Ceknricek.com — Di penghujung tahun 2017, setelah menjadi sarjana dari salah satu universitas di Melbourne, Australia, saya keukeuh ingin melanjutkan tinggal dan bekerja di Melbourne. Paling tidak beberapa tahun sebelum kembali ke Indonesia. Tak terasa, tahun ini sudah menjadi tahun keempat saya tinggal di Melbourne.
Setelah merantau sendiri selama empat tahun di negeri orang, saya banyak belajar hal tentang diri saya dan juga tentang hidup. Dengan waktu di Australia yang semakin menyempit dikarenakan visa, saya semakin merasa terdorong untuk mendapatkan pengalaman sebanyak mungkin di kota yang sudah saya anggap sebagai rumah kedua ini. Konsep waktu semakin nyata bagi saya; hidup itu hanya sementara, dan waktu tidak akan terulang lagi.
Sejak bekerja di Melbourne satu setengah tahun yang lalu, kesempatan untuk melakukan kegiatan yang membuat saya bahagia semakin sedikit, seperti traveling dan berkumpul bersama keluarga. Suatu hari, ada yang bertanya, ‘Bapak dan Ibu umur berapa?’. Saya terdiam melakukan kalkulasi diotak, dan hasilnya membuat saya tertegun; waktu telah berlalu begitu cepat, dan saya lupa bahwa bukan hanya saya yang bertambah umur, tapi juga orang tua.
Perbaikan Gizi
Bulan Agustus ini, kedua orang tua saya datang ke Melbourne melakukan “perbaikan gizi” untuk anak perempuan mereka satu-satunya. Istilah “perbaikan gizi” adalah istilah populer teman seperantauan yang digunakan saat salah satu orang tua kami datang. Kunjungan orang tua itu membuat kami dapat makan sepuas dan seenak mungkin. Kebalikan dari makan “asal kenyang dan pas-pasan” pada hari- hari rutin.
Ayah menemani saya di Melbourne selama satu minggu. Sedangkan Mama–panggilan saya untuk Ibu–untuk pertama kalinya, dapat berkunjung lebih lama, yaitu 20 hari.
Kembali ke konsep waktu yang sempit. Berkaitan dengan umur, bisa dibilang Mama saat ini masih cukup kuat untuk berpetualang seru. Visa saya akan habis awal tahun depan. Saya berpikir ini saat momen yang tepat untuk melakukan road trip bersama Mama. Dua perempuan, rasanya seperti apa enam hari dalam perjalanan darat di negeri orang. Itulah gagasan yang ada dibenak saya. Road trip di Australia memang hal yang lazim. Banyak orang menelusuri jalanan sepi nan indah di kota-kota Australia bersama teman dan keluarga.
Menurut saya, road trip adalah sebuah tipe traveling yang berbeda dengan lainnya. Waktu yang dilalui di mobil, sambil makan cemilan, sesi carpool karaoke dan nyasar-nyasar, hingga kehilangan sinyal ponsel saat menelusuri pegunungan dan daerah terpencil, memberikan sensasi yang berbeda dibandingkan saat naik pesawat atau kapal.
Dari pengalaman melaksanakan road trip, saya dan teman-teman dapat belajar banyak tentang satu sama lain, karena waktu yang dilalui bersama–di dalam ruang kecil sebuah mobil–cenderung lebih lama, dan suka dukanya (lelah, letih, dan lesu) banyak yang spesial.
Pilih Tasmania
Berhubung Mama datang saat musim dingin, saya memilih Tasmania, sebuah negara bagian di Australia, yang sering kali dijuluki sebagai “Mini New Zealand”. Pemandangan alamnya memang terkenal indah, pas dengan julukannya, mini New Zealand.
Trip pertama, berangkat dari Melbourne ke Hobart, Ibu kota Tasmania dengan pesawat. Penerbangan ditempuh selama satu jam lima belas menit.
Beberapa langkah keluar dari pesawat, dingin Kota Hobart menusuk tulang-tulang tropis kami. Berselimut jaket tebal, kami berlari menuju mobil sewaan dan pergi ke penginapan yang akan menampung kami untuk 3 malam kedepan. Harap dicatat, untuk trip kali ini pertama Mama menyetir mobil di negeri orang.
Hal pertama yang kami lakukan setelah tiba di Hobart ialah menaruh barang-barang di penginapan. Kemudian menuju Salamanca Market, salah satu pasar outdoor terbesar di Austalia, yang hanya diselenggarakan setiap hari Sabtu. Lebih dari 300 stalls yang berjualan aneka jenis makanan, minuman, hingga tumbuhan dan baju-baju. Siang itu, meski gerimis turun dan matahari tertutup oleh awan, saya dan Mama nekad berkeliling pasar dengan payung kami, menikmati jajaran-jajaran arts and crafts lokal.
Setelah itu, kami menuju Museum of Old and New Art atau biasa disingkat MONA, yang notabene tempat yang wajib dikunjungi oleh para traveller. MONA merangkup berbagai macam karya seni kuno, modern serta kontemporer, dan termasuk museum yang interaktif. Penjelasan tidak dalam bentuk brosur, tapi berupa perangkat semacam iPod yang memiliki berbagai jenis informasi untuk setiap karya seni yang ada.
Baca Juga: Kemenpar Gelar Kegiatan Perdana Famtrip Travel Agent Perth Australia-Labuan Bajo
Karya-karya seni yang dipamerkan juga sangat unik dan menggugah perasaan. Salah satu favorit saya adalah karya oleh seniman asal Jerman, Julius Popp, berjudul Bit.Fall. Bit.Fall berupa air terjun bertenaga koneksi internet, menghasilkan tayangan kata-kata yang sering muncul di berita internasional berdasarkan algoritme. Dengan karyanya, Julius Popp mengekspresikan cepatnya alur informasi yang datang di era digital masa kini, dan bagaimana gelombang informasi yang cepat dapat mengubah nilai dan kultur masyarakat secara instan.
Usai berkelana di MONA, langit sudah gelap dan kami memutuskan untuk kembali ke penginapan. Sebelum kembali ke mobil, kami melihat pelangi yang muncul setelah hujan seharian. Sudah lama rasanya tak melihat pelangi, dan kami berdua senang sekali melihatnya. Saya teringat masa kecil di komplek rumah, mengejar pelangi dengan sepeda ungu dan merah muda bersama teman-teman.
Malam pertama kami di Hobart boleh dibilang berat. Malam itu, kami berdua kedinginan. Sambil menggunakan jaket di bawah tumpukan selimut tebal, kami menikmati teh hijau dan nastar yang Mama bawa dari Indonesia. Tak tahan dengan dinginnya Hobart, kami menyerah dan meminta pemanas ruangan tambahan kepada pemilik rumah penginapan. Baru kami ketahui bahwa hari itu adalah hari terdingin di Tasmania di tahun 2019! Untung saja kami mendapatkan pemanas ruangan tambahan, dan malam itu Mama dan saya dapat tidur dengan nyaman.
Esok paginya, cuaca Hobart masih terlalu dingin, sehingga kami memutuskan untuk leyeh-leyeh santai di penginapan hingga siang. Rencananya, saya ingin membawa Mama ke Pulau Maria, pulau bersejarah bekas hunian narapidana di Australia yang hanya dapat diakses dengan menaiki kapal dari pelabuhan. Namun karena gerimis dan angin kencang, kami memutuskan untuk pergi ke Richmond yang terletak hanya 20 menit dari Hobart.
Richmond adalah kota kecil dengan suasana jadul yang apik dan unik, karena bangunan-bangunan tuanya dirawat dengan baik, dan masih dihuni hingga saat ini. Jembatan Richmond adalah jembatan tertua di Australia yang masih digunakan sampai sekarang.
Sore hari di Richmond, setelah berkeliling dengan payung di satu tangan dan teh panas di tangan lainnya, kami memutuskan untuk berbelanja bahan-bahan makanan di supermarket. Maklum, lidah kami sangat Asia, jadi kami perlu asupan nasi secara reguler. Malamnya di penginapan, kami memutuskan untuk memasak sup jagung dan ayam, menikmatinya di depan pemanas ruangan sambil berbincang dan bersenda gurau.
Hari Terakhir
Hari Senin adalah hari terakhir kami di Hobart. Meskipun cuacanya masih mendung dan dingin, saya memutuskan tetap harus ke pulau Bruny, yaitu pulau yang terkenal dengan keindahan alamnya. Untuk menuju Pulau Bruny, perlu naik kapal dengan mobil kami. Dengan sigap, Mama mengambil alih setir mobil dan memasukkan mobil kami ke kapal besar untuk menyebrang. Tidak mengecewakan, Pulau Bruny memang benar indah! Hari itu, saya dan Mama menyetir bergantian diantara hijaunya pohon rindang dan birunya lautan.
Hari Selasa, saya dan Mama bangun pagi untuk mengepak koper dan mempersiapkan bekal perjalanan. Hari itu adalah hari pertama kami menyetir cukup jauh, sekitar 3 jam perjalanan darat. Kami meninggalkan Hobart untuk menginap di Taman Nasional Freycinet. Setelah memasukkan koper-koper ke bagasi mobil, kami siap pergi.
Setelah satu jam menyetir, kami mulai memasuki area yang jarang dihuni. Memang beginilah daerah-daerah Australia yang bukan perkotaan. Ladang hijau terpapar sejauh mata memandang, kambing dan sapi ternak berjejer makan rumput ramai-ramai.
Hari itu cuaca cerah dan akhirnya kami dapat melihat teriknya matahari dan langit biru yang begitu indah. Mama menyetir dari awal hingga akhir dan aku menjadi DJ perjalanan kali ini, sambil makan perbekalan dan mengambil video dan foto-foto indah jalanan kosong yang terbentang dihadapan kami. Jarang sekali kami bertemu penjelajah lain di jalan. Saya mencatat hanya bertemu 2 atau 3 mobil lain setiap jamnya.
Di Australia, hukumannya sangat berat bila penyetir menggunakan telepon genggam, dan lagi pula saya jarang mendapatkan sinyal selama perjalanan, jadi di mobil kami fokus menimati keindahan alam serta banyak bercerita tentang banyak hal, mulai dari kehidupan hingga hal-hal sepele.
Setelah sampai dan check-in di cottage, saya dan Mama memutuskan untuk beristirahat sejenak. Saat matahari mulai bersembunyi, kami menuju teluk Honeymoon yang terletak 5 menit dari penginapan. Setelah berjalan pendek di semak-semak, kami disambut langit oranye, suara ombak dan kucaua burung. Air lautan bening yang mencerminkan terbenamnya matahari sore itu. Tapi pemandangan gunung Hazards terlihat indah dari kejauhan. Juga sunset kali ini adalah salah satu favorit saya, dan saya berjanji kepada diri saya sendiri untuk kembali lagi ke teluk Honeymoon.
Besoknya, kami melakukan perjalanan panjang lagi; tiga jam perjalanan darat dari Freycinet menuju Launceston. Launceston adalah sebuah kota kecil di bagian utara Tasmania. Kali ini, sayalah yang menyetir. Ditemani pemandangan elok dan cuaca yang cerah, serta perbekalan makanan pas-pasan, kami sampai di Launceston.
Kami langsung menuju Cataract Gorge, atau biasa dipanggil Gorge, sebuah wisata alam unik yang terbentuk secara natural, dan berlokasi hanya dua menit dari tengah kota. Sampai di Gorge, kami disambut dengan bentangan alam hijau dan subur, dan suara tawa anak-anak kecil.
Ternyata di Gorge ada tempat main alam untuk anak-anak, dimana mereka bisa bermain air, pasir dan perosotan secara gratis, aman dan bersih. Beberapa keluarga terlihat sedang berpiknik, menikmati cuaca cerah pada hari itu. Saya dan Mama memutuskan untuk naik kursi gantung, dan menikmati pemandangan alam ini dari atas, sambil menghirup udara segar dan menikmati hari terakhir kami di Tasmania. Sorenya, saya dan Mama keliling kota Launceston dengan mobil. Banyak bukit dan jalannya berliku-liku. Dipinggir jalan, banyak rumah-rumah kecil yang unik dan cantik. Kami berdua serasa berjalan-jalan di “Mini San Fransisco”.
Keesokan harinya, saat saya dan Mama sedang bersiap-siap menuju bandara untuk kembali ke Melbourne, kami mendapat pesan bahwa pesawat kami telah dibatalkan karena angin dan cuaca yang tidak memungkinkan. Saya langsung mencari penginapan baru ditengah kota untuk satu malam lagi. Karena cuaca yang tidak memadai, saya dan Mama memutuskan untuk menikmati hari “bonus” ini di Launceston saja, dan kami menikmati pijat deep tissue di dekat hotel, lalu menyantap Chinese food untuk menutup hari. Malam itu kami tidur sebentar sebelum bangun pagi untuk menuju bandara dan terbang kembali ke Melbourne.
Untuk perjalanan kali ini saya sengaja membuat jadwal yang tidak terlalu padat. Trip kali ini lebih mengutamakan momen kebersamaan daripada jumlah tempat yang dikunjungi, dan usai trip ini, saya merasa senang dengan keputusan saya. Hal-hal kecil seperti membuat bekal dipagi hari, makan mie goreng instan malam-malam saat kedinginan di penginapan, atau sarapan pagi dengan apel dan teh sambil mengepak koper adalah momen sederhana penuh kebahagiaan yang saya syukuri.
Perjalanan ini membuat saya dan Mama mengenal satu sama lain lebih baik lagi, karena kami dihadapkan oleh masalah-masalah baru diluar zona nyaman kami. Inilah yang namanya quality time.
Perjalanan panjang di mobil, hanya berdua, menyanyikan lagu-lagu lawas sambil makan dan minum bekal yang kami siapkan sendiri, serta perasaan lelah dan letih yang kami rasakan saat nyasar, adalah pengalaman berharga dan berbeda yang akan saya kenang terus ke depannya.
*Selma Halida, penulis tinggal di Melbourne
BACA JUGA: Update Berita-Berita HEADLINE Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini