Ceknricek.com — Konsolidasi perbankan nasional beberapa tahun belakangan memang terlalu lemot. Hampir lima tahun berlalu, jumlah bank yang berkurang delapan bank saja. Pada tahun 2015 sebanyak 118 unit, saat ini masih di angka 110. Sudah begitu, modal bank-bank gurem alias BUKU I juga tak banyak bertambah.
Rupanya inilah yang membuat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ingin membuat aturan baru. Aturan ini akan lebih ketat dan memaksa, bukan lagi sukarela. Caranya dengan mendongkrak modal minimum bank menjadi Rp3 triliun. Ketentuan ini dilakukan secara bertahap.
Pada tahun ini modal inti bank ditetapkan sebesar Rp1 triliun. Tahun berikutnya menjadi Rp2 triliun. Pada 2022 batas modal minimum itu dikerek ke angka Rp3 triliun.
Aturan itu diperlukan mengingat proses konsolidasi dengan pendekatan voluntary, hasilnya kurang memuaskan. Skema sukarela itu membuat bank-bank malas melakukan konsolidasi karena tak ada sanksi apa pun. Inilah perlunya aturan yang lebih ketat supaya bank-bank gurem bisa lebih cepat melakukan konsolidasi.
Sedianya, beleid mengenai batas modal minimum bank itu dirilis akhir Januari kemarin. Lantaran masih terus digodok, aturan itu belum bisa dikeluarkan sesuai tenggat waktu.
Kendati demikian, OJK berdalih aturan penetapan modal minimum ini bukan untuk memperkecil jumlah bank. Menurut OJK, tujuan akhirnya adalah menjadikan semua bank memiliki daya saing yang kuat. Alhasil, skala usahanya meningkat dan mempunyai kontribusi yang lebih maksimal terhadap perekonomian.
Ketua Dewan Komisioner OJK, Wimboh Santoso, pernah menyatakan bahwa konsolidasi perbankan ditentukan oleh mekanisme pasar. “Kami setuju dengan adanya konsolidasi, tetapi lebih market driven, bukan regulatory driven,” katanya.
Akuisisi atau Merger
Toh demikian, konsolidasi perbankan, selain memperkuat daya saing, pada akhirnya juga akan memperkecil jumlah bank. Soalnya, bank-bank kecil kemungkinan besar akan memilih opsi diakuisisi atau merger. Kecil kemungkinan pemilik lama untuk setor tambah modal.
Langkah memilih diakuisisi atau merger dilakukan pemilik lama bank karena mereka tidak mau dan tidak mampu memperbesar permodalan banknya. Kalau pemilik lama mau dan mampu, tentu sudah lama mereka melakukannya. Itu sebabnya pemilik lama bank lebih suka cari untung dengan menjual kepemilikannya. Soalnya, mendirikan bank baru tak mungkin lagi di Indonesia. Mereka yang ingin masuk ke bisnis bank mau tak mau harus membeli bank yang sudah ada.

Nantinya, OJK menyiapkan sanksi bagi bank-bank yang tak bisa memenuhi ketentuan permodalan. Sanksinya berjenjang, mulai dari yang ringan hingga berat. Mulai dari pembatasan kegiatan perbankan, hingga penurunan kelas jadi bank perkreditan rakyat atau BPR.
Baca juga: OJK: Era Digital, UMKM dan Ritel Harusnya Masuk Pasar Modal
BPR adalah “kasta” terendah dalam industri perbankan nasional karena pelayanannya terbatas. BPR hanya bisa memberikan layanan simpanan tabungan dan deposito. Wilayah operasinya lebih terbatas dari bank umum dan modal inti BPR berada di bawah Rp100 miliar.
Sudah wilayahnya terbatas, mereka juga harus bersaing ketat dengan sesama lantaran area bermainnya sudah begitu sesak. Saat ini, berdasarkan data statistik perbankan OJK (per November 2019), jumlah BPR mencapai 1.552 unit. Dengan jumlah bank sebanyak itu, penyaluran dananya hanya sebesar Rp142,8 triliun. Kalah jauh dengan penyaluran dana bank umum konvensional yang mencapai Rp8.193 triliun.
Pukulan Bank Kecil
Aturan soal pembatasan modal minimum tentu saja menjadi tantangan berat bagi bank kecil, terutama bank BUKU I dan sebagian bank BUKU II. Bank BUKU I adalah bank yang memiliki modal inti kurang dari Rp1 triliun. Sementara bank BUKU II modal intinya antara Rp1 triliun hingga Rp5 triliun. Saat ini bank BUKU I berjumlah 13 bank, sedangkan Bank BUKU II totalnya mencapai 52 bank.
Tak pelak, rencana yang akan dikeluarkan oleh OJK itu bisa menjadi pukulan buat bank-bank kecil. Soalnya mereka harus berjibaku menambah permodalannya dalam waktu yang relatif singkat. Makanya, suara-suara keberatan kemudian bermunculan, seperti dari Bank Sahabat Sampoerna dan Bank Maspion.
Baca juga: BI dan OJK Sebut Pertumbuhan Kredit Melambat
Selain akan mengeluarkan aturan soal modal minimum, sebelumnya OJK sudah merilis beleid POJK 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum, pada Desember tahun lalu. Sama, aturan ini juga berupaya mendorong konsolidasi perbankan.
Dalam aturan tersebut dinyatakan bahwa aksi konsolidasi perbankan tak cuma bisa dilakukan atas inisiatif bank, bisa juga atas dasar tindakan pengawasan OJK. “Penggabungan, peleburan, pengambilalihan, integrasi, dan konversi sehubungan dengan tindakan pengawasan OJK atau didasarkan atas penilaian OJK untuk mewujudkan industri perbankan yang kuat, efisien, dan berdaya saing,” begitu bunyi pasal 2 ayat 1 huruf b.
Lebih Merata
Konsep API (Arsitektur Perbankan Indonesia) sesungguhnya sudah cukup lama. Hasilnya tidak memuaskan karena memang tidak ada pemaksaan.
API diluncurkan pada 2004. Dalam API, disebutkan ada dua sampai tiga bank yang mengarah kepada bank internasional dengan kapasitas dan kemampuan untuk beroperasi di wilayah internasional serta memiliki modal di atas Rp50 triliun. Selanjutnya, tiga sampai lima bank nasional yang memiliki cakupan usaha yang sangat luas dan beroperasi secara nasional serta memiliki modal antara Rp10 triliun sampai Rp50 triliun.
Berikutnya, 30 sampai 50 bank yang kegiatan usahanya terfokus pada segmen usaha tertentu sesuai dengan kapabilitas dan kompetensi masing-masing bank. Bank-bank tersebut memiliki modal antara Rp100 miliar sampai dengan Rp10 triliun. Dari situ bisa dihitung, jumlah bank tak sampai 60 bank.
Konsolidasi memang perlu digeber lantaran bisa mengurangi segmentasi. Konsolidasi juga akan mempersempit jurang perbedaan di antara kelompok bank. Dengan begitu, pengaturan dan pengawasannya jadi lebih mudah.
Bagi publik sendiri, dengan pengaturan pengawasan yang lebih baik, industri keuangan kita bisa lebih berperan. Dengan jumlah bank yang didominasi oleh bank kecil, sulit berharap lebih kepada mereka. Jika banyak bank memiliki kemampuan yang hampir sama, persaingan menjadi lebih merata sehingga menguntungkan masyarakat.
Ujungnya, meningkatkan peran dari perbankan untuk mendorong kegiatan ekonomi.
BACA JUGA: Cek POLITIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini