Oleh: Zainal Bintang
“Drama” sebabak penganiayaan yang dialami tokoh aktivis wanita Indonesia Ratna Sarumpaet (RS) –yang terkenal karena konsisten mengkritisi semua presiden dari sejak Soeharto sampai Jokowi hari ini– ternyata adalah bohong belaka alias hoaks.
Geger hoaks RS itu telah memantik “tsunami” politik yang memakan korban. Tembak menembak di antara sesama politisi yang saling berseberangan jalan tak terhindarkan. Hujan pengaduan kepada yang berwajib berbanding lurus dengan hujan permohonan maaf dalam kemasan jumpa pers.
Ledakan kasus kebohongan itu memang telah mengubur karier politik RS. Bahkan, bisa menyeretnya ke dalam penjara. Akan tetapi, ada satu hal lain yang justru menakutkan: merebaknya perpecahan antara anak bangsa yang direpresentasikan kubu petahana (Jokowi) dengan kubu Prabowo (oposisi). Konflik horizontal di level elite Indonesia hari ini telah bergulir menjadi perseteruan politik terbuka.
Kasus hoaks RS itu ramai-ramai mau dikapitalisasi guna meraup nilai tambah bonus elektoral dengan cara saling menghancurkan. Para politisi berpacu menggarap ceruk psikologis masyarakat, tapi mengabaikan nilai musyawarah kekeluargaan ciri khas budaya bangsa. Cara ini dikenal dengan istilah zero sum game. Basis semangat tersebut jelas sebuah budaya sadis yang bertentangan dengan nilai luhur Pancasila yang sarat petunjuk kebajikan.
Boleh jadi ada kekuatan hitam telah bekerja sedemikian canggihnya sehingga mampu merontokkan semangat persaudaraan senasib sepenanggungan anak negeri ini. Tergelincir menjadi kubu “kamu atau kami” ; kubu “kita atau mereka”. Fakta kehidupan sekelam ini berpotensi membuat bangsa kembali ke kilometer nol.
Dalam konteks sinetron hoaks RS, publik mencurigai kemungkinan adanya skenario gelap yang membuat RS “hilang” ingatan. Membuat tatapan matanya kosong melompong disertai wajah yang mendadak kebego–begokan. Beberapa kali dimunculkan di layar televisI RS terlihat seperti orang “yang berkebutuhan khusus”.
Ada yang menduga RS telah terperangkap ke dalam jaringan “operasi” senyap intelijen. Apalagi sebuah media online pada akhir Juli menyebutkan RS telah kehilangan ponselnya. Itu berarti seluruh kegiatannya yang bersifat pribadi telah jatuh ke tangan orang lain.
Mungkinkah dari isi ponsel yang sangat pribadi itu sang kekuatan gelap itu mendapat amunisi untuk membungkam RS. Soalnya pemberitaan di media online itu sampai hari sepertinya tidak ada yang membantahnya.
Skenario gelap itu diperkirakan terkait dengan tindakan tidak terpuji yang dilakukan RS secara gegabah. Mengganggu citra dirinya sebagai tokoh bersih dan simbol moralitas. Terutama terkait dugaaan penggunaan dana bantuan bencana korban kecelakaan di Danau Toba yang diperkirakan ditampung di rekening bank milik pibadinya. Dan konon telah digunakan untuk biaya operasi wajah. Polri menyebut adanya penyitaan buku tabungan dan rekening bank RS ketika dilakukan penggeledahan di rumahnya.
Di atas segala-galanya patut disayangkan karena kubu petahana sepertinya telah terjebak memainkan isu ecek-ecek sekelas kasus RS. Padahal, instabilitas ekonomi harus jadi fokus utamanya saat ini. Jika hal itu tidak dikelola dengan serius dan hati-hati dapat mendorong eskalasi pelemahan ekonomi yang berdampak pada melemahnya daya beli rakyat. Pada gilirannya berujung pada distrust, menurunnya kepercayaan kepada pemerintah.
Gejolak kurs Dolar Amerika di atas 15 ribu Rupiah dan masih akan bergerak terus adalah lampu merah lantaran menggoyang semua sendi kehidupan. Hidup rakyat kecil tertekan oleh mahalnya harga kebutuhan hidup sehari-hari, yang celakanya kebanyakan bersumber dari impor.
Pengalihan isu yang dibangun “entah oleh siapa” melalui banjir berita sinetron hoaks RS harus diyakini tidak akan pernah mampu membalikkan perhatian rakyat terhadap kesulitan ekonomi. Eskalasi kasus hoaks harus dipotong. Ibarat pengendara mobil, polusi sinetron hoaks hanya akan membuat mata pemerintah terhalang oleh kabut kegaduhan politik sehingga kecolongan untuk menangani ancaman kekacauan ekonomi.
Jangan sampai elite politik memilih lebih asyik “berburu” kekuasaan. Namun, mereka tidak sadar telah menari digendang konspirasi negara asing yang getol bersama kaki tangannya di Indonesia, yang memang berpretensi menghalangi Indonesiaku ini menjadi damai, tenteram dan mandiri.
Daripada sibuk “berbalas pantun” meladeni produksi hoaks yang tidak akan ada habisnya, sebaiknya pemerintah segera menata kembali serangkaian regulasi dan kebijakan. Demi menolong keadaan rakyat kecil yang mulai diamuk rasa gelisah.
Setiap kita wajib hukumnya berkontribusi membunyikan alarm kepada kekuasaan manakala terlihat gejala ada penyimpangan kebijakan yang keluar rel.
Novelis Rusia yang terkenal pada abad 19, yaitu Fyodor Dostoevsky yang banyak menulis dengan tema-tema kemanusiaan dan kemiskinan pernah mengatakan: “kegelitaan demi kegeiltaan aku kemukakan karena cintaku kepada cahaya”.