Ceknricek.com — Ya, belakangan ini masyarakat merasa mendapat teror Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan. Iuran asuransi wajib ini naik 100% pada tahun depan. Sudah begitu, ada semacam pemaksaan bagi seluruh rakyat Indonesia untuk membayar tepat waktu dan jumlah. Ribka Tjiptaning, anggota Komisi IX DPR, menyebutnya sebagai pemerasan.
Nyaris saban hari, viral di media sosial teror itu. BPJS konon akan menjadikan perangkat desa sampai pengurus RT sebagai penagih BPJS. Lalu, setiap warga yang nunggak tidak mendapatkan layanan urusan pelayanan publik. Mau menikah, misalnya, mesti dilampirkan kartu lunas BPJS. Mengurus SIM atau surat izin mengemuda juga begitu.
Terbaru viral di medsos, sebuah tangkapan layar berisi keluhan seseorang yang merasa rekeningnya terpotong untuk pembayaran iuran BPJS tanpa sepengetahuannya.
Unggahan tangkapan layar itu tersebar mulai Jumat (22/11). Sebuah akun yang mengunggah itu menyertakan foto struk rekening berisi jumlah nominal yang terpotong. Berikut narasi dalam tangkapan layar yang viral itu.

Begitukah? Kepala Humas BPJS Kesehatan, M Iqbal Ma’ruf, mengatakan pengaktifan layanan autodebit harus melalui persetujuan tertulis (surat kuasa) dari peserta JKN-KIS yang bersangkutan. “Autodebit itu mesti ada surat pernyataan pesertanya. Jadi tidak benar jika otomatis digunakan layanan autodebit tanpa persetujuan tertulis dari peserta,” kata Iqbal, dikutip Kompas.com, Selasa (26/11).
Baca Juga: Ini Tarif Baru Iuran BPJS Kesehatan, Berlaku 1 Januari 2020
Meski demikian, Iqbal mengatakan, calon peserta JKN-KIS yang baru akan mendaftar maupun peserta yang sudah terdaftar wajib mendaftar layanan autodebit. Hal itu merujuk pada Peraturan BPJS Kesehatan No. 6 Th. 2018 yang menyebutkan bahwa seluruh peserta JKN-KIS wajib terdaftar layanan autodebit. Selain diminta memasukkan biodata lengkap beserta jenis pelayanan yang diminta, pendaftar peserta BPJS juga diminta memasukkan nomor rekening beserta nama pemilik rekening tersebut.
Selanjutnya BPJS Kesehatan akan menarik iuran kesehatan secara otomatis atau autodebit setiap bulannya. “Kalau saldo dikosongin ya bisa saja, tapi iuran jadi tidak bayar dan kartu non-aktif,” kata Iqbal.
Tidak salah apa yang dibilang Ribka: pemerasan. Dalam video yang juga viral, politikus PDI-P itu dalam dengar pendapat dengan jajaran direksi BPJS Kesehatan mengingatkan, “kalau gotong royong orang dipaksa, itu namanya pemerasan. Ikut mandiri harus satu keluarga. Kalau keluarga lima orang, disuruh ikut semua lima orang. Itu pemerasan.”
Menekan Defisit
Pemerintah berdalih kenaikan iuran dan cara pemerasan dalam penagihan dilakukan bertujuan menekan angka defisit BPJS Kesehatan yang terus membengkak dari tahun ke tahun. Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, dalam dengar pendapat di Komisi IX DPR Agustus lalu mengungkapkan bahwa defisit keuangan BPJS Kesehatan naik saban tahun.

