Ceknricek.com — Hidangan papeda sontak membetot perhatian khalayak terkait keinginan mahasiswa Papua untuk menjamu Walikota Surabaya Tri Rismaharani dengan sajian tersebut. Hal itu disampaikan Staf Khusus Presiden dan Ketua Lembaga Masyarakat Adat Tanah Papua, Lenis Kogoya, menyusul batalnya pertemuan Tri Rismaharani dengan mahasiswa Papua, Selasa (20/8).
Menurut Lenis, mahasiswa Papua itu bukan menolak, tapi akan menemui dirinya terlebih dahulu. Setelah itu mereka baru menemui Tri Rismaharini. “Mereka (mahasiswa Papua) sedang menunggu bagaimana bisa makan papeda bersama,” tutur Lenis.

Seperti apa sebenarnya tradisi makan papeda itu?
Papeda adalah makanan berupa bubur dari sagu yang dikonsumsi masyarakat di Maluku dan Papua. Papeda biasanya disajikan dengan ikan tongkol atau ”mubara” yang dibumbui dengan kunyit.
Menurut Antropolog sekaligus Ketua Lembaga Riset Papua, Johszua Robert Mansoben seperti dilansir Wikipedia, papeda dikenal lebih luas dalam tradisi masyarakat adat Sentani, Abrab di Danau Sentani, Arso dan Manokwari.
Bubur papeda kerap muncul pada upacara adat Papua, yakni “Watani Kame”. Upacara tersebut dilakukan sebagai tanda berakhirnya siklus kematian seseorang. Papeda dibagikan paling banyak kepada relasi yang sangat membantu pada upacara Watani Kame.
Baca Juga: Tradisi Masyarakat Biak Papua Jadi Daya Tarik Festival Muara Wampasi 2019
Di Inanwatan, papeda bersama daging babi juga menjadi makanan yang wajib disajikan saat upacara kelahiran anak pertama. Di daerah tersebut, papeda juga dimakan oleh wanita-wanita ketika proses pembuatan tato sebagai penahan rasa sakit.
Sedangkan di Pulau Seram, Maluku, Suku Nuaulu menyantap papeda –disebut sonar monne– dalam ritual perayaan masa pubertas seorang gadis. Selain itu, Suku Nuaulu dan Suku Huaulu juga melarang wanita yang sedang dalam masa haid dari memasak papeda, karena menurut mereka proses merebus sagu menjadi papeda dianggap tabu.
Dalam tradisi masyarakat Kampung Abar di Distrik Ebungfau, Kabupaten Jayapura, Papua, satu keluarga akan makan papeda dari satu “sempe” sebagai tanda ikatan kekeluargaan. Tradisi ini menjadi pesta budaya tiap tanggal 30 September.
Pesta budaya ini akan mengambil tema “Helai Mbai Hote Mbai” yang artinya “Helai” adalah sebutan lain untuk “sempe”, “mbai” berarti satu, “hote” berarti wadah ikan.
Saat pesta budaya di tahun 2018, Kepala Suku di Kampung Abar Naftali Felle mengatakan tradisi ini dapat menyatukan 139 kampung dan lima kelurahan di Kampung Abar.
“Dulu kalau orangtua putar papeda di sempe, semua anak dipanggil datang tanpa terkecuali. Mereka duduk lingkar. Mereka makan papeda dari satu sempe ini, mereka ambil ikan dan colo kuah di satu hote,” kata Naftali.
BACA JUGA: Cek SENI & BUDAYA, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.