Ceknricek.com — Bursa adalah tempat menjala dana murah yang paling modern melalui Initial Public Offering atau IPO. Bursa Efek Indonesia atau BEI, belakangan merayu perusahaan rintisan berstatus unicorn untuk melantai di bursa. Sayang, para pemilik bisnis dengan valuasi di atas US$1 miliar ini masih mikir-mikir. Unicorn yang lahir dan besar di Indonesia adalah Go-Jek, Tokopedia, Traveloka, dan Bukalapak.
Para unicorn ini sudah mendapat kucuran duit berlimpah dari investor asing maupun lokal sehingga, boleh jadi, menjadi sebab mengapa mereka belum merasa perlu listing di bursa. Lagi pula, belum tentu juga investor percaya dengan profitabilitas start-up. Jika itu terjadi, bisa-bisa harga saham perusahaan rintisan ini remuk.

Direktur Teknologi Informasi dan Manajemen Risiko BEJ, Fithri Hadi, mengakui pihaknya sudah melakukan sosialisasi kepada Go-Jek, Tokopedia dan Bukalapak agar bisa menjadi perusahaan publik di Indonesia. “Sudah kita dekati, kasih sosialisasi bahkan kelas khusus. Tinggal mereka yang memutuskan untuk IPO di sini atau tidak,” kata Fithri Hadi, Senin (23/9).
Awalnya, Gojek pernah mewacanakan minatnya. Belakangan perusahaan berbagi tumpangan yang didirikan Nadiem Makarim ini lebih memilih membenahi bisnisnya. “IPO belum menjadi prioritas dalam waktu dekat. Fokus kami saat ini adalah untuk terus mengembangkan bisnis,” ujar VP Corporate Communications Go-jek, Kristy Nelwan.
Bukalapak juga begitu. Muhammad Fajrin Rasyid, Co-Founder and President Bukalapak, mengatakan masih melakukan kajian untuk melantai di bursa saham. Bukalapak memang punya rencana untuk go public, kata Fajrin, tapi sudah dipikirkan tidak dalam waktu dekat. “Kalau bicara mungkin yang mungkin saja. Setahun yang pasti belum,” ujarnya. Fokus Bukalapak saat ini adalah memperkuat layanan untuk pelanggan.

Sementara itu, nun jauh di sana, perusahaan rintisan yang bergerak dalam layanan penyewaan rumah, Airbnb, mengumumkan akan go-public pada tahun depan. Kabar ini diposting Airbnb di situs webnya pada Kamis 19 September. Namun, sebagaimana dikutip dari Reuters, Airbnb tidak memberikan rincian tentang bagaimana rencana listing akan dilakukan, meskipun diperkirakan secara direct-listing.
Baca Juga: Saatnya Investor Beralih dari Unicorn ke Kuda Zebra
Beberapa start-up telah melakukan listing saham tahun ini. Mereka itu antara lain Uber dan Lyft Inc. Tetapi saham keduanya bernasib buruk setelah peluncuran karena investor mulai meragukan profitabilitas ke depannya.
Pemilik WeWork, The We Company, juga telah menunda IPO setelah mendapat tanggapan yang kurang baik dari para investor.
Uber Technologies Inc bernasib kurang menguntungkan. Pada Mei lalu, perusahaan rintisan ini melantai di bursa. Harga sahamnya langsung anjok hampir 20% di bawah harga IPO. Analis Wedbush Daniel Ives menganalogikan kondisi yang dialami Uber ke dalam keadaan buku jari memutih (white knuckles) ketika tangan mencengkram sesuatu begitu erat.
“Dari perspektif stok, jika Uber menembus US$35, di situlah ia mulai memperoleh white-knucles lebih banyak,” ujar Ives, seperti yang diberitakan oleh Bloomberg. “Tidak ada yang menghentikan turunnya saham-saham ini, apalagi di lingkungan yang berisiko.”
Setelah itu saham Uber Technologies jungkir balik. Secara keseluruhan, saham Uber turun hingga 23% selama Agustus, menurut data S&P Global Market Intelligence. Saham pun terus rontok setelah muncul laporan, Uber menghentikan perekrutan. Perusahaan akan mem-PHK 400 karyawan dari tim teknik dan produk. Pada Kamis (26/9), saham Uber di NYSE hanya dihargai US$31,68.
Perusahaan ini telah kehilangan US$5,2 miliar atau setara sekira Rp72,9 triliun (kurs Rp14.031 per dollar AS) pada kuartal II 2019. Dikutip dari Bussiness Insider, kerugian itu adalah kerugian kuartalan terdalam yang pernah ada.
Sejatinya, perusahaan ini memiliki banyak ide dan sejumlah bisnis sekunder sebagai pelengkap layanan berbagi tumpangan. Namun, hal itu tak terlalu berpengaruh jika jumlahnya tak bertambah. Apalagi, jika pertumbuhan top-line terus melambat, saham Uber akan semakin anjlok.
Hal yang sama juga menimpa kompetitor Uber, Lyft, yang IPO 29 Maret lalu. Selain faktor keraguan terhadap perusahaan ride-hailing dan sharing economy, jual-beli pasar di tengah ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dam China dianggap membebani valuasi dua perusahaan ride-sharing itu. “Uber dan Lyft terperangkap dalam badai sempurna dari kondisi pasar yang dipengaruhi oleh perdagangan China, dikombinasikan dengan kekhawatiran tentang tidak ada keuntungan, dan pertarungan penilaian,” jelas Ives.

Saham Lyft Inc jatuh di bawah harga penawaran umum perdana (IPO) pada hari kedua perdagangan. Analis menyalahkan kemerosotan 12% harga yang terjadi pada pertanyaan yang belum terjawab tentang bagaimana Lyft yang kini merugi akan menjadi menguntungkan.
Pasca IPO, Lyft bervaluasi US$29 miliar (Rp411 triliun). Saham Lyft pada saat IPO dilepas US$72. Pada hari pertama, di bursa saham Nasdaq, diperdagangkan pada US$87,24. Harga itu terus turun. Akhirnya, pada Kamis (26/9), saham Lyft hanya diharga US$41,78 di Nasdaq. Sekadar catatan, IPO Lyft mengalami kelebihan permintaan (oversubscribe) hingga 20 kali saham yang ditawarkan.
Baca Juga: Sesat Pikir Thomas Lembong
Lyft melaporkan kerugian US$911 juta pada 2018, bertambah dari US$688 juta pada 2017, meskipun pendapatannya berlipat ganda pada 2018 menjadi US$2,16 miliar. Perusahaan ini belum menetapkan garis waktu kapan akan menghasilkan laba. Lyft menjadi perusahaan tumpangan online pertama yang go public, menguasai 39% pangsa pasar di Amerika Serikat pada 2018.
Bakar Duit
Angin bisnis perusahaan rintisan pada saat ini memang sedang tak menentu. Sejumlah start-up besar di penjuru dunia harus mengalami perampingan bisnis di tengah geliat ekonomi digital yang masih terus melaju.
Selain Uber yang mem-PHK 435 karyawan, masing-masing dari tim teknik dan produk, belum lama, Zomato, start-up aggregator restoran asal India juga memberhentikan 540 karyawan atau setara 10% dari total karyawan perusahaan. Mengutip Economic Times, ini merupakan putaran kedua, setelah sebelumnya PHK dilakukan pada Agustus 2019 terhadap 60 orang karyawan start-up unicorn tersebut.
PHK dilakukan karena Uber mengalami kerugian besar. Padahal di saat yang sama, pendapatan Uber periode yang sama naik 14% menjadi US$3,17 miliar.
Di Indonesia, Bukalapak juga begitu. Kinerja keuangan pelapak daring ini sedikit tertahan di enam bulan pertama 2019. Menurut laporan keuangan PT Elang Mahkota Teknologi Tbk. (EMTK), pendapatan turun 41,28% menjadi hanya Rp69,77 miliar dibanding periode yang sama 2018 yang mencapai Rp119,05 miliar.

Baca Juga: Bukalapak Korban Bakar Duit?
Sementara, beban pokok pendapatan melonjak nyaris 1000% dari Rp3,84 miliar menjadi Rp37,73 miliar pada Juni 2019. Utang usaha melonjak dari Rp56,8 miliar pada semester I 2018 menjadi Rp84,31 miliar per Juni 2019.
Piutang usaha berkurang dari Rp34,26 miliar pada semester I 2018 menjadi Rp18,99 miliar di semester I 2019.
Ketua Umum Indonesia E-commerce Association (idea), Ignatius Untung, mengatakan penting untuk disadari bahwa start-up merupakan perusahaan rintisan yang memiliki masa depan yang ‘abu-abu.’ Hal ini karena dana operasional yang dimiliki start-up terbatas dan kemungkinan hanya cukup untuk jangka pendek semisal 1-3 tahun. Memang, dana segar jutaan dolar AS bisa didapat start-up dari fundraising, tapi itu pun dengan catatan performa bisnis yang bagus. Jika tidak, tentu tidak ada investor yang melirik dan berani menanamkan modal di start-up tersebut.
Dengan tujuan akhir startup melakukan IPO, maka berbagai klaim valuasi harus bisa diuji. Oleh sebab itu, valuasi tidak hanya mendasar pada hitungan Gross Merchandise Value (GMV) saja. GMV merupakan akumulasi nilai pembelian atau order dari pengguna aplikasi dalam periode tertentu.
Kucuran dana yang diberikan investor pun, menurut Untung, tidak sekadar memperhatikan GMV tetapi juga profitabilitas dan hal-hal berkelanjutan lainnya dari sebuah start-up. Oleh karena itu, jika pembukuan start-up tidak memuaskan, maka tak mengherankan saat IPO, pasar bisa merespons secara negatif dan valuasi bisa terpotong seperti yang dialami oleh Uber dan Lyft di AS. WeWork bahkan sudah memangkas valuasinya menjelang rencana IPO mereka.
“Karena investor juga melihat, dana hasil fundraising yang didapat oleh start-up digunakan untuk apa saja. Jika dana hanya digunakan untuk bakar uang demi membesarkan valuasi, tentu pada akhirnya tidak akan baik,” jelas Untung.
BACA JUGA: Cek HUKUM, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini