Ceknricek.com — Pemerintah melalui Kementerian Keuangan akhirnya menerapkan bea masuk tindakan pengamanan sementara (BMTS) untuk impor tekstil dan produk tekstil atau TPT. Kalangan produsen tekstil mengingatkan pengamanan kebijakan ini juga sangat penting untuk mencegah ulah importir nakal menyiasati aturan tersebut.
Ada tiga Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang diterbitkan untuk menangkal banjir impor sandang tersebut. PMK itu adalah PMK nomor 161/PMK.010/2019, 162/PMK.010/2019 serta 163/PMK.010/2019.
PMK 161/PMK.010/2019 mengatur soal bea masuk tindakan pengamanan sementara (BMTS) untuk produk benang selain benang jahit dari serat stapel sintetik dan artifisial. Nilai bea masuk yang diterapkan adalah Rp1.405 per kg.

Sementara PMK 162/PMK.010/2019 mengatur BMTS bagi produk kain dengan besaran tarif Rp1.318 per meter hingga Rp9.521 per meter, serta tarif ad valorem berkisar 36,30% sampai 67,70%.
Terakhir, PMK 163/PMK.010/2019 bea masuk pengaman bagi impor produk tekstil berupa tirai (termasuk gorden), kerai dalam, kelambu tempat tidur dan barang perabot lainnya. Nilai tarif tambahannya mencapai Rp41.083 per kg.
Tiga ketentuan yang menyasar impor produk dari 121-124 negara itu mulai berlaku 09 November 2019. Kendati demikian, tiap aturan mengecualikan penerapan bea masuk untuk sejumlah negara, seperti Macao (China), Malaysia, Singapura, Korea Selatan, Taiwan, sampai Thailand.
Ketiga aturan tersebut dikeluarkan menyusul desakan produsen TPT dalam negeri yang terdesak akibat produk impor.
Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar Lembaga Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Syarif Hidayat, menjelaskan akan berlaku selama 200 hari mulai 09 November. “Kami berharap pengguna jasa dapat mencermati isi aturan tersebut,” ungkapnya.
Sementara itu, untuk memastikan implementasi aturan ini berjalan lancar tanpa mengabaikan pengawasan terhadap barang impor, Kementerian Keuangan melalui Bea Cukai dapat melakukan pemeriksaan fisik berdasarkan manajemen risiko sesuai dengan PMK 225/PMK.04/2015 tentang Pemeriksaan Pabean di Bidang Impor.
Dominasi China
Syarif mengungkapkan negara asal impor tekstil didominasi dari China, yakni 70%. “Kain, benang dan tekstil lainnya terbanyak memang China,” katanya kepada CNBC Indonesia, Senin (11/11).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik atau BPS selama tiga tahun terakhir (2016-2018), volume impor kain meningkat 31,80% per tahun. Pada 2016, impor kain tercatat sebesar 238.219 ton, kemudian pada 2017 naik menjadi 291.915 ton dan terus naik menjadi 413.813 ton pada 2018.
Baca Juga: China Pengganggu Baja, Semen, dan Tekstil Kita
Volume impor kain Indonesia terbesar berasal dari China dengan pangsa impor sebesar 67,86% pada 2018, kemudian 63,61% pada 2017 dan 61,42% pada 2016 dari total impor Indonesia. Selain China, impor tekstil Indonesia tercatat dari Korea Selatan, Hong Kong dan Taiwan.
Tergerus
Melonjaknya impor tekstil membuat industri TPT dalam negeri tertekan. Tengok saja kinerja emiten TPT. Pada semester I-2019, sebanyak 50% dari 18 emiten tekstil dan garmen di bursa mencatatkan penurunan pendapatan.
Dua emiten mencatatkan kerugian dan ada enam emiten yang laba bersihnya tergerus. Emiten yang terus tergerus terutama berasal dari sektor hulu industri tekstil yang memproduksi benang dan kain.
Baca Juga: Kasus Duniatex Potret Industri Tekstil?
Sejak 2015-2018, pertumbuhan impor TPT mencapai 26% secara point to point dan 8% secara rata-rata tahunan (CAGR). Di sisi lain, ekspor TPT Indonesia memang tumbuh pada periode yang sama. Namun lajunya tidak setinggi impor. Dari 2015-2018, ekspor tumbuh 7% secara point to point dan 2% secara rata-rata tahunan (CAGR).