Pada 2014, BPJS mencatatkan defisit keuangan sebesar Rp1,9 triliun. Pada 2015, angkanya naik menjadi Rp9,4 triliun. Sempat turun menjadi Rp6,4 triliun pada 2016, tetapi pada 2017 defisit BPJS Kesehatan melonjak tajam menjadi Rp13,8 triliun dan Rp19,4 triliun pada 2018. Hingga akhir 2019 nanti, diperkirakan defisit BPJS Kesehatan mencapai Rp28 triliun hingga Rp32 triliun.
Baca Juga: Dirut BPJS: 96,8 Juta Peserta Tidak Mampu Ditanggung Pemerintah
Menurut Wakil Menkeu Mardiasmo, penyebab naiknya defisit BPJS Kesehatan tak lain adalah peserta kelas pekerja bukan penerima upah (PBPU). Hanya 50% dari jumlah PBPU yang membayar iuran. Sementara, kebanyakan dari mereka adalah pasien penyakit katastropik, yaitu penyakit yang penanganannya membutuhkan biaya besar karena rentan terhadap jiwa pasien. “Sebetulnya, yang membuat bleeding itu PBPU, jumlahnya sekitar 32 juta,” katanya awal Oktober lalu.
Kalau sebelumnya saja banyak PBPU yang tidak membayar iuran, lalu bagaimana kalau iuran kelompok ini dinaikkan? Sebagai informasi, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 75/2019, peserta PBPU Kelas III meningkat menjadi Rp42 ribu dari Rp22.500. Iuran peserta mandiri kelas II menjadi Rp110 ribu dari Rp51 ribu, dan iuran kelas I menjadi Rp160 ribu dari Rp80 ribu.
Belum ada solusi yang konkret soal ini. Pemerintah mesti memikirkan mereka yang penghasilannya tidak jelas atau pasti yang jumlahnya ditaksir 19 juta lebih. Mereka ini disuruh membayar Rp42 ribu, tentu berat.
Ada yang mengusulkan pemerintah memasukkan mereka yang bukan pekerja dan penghasilannya tidak tetap ke dalam kelompok penerima bantuan iuran (PBI). Solusi kedua adalah dengan memberikan subsidi pada nilai kenaikan iuran, yaitu Rp16.500. Pilihan terakhir, ya mencari opsi pendanaan lain untuk menutupi defisit itu.
Subsidi Kelas III
Wacana subsidi ini sebelumnya juga telah dilontarkan Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto. Dia menginginkan PBPU dan bukan pekerja (BP) tetap disubsidi. Menurut Terawan, pemerintah sedang mengusahakan agar bisa menggelontorkan dana guna membantu kelompok ini. “Kami mendorong upaya-upaya membuat PBPU dan BP kelas tiga bisa terbantu iurannya. Itu saja,” katanya beberapa waktu lalu.

Baca Juga: Iuran BPJS Kesehatan Kelas I dan II Diputuskan Naik
Namun demikian, subsidi kelas III seperti diwacanakan Terawan dianggap bukanlah solusi pas. Sesuai Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN), hanya masyarakat tidak mampu yang iurannya bisa dibayarkan pemerintah. Sementara, yang terjadi saat ini adalah banyak orang mampu yang berada di kelas III. “Itu melanggar UU SJSN,” kata Timboel Siregar dari BPJS Watch.
Timboel mengakui ada orang miskin di kelas III. Namun, mereka bercampur dengan yang mampu di kelas yang sama. Oleh sebab itu, kelas III tersebut mesti dibersihkan datanya. Harus diperjelas mereka yang memang harus masuk sebagai PBI, baik APBN maupun APBD. Mereka itulah yang mesti disubsidi negara. “Kalau kelas III disubsidi, berarti ada orang kaya yang diberi bantuan. Itu tidak boleh terjadi,” ujarnya.
Timboel pun tidak terlalu optimistis kebijakan untuk menaikkan iuran tersebut akan menghilangkan sama sekali defisit BPJS Kesehatan. Dalam kalkulasinya, BPJS Kesehatan memang berpeluang surplus pada 2020 dengan catatan defisit pada 2019 tidak dibawa. “Namun, kalau defisit 2019 yang diperkirakan Rp18,8 triliun dibawa, akan defisit Rp4,23 triliun,” katanya.
BACA JUGA: Cek POLITIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini