Ceknricek.com — Dua kasus hukum seakan muncul sekaligus di Australia. Pertama menyangkut seorang Ibu Guru dari 8 orang anak yang dituding melakukan 74 pelecehan seksual terhadap siswi-siswinya ketika ia menjadi guru kepala Sekolah Putri Yahudi “Adass” di Melbourne. Kedua tindakan Cina melarang seorang anak lelaki Muslim berusia 2 tahun yang memegang dwi-kewarganegaraan Australia-Cina, serta ibunya yang memiliki visa yang berlaku untuk masuk ke Australia.
Kasus pertama kini menimbulkan kegeraman di kalangan sejumlah politisi Australia yang umumnya dan biasanya begitu pro Israel yang memang dikenal punya “kesaktian” hingga leluasa melanggar hukum internasional tanpa ada yang berani menegur atau menggugat–aa (Lihat Buku “Membongkar Kesaktian Israel” oleh Nuim Khaiyath).
Kasus kedua membuat Australia salah-tingkah. Mau atau bisa bikin apa terhadap Cina?

Sebagaimana sudah pernah dilaporkan, ekspor Australia ke Cina bernilai sekitar 200-miliar dolar setahun. Meski begitu pemerintah federal (pusat) Australia tetap menyebut Cina hanya sebagai “pelanggan”atau lawan dagang, bukan sahabat.
Dan terkait kasus pencekalan Lutfy serta ibunya Nadila yang dilarang meninggalkan Xinjiang (wilayah mayoritas muslim bernama asli Turkestan), pengamat di Australia menyebutkan bahwa praktik “diplomasi penyanderaan” kini sudah kian sering diterapkan Cina untuk mengirim pesan tentang ketidak-sukaannya terhadap sesuatu tindakan atau perbuatan, atau bahkan pernyataan, dari sebuah negara lain.
Dalam hal kasus Lutfy dan ibunya Nadila, kata seorang pengamat Australia, itu boleh-jadi dimaksudkan untuk “membully” Australia, atau negara lain mana pun yang telah menyinggung perasaan Cina.
Sumber: Tiga WNI Jalani Persidangan untuk Kasus Terorisme di Singapura
Agar diketahui, Cina mendapat tudingan kian gencar dari banyak pihak, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, karena melakukan penyekapan terhadap lebih dari 1 juta Umat Islam (Uyghur) di apa yang dinamakannya “kamp pelatihan kembali”, sementara yang tidak atau belum disekap, disita paspornya, hingga tidak memungkinkan mereka meninggalkan Cina.
Kabarnya Cina punya daftar “ketidak-senangan” yang cukup panjang teradap Australia, karena adanya kecaman di Australia bahwa Cina mencoba mempengaruhi politik dalam negeri Australia.
Bukan hanya Australia yang sudah sempat menjadi mangsa “diplomasi penyanderaan” Cina. Sebagaimana diketahui, menyusul ditangkapnya oleh Kanada seorang eksekutif telekom Cina, Huawei, Beijing membalas dengan menahan 2 orang warganegara Kanada karena “merugikan keamanan nasioal Cina.”
Cina juga meningkatkan hukuman seorang warganegara Kanada lainnya dari 15 tahun penjara menjadi hukuman mati atas tuduhan melakukan jual-beli narkoba.
Pencekalan
Warga Australia Sadam Abdussalam, dalam tahun 2016 menikahi perempuan Cina bernama Nadila di Xinjiang . Nadila kemudian hamil, sementara Abdussalam kembali ke pekerjaannya di Australia. Tidak lama setelaha putranya Lutfy lahir, Abdussalam menerima kabar bahwa istrinya mengalami pencekalan.
Karena Abdussalam tidak mau tinggal diam, dan kasusnya mendapat pemberitaan luas dalam media Australia, Nadila harus berurusan dengan pihak penguasa Cina dan segala gerak geriknya dipantau ketat.
Menurut Abdussalam, pihak berwenang Cina menyuruh Nadila meminta agar suaminya jangan banyak buka mulut.

“Biarkan istri dan putra saya ke Australia, dan saya akan tutup mulut,” kata Abdussalam kepada media di Australia.
Kuasa hukumnya di Australia mengatakan, sama sekali tidak ada dasar hukum bagi Cina untuk mencekal seorang warganegara Australia, beserta ibunya yang telah memperoleh visa masuk ke Australia, untuk meninggalkan Cina agar dapat berkumpul dengan ayah/suami mereka yang tinggal di Australia.
Menurut Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yang ikut ditandatangani Cina, setiap orang berhak meninggalkan sesuatu negara, termasuk negaranya sendiri. (Apakah Habib Rizieq Shihab juga berhak meninggalkan Arab Saudi?). Kedutaan Besar Cina di Australia bersikap tutup mulut alias no comment.
Dugaan Pelecehan
Cerita mantan guru kepala Sekolah Putri Yahudi Adass di Melbourne, yang sempat hengkang kembali ke Israel ketika terungkap dugaan bahwa dia telah melakukan 74 pelecehan seksual terhadap siswi-siswinya lain lagi, kembali menyeruak.
Sudah sekitar 10 tahun Australia berusaha mengekstradisinya kembali ke Melbourne agar dapat diadili di kota Australia ini, namun terus terhalang oleh “ulah” pengadilan Israel.
Mantan Duta Besar Australia untuk Israel, Dave Sharma, yang kini terpilih menjadi anggota parlemen dari Partai Liberal, beberapa hari lalu memperingatkan bahwa ketertundaan terus menerus dalam proses ekstradisi Malka Leifer (sang mantan guru kepala dan ibu dari 8 orang anak) dapat menjadi duri dalam daging dalam hubungan antara Australia dan Israel.
Malka Leifer disangka melakukan 74 pelecehan seksual terhadap siswi-siswinya ketika ia menjabat sebagai guru kepala antara tahun 2001 dan 2008.

Selama ini ia berhasil mencegah ekstradisi karena mengaku mengalami gangguan jiwa, meski Australia dalam tahun 2014 telah mengajukan permintaan ekstradisi kepada Israel.
Perdana Menteri Australia Scott Morrison sempat mengangkat kasus ini ketika ia bertemu dengan Perdana Menteri Israel Binyamin Netanyahu di Perserikatan Bangsa-Bangsa bulan lalu.

Menariknya dalam kasus ini, yang pegang kartu utama adalah Pengadilan Negeri Israel yang masih belum yakin bahwa tersangka Malka Leifer berada dalam keadaan cukup sehat mental untuk dapat dikirim ke Australia guna mempertanggungjawabkan tudingan tersebut di depan pengadilan.
Baca Juga: “Surat Cinta” Trump untuk Erdogan Dibuang ke Tong Sampah
Hampir seluruh sistem peradilan di Israel , termasuk Departemen Kehakiman Negara Yahudi itu dan Mahkamah Agung Israel terkesan frustrasi dibuat ulah Pengadilan Negeri yang ternyata cukup berkewenangan.
Mirip Kasus Syamsul Nursalim
Mungkin kasus ini bisa disebandingkan dengan ulah terdakwa perihal BLBI Syamsul Nursalim yang sejak bercokol di Singapura mengaku tidak sanggup terbang (sekitar 1 jam dengan pesawat udara) ke Jakarta untuk mempertanggungjawabkan perihal uang rakyat Indonesia yang pernah dicurahkan ke dalam pundi dan uncangnya.
Menurut laporan media di Indonesia, bahkan ada kamar di sebuah rumah sakit di Singapura yang disewa dengan biaya 1.400 dolar Singapura satu malam atas namanya meski dia sendiri tidak pernah menginap di situ. Itu dimaksudkan untuk meyakinkan abdi hukum di Indonesia bahwa dia memang sakit (lebih tepat nyakit).
Kenapa? Syamsul Nursalim pernah ke Melbourne (penerbangan Singapura-Melburne makan waktu sekitar 8-jam) di awal tahun 2000-an untuk bertemu dengan seseorang yang waktu itu meski berada di luar lingkar kekuasaan namun diakui punya pengaruh yang sangat luar biasa terhadap penguasa waktu itu.
Dan tidak lama setelah “pemilik pengaruh” luar biasa di Indonesia itu kembali ke Tanah Air, keluarlah Surat Keterangan Lunas (SKL) untuk Syamsul Nursalim.
Syamsul Nursalim memang lebih licin dari belut yang tercempelung ke dalam minyak.
Baca Juga: Sejarah Hari Ini: Usman dan Harun, Dua Marinir Indonesia Digantung di Singapura
Jaksa Agung dalam Kabinet SBY, Hendarman Supanji pernah menugaskan Urip Tri Gunawan yang disebutnya sebagai “jaksa terbaik se Indonesia” untuk mengusut kasus Syamsul Nursalim.
Laporannya? Syamsul Nursalim dinyatakan tidak bermasalah. Pada hari yang sama Urip Tri Gunawan terkena OTT KPK di dekat rumah perpanjangan tangan Syamsul Nursalim di Jakarta, seorang perempuan molek yang juga sempat menghabiskan waktu di hotel prodeo. Urip menerima imbalan sekitar Rp6 miiar atas jasanya “mengharumkan” nama Syamsul Nursalim.
Apa pun, kini ahli waris dari tokoh yang disebutkan sebagai “pemilik pengaruh” di atas memang bergelimang bukan saja dalam kekayaan melainkan juga dalam pengaruh. Wallahu a’lam.
BACA JUGA: Cek INTERNASIONAL, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.