Secara otomatis, banjir impor yang terjadi membuat neraca dagang TPT Indonesia mengalami penurunan surplus dalam kurun waktu empat tahun terakhir. Pada tahun 2015 surplus neraca dagang dari TPT Indonesia tercatat sebesar US$4,4 miliar. Sementara pada tahun 2018, nilai tersebut turun menjadi US$3,2 miliar. Artinya, surplus neraca dagang TPT Indonesia mengalami penurunan sebesar 27%.
Pengawasan
Nah, setelah keluarnya tiga KMK itu maka kini yang terpenting adalah soal pengawasan. Kunci efektivitas kebijakan BMTPS tersebut adalah pengawasan. Bisa jadi, nanti importir berusaha memalsukan atau mengganti kode harmonized system (HS) produk yang impornya dikenakan BMTPS menjadi produk yang tidak diberlakukan BMTPS.
Hal itu sering terjadi, pada kasus pelanggaran importasi besi dan baja di Indonesia yang menggunakan modus yang sama, guna mengelabuhi pengawasan dari pemerintah. “Terlebih, aktivitas impor TPT borongan kembali marak terjadi, meskipun telah dilarang pemerintah” ujar Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (Apsyfi), Redma Gita Wiraswasta, kepada Bisnis, Minggu (10/11).
Di sisi lain, Redma menilai besaran tarifnya belum mampu memulihkan industri dalam negeri. Menurutnya, besaran tarif bea masuk tersebut hanya bersifat mengerem laju impor yang selama ini cukup deras.
Pasalnya, besaran tarif bea masuk tersebut hanya dihitung dari selisih harga produk impor dengan harga produk domestik yang berlaku di pasar. Perhitungan tarif tersebut belum memasukkan harga riil di tingkat produsen domestik.
Masalahnya, pada saat ini cukup banyak produsen kain domestik yang membanting harga jual produknya di bawah harga pokok produksinya agar dapat bersaing dengan barang-barang impor. “Namun kami paham, tarif dalam BMTPS ini sifatnya sementara. Harapan kami, di aturan safeguard yang sifatnya permanen nantinya, besaran bea masuknya bisa lebih tinggi. Selain itu jumlah produk yang dikenai hambatan tarif pun juga ditambah,” katanya.
Terdapat sejumlah produk TPT yang belum masuk dalam daftar pengenaan BMTPS. Produk-produk tersebut antara lain kain tenun dan rajut serta benang span rangkap. Dia menduga pemerintah belum melihat adanya lonjakan impor yang besar dari produk-produk tersebut sehingga tidak dikenai safeguard sementara.
Baca Juga: Industri Tekstil Kita di Pintu Kebangkrutan
Berbeda dengan Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade Sudrajat. Menurut informasi yang diperolehnya dari para importir, perbedaan harga produk impor antara sebelum dan sesudah dikenakan BMTPS cukup signifikan.
“Namun tentunya, besaran tarif yang diberlakukan dalam BMTPS saat ini bisa berubah ketika safeguard permanen diberlakukan. Begitu pula produk-produknya, mana saja yang perlu dikeluarkan dari daftar pengenaan bea masuk dan yang perlu ditambahkan ke daftar tersebut,” katanya.
Dalam penerapan safeguard permanen nantinya, produk tekstil jadi akan ikut serta dalam daftar produk yang dikenakan bea masuk tambahan. API telah mengusulkan kepada pemerintah untuk memasukkan produk tersebut dalam daftar pengenaan safeguard.
Di sisi lain, menganggap pemerintah sudah mengambil keputusan yang tepat dengan memberlakukan besaran bea masuk secara beragam sesuai dengan karakteristik tiap produk TPT.
“Kami awalnya cukup khawatir besaran safeguard akan dipukul rata dalam bentuk persen. Namun ternyata tidak. Langkah ini cukup melegakan kami setidaknya selama 200 hari ke depan sebelum safeguard permanen diberlakukan,” ujarnya.
Kendati demikian, Suharno juga menegaskan perlunya pengetatan pengawasan dalam hal pemalsuan dokumen impor. Dia khawatir para importir nakal akan memalsukan keterangan negara asal barang impor. Pasalnya, pemerintah tidak menerapkan kebijakan safeguard secara merata ke seluruh negara asal impor.
BACA JUGA: Cek POLITIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.