampung semacam apa perkara terjadi. Sementara di bagian-bagian akhir film, para bapak di sana tetap menengok-nengok ke arah apartemen, yang bersebelahan dengan RT itu, tempat Sophie tinggal setelah terusir dari kampung.
Landasan Teori Humor
Pemilihan pendekatan karikatural bagi John de Rantau, bukan sebuah pelarian dari ketidakmampuan John mengolah film dengan pendekatan realis. Karya pertama film sutradara ini Denias Senandung di Atas Awan menunjukkan John juga seorang sutadara film realis yang andal. Pendekatan karikatural merupakan kesengajaan pilihan John untuk mengekspresikan imajinasi estetikanya. John nampaknya ingin mencari alternatif lain dari cara penyajian kebanyakan film-film Indonesia yang cenderung membuat pengulangan-pengulangan cara ekspresi. John seperti ingin menemukan ekspresi estetikanya sendiri dalam peta perfilman Indonesia.
Tidak boleh dilupakan pilihan John demikian tidak dapat dilepaskan terutama karena kolaborasinya dengan Seno Gumira Ajidarma, baik sebagai penulis cerpen yang dijadikan landasan film ini maupun sekaligus sebagai penulis skenario bersama. Selama ini Seno dikenal sebagai penganut dan pendukung dari teori filsuf Perancis Henri Bergson yang berpendapat, humor merupakan eksistensi pemikiran metafisika dan estetika (Seno Gumira Ajidarma: Antara Tawa dan Bahaya, Kepustakaan Populer Gramedia: 2012). Bagi Bergson tawa itu tidak netral, karena dalam tawa ada beban makna yang tidak dapat dibakukan. Tawa kita selalu merupakan tawa kelompok.
Foto: Himaya Studio
Menurut Bergson, humor merupakan salah satu imajinasi manusia dalam kelompok sosial. Kita tidak akan menghargai humor jika kita terisolasi. Disinilah tawa selalu merupakan pembongkaran dari rahasia bersama, mimpi bersama dan visi bersama, baik yang nyata maupun yang imajiner. Tawa dengan begitu dapat dipandang sebagai suatu penyaluran atau kemarahan sosial.
Bergson menegaskan, untuk memahami tawa kita harus meletakkan tawa kepada lingkungan asalnya, masyarakatnya. Tawa harus memiliki kebersamaan sosial.
Dalam hal ini John De Rantau berhasil dengan baik menerjemahkan pemikiran di balik cerpen Seno Gumira sekaligus membumikan teori-teori yang menyertainya. Film Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi mewujudkan gagasan dalam cerpen Seno Gumira sekaligus memberi contoh, tanpa menggurui, teori Henri Bergson dan kawan-kawan.
Latar belakang ini membuat kita mahfum, membaca film Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi dengan logika linear yang normatif bakal membentur menjadi ketidakpahaman. Pertanyaan bagaimana Sophie selalu diintip para bapak, kok tidak tahu, sudah tidak relevan lagi. Begitu juga pertanyaan kenapa bapak-bapak dapat diwakili dua orang yang mengintip lantas bersama-sama berimajinasi menyalurkan libido yang ada, tak lagi penting. Ini lantaran ada yang lebih sublim disitu: hasrat bersama yang terbenam yang menobrak tabu tetapi menjadi lucu.
Sebaliknya dengan logika yang linier normatif, apalagi yang sempit, gambar-gambar dipandang tidak masuk akal, sehingga dapat menilai film ini sebagai film yang flat atau datar. Jadi, dengan logika standar yang tidak kreatif seperti itu, tentu ekspresi dan subtansi film memang menjadi tidak nyambung alias salah kaprah membaca dan memahami film ini.
Unsur Teateral
Dalam ramuan film ini John De Rantau sengaja memasukkan unsur teaterikal dalam banyak adegan. Cara para emak-emak mengekspresikan kekecewaannya tidak disetubuhi suami-suaminya, jelas merupakan unsur teaterikal. Begitu juga perdebatan dalam penyebutan nama Sophie menjadi Sapi dan sebaliknya secara bersama-sama termasuk gaya teaterikal.
Tarian mirip zombie pun demikian. Adegan yang mengekspresikan hasrat terbenam yang sama secara sosial, juga banyak ditemukan dalam adegan teater. John menyuguhkan ini untuk memperkuat pendekatan karikatural film.
Melekat Pada Tujuan
Bagi John elemen-elemen teknikal film sudah bukan masalah lagi. Ia memakai elemen-elemen teknikal itu sebagai bagian yang jauh lebih dalam dari sekedar alat penghias. Elemen teknikal sudah harus otomatis melekat bukan saja pada bentuk-bentuk estetika namun juga harus melekat kepada tujuan dan pesan yang ingin dicapai.
