Ceknricek.com–Pagi ini, 27 April 2024, salah satu penyair terkenal Indonesia, Joko Pinurbo, wafat pada usia 61 tahun. Aku tahu dan kenal ia. Tapi anakku, Ara, “lebih kenal” karena ia pernah dididik langsung, meski singkat, oleh Joko Pinurbo, sejak Ara mengikuti Kelas Cerpen Kompas 2017, saat usianya 15 tahun. Sejak saat itu, terkadang ada nama Jokpin (panggilan akrab Joko Pinurbo) di percakapan antara aku dan anakku.
Saat Ara mengenal Jokpin, ia masih duduk di kelas satu sekolah menengah atas (SMA). Cerpen-cerpen Ara lolos kurasi dan ia berhasil masuk di Kelas Cerpen Kompas.2017. Ia menjadi peserta termuda di antara 15 peserta lain (1). Ara memang bak bara yang punya semangat menulis sejak dini. Sejak balita dan bisa membaca, Ara melahap banyak buku dan menulis. Aku tidak mengarahkan, tidak pula membiarkan. Karena bagiku ia masih harus berkembang bebas tanpa merasa ada kekangan.
Kelas Cerpen Kompas 2017 itu tampaknya membuat bakat Ara, makin terasah. Saat itu ada tiga pembimbing yang menjadi mentor peserta, yakni Editor Seni Kompas Minggu Putu Fajar Arcana, penulis Linda Christanty dan penyair Joko Pinurbo. Pengalaman beberapa hari bersama mereka melekat erat di diri Ara. Pulang dari kegiatan itu, tulisan-tulisannya makin terasah (dan terus-terang membuatku “melongo iri”). Nama Jokpin, juga Bli Can, berseliweran di radar percakapan aku dan anakku.
“Jokpin bilang apa, Nak?” Aku bertanya ingin tahu.
“Ara nanti jadi penulis besar.”
Lalu ia kembali berlari ke sana kemari melakukan ini itu. Aku tersenyum. Ara lalu menulis dan menulis. Setiap tulisannya dimuat di Kompas, cerpen itu masuk dalam Kumpulan Cerpen Terbaik Kompas. Dan ia tampak terus enjoy. Baginya menulis adalah menulis, tanpa harus dibebani masuk Kompas, Media Indonesia atau media mana pun.
Saat Ara hendak memilih jurusan untuk kuliah, nama Jokpin kembali masuk radar pertimbangan. “Jokpin dulu menganjurkan Ara untuk kuliah Sastra. Jika Ara kuliah di Jogja, Ara akan diajarkan menulis.”
Ooo. Sebagai ibu, jawabanku hanya “ooo” karena memang itu pilihannya, meski tampaknya saran Jokpin sangat diingatnya. Ara memilih Jurusan Sastra Indonesia, di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Meski tidak di Yogyakarta dan belajar dengan Jokpin (yang tinggal di Yogyakarta), Ara selalu menyimpan hormat kepada Jokpin — juga Bli Can dan Linda.
Beberapa hari lalu aku menerima kabar Jokpin sakit keras, lalu kusampaikan ke Ara. Anakku — yang sekarang bekerja menjadi Junior Writer di sebuah production house dan sekarang belajar menulis naskah dari seorang penulis naskah pemenang Piala Citra — menyatakan kesedihannya.
“Ara sedih, Mah…” Dan cerita-cerita tentang Jokpin kembali datang.
Pagi ini aku harus menyampaikan kabar duka ke Ara, bahwa salah seorang yang jadi “panutannya” sudah pergi menghadap Yang Ilahi. Aku tidak ingin mengganggu kesedihannya, karena kutahu ia berduka. Dan ia masih terdiam.
Mas Jokpin, begitulah ceritaku; Cerita tentang pengaruh baikmu ke Ara. Salut dan hormat ku setinggi-tingginya untukmu. Terima kasihku yang tak terkira, karena sudah memberikan kepercayaan diri kepada Ara untuk berkembang. Semoga semangat menulismu selalu ada dan menyertai Ara dan kita semua.
Hari ini aku menyaksikan obituari, kenangan dan berbagai pernyataan duka datang untuk mengenangmu. Dan tentu saja orang baik dikenang dan disayangi banyak orang. Maka pulanglah dalam damai, meski rasa kehilangan itu ada.
“Hidup adalah perjalanan kehilangan. Hidup adalah kumpulan perpisahan.” (Joko Pinurbo)