Contohnya, akting di film ini bukan lagi peniruan terhadap laku saja, tetapi sudah merupakan bagian percikan dari keseluruhan visi ekspresi film. Dengan begitu akting para pemain dituntut berkualias tinggi, dan itu dipenuhi para pemainnya. Demikian pula editing tidak lagi sekadar menyambung gambar menjadi rangkaian cerita yang konstan, melainkan juga sebuah ekspresi yang tak terpisahkan dari film itu sendiri. Dengan demikian, dalam film ini John tidak lagi disibukkan dengan menata pernik-pernik elemen teknikal film, tetapi lebih fokus pada pengolahan visi estetikanya.
Simbolisme
Apapun pendekatan yang dipilih, film pada hakikatnya adalah gambar bergerak yang kaya akan berbagai kemungkinan. Apa pun jenis dan gaya pendekatan filmnya, komposisi dan sudut film pengambilan gambar tetap dapat memberikan pemaknaan yang kuat lewat simbolisme gambar. Adegan sepasang suami istiri yang sedang bertengkar dengan menampilkan istri di dalam kelambu dan suami yang berada di luar kelambu tetapi di depannya terdapat tirai semacam tali-tali vertikal, sebagai contoh kekuatan simbolis di film ini.
Foto: Himaya Studio
Gambar itu merupakan simbol dari banyak arti: istri yang terkukung gairah seksnya, sementara ke depan suami dilanda keraguan, mau kembali kepada kenyataan bersama istri, masih ada sekat-sekat, mau berimajinasi liar mengabaikan istri, juga belum bebas sepenuhnya. Walaupun tanpa penjelasan, setidaknya gambar dapat ditafsirkan seperti itu.
Hanya saja simbolisme yang sedemikian terbuka lebar pada pendekatan karikatural ini, tidak dimanfaatkan maksimal oleh John. Film ini kurang kaya dengan simbol-simbol gambar semacam itu.
Manakala Pak RT ingin membuktikan kebenaran suara Sophie waktu bernyanyi di kamar mandi di arena mengintip, misalnya, dia menemukan penjaga mendengkur karena diberi obat tidur oleh hansip. Di sini sesungguhnya banyak sekali kemungkinan gambar memberikan makna simbolis, tetapi terlewatkan begitu saja.
Foto: Himaya Studio
Jendela Johari
Untuk lebih memahami film ini kita juga dapat memakai alat bantu bedah teori Jendela Johari atau Johari Window. Dalam bidang psikologi, teori yang juga sering disebut teori kesadaran diri ini digunakan untuk membantu orang dalam memahami hubungan antara dirinya sendiri dan orang lain atau masyarakatnya. Teori ini digagas oleh dua psikolog Amerika, yaitu Joseph Luft dan Harrington Ingham dan karena itu disebut teori Jendela Johari, gabungan antara nama keduanya. Inti dari teori ini terkait perilaku maupun pikiran yang ada di dalam diri sendiri maupun di dalam diri orang lain.
Secara singkat, teori Jendela Johari menggambarkan manusia memiliki empat bagian atau empat perspektif seperti jendela: pertama, perilaku kita yang disadari oleh kita sendiri, namun orang lain (masyarakat) juga faham ikhwal perilaku kita. Kedua, perilaku kita, hanya kita sendiri yang paham, sedangkan orang lain tak faham mengenai perilaku kita ini. Adapun jendela ketiga, orang lain paham tentang perilaku kita, padahal kita sendiri tidak menyadarinya. Dan jendela keempat, baik kita maupun masyarakat sama-sama tidak paham tentang perilaku kita.
Film Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi, menguak perilaku kita seperti teori Jendela Johari. Kita sering menertawakan sesuatu yang kita merasa paham, namun sesungguhnya kita tidak mengerti sama sekali. Keempat peta perilaku itu dalam film ini dikemas menjadi perilaku kolektif, perilaku sosial. Imajinasi-imajinasi seksual individu, baik yang tidak diketahui masyarakat maupun yang sudah menjadi rahasia umum, dibeber secara terbuka, jujur, kocak sekaligus sinis. Masyarakat menertawakan kita, kita menertawakan masyarakat, serta kita dan masyarakat sama menertawakan semuanya. Film ini menyalurkan protes-protes kita yang dalam banyak hal rumusan protesnya tidak jelas, melepaskan himpitan sosial para bapak yang sejatinya mewakili libido kita secara karikatural. Di sana ada hiburan tetapi juga ada kontemplasi. Lucu tetapi sekaligus juga pahit.
Atas dasar itu, acungan jempol patut diberikan kepada John de Rantau terhadap pencapaiannya di film terbarunya ini.*
WINA ARMADA SUKARDI, Kritikus Film.