Cekncirek.com — Presiden Joko Widodo kembali mengapungkan wacana pemindahan ibu kota negara dari Jakarta. Tak tanggung-tanggung, wacana ini dibahas dalam rapat terbatas (ratas) di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (29/4). Hadir dalam ratas seluruh menteri kabinet, aparat pertahanan keamanan, serta pimpinan daerah. Seperti yang sudah-sudah, Jokowi bilang Ibu Kota perlu pindah karena Jakarta sudah macet dan rawan banjir.
Banjir telah menjadi isu lama yang menjadi permasalahan di Jakarta. Di sisi lain, saat musim kemarau pun cadangan air bersih di Ibu Kota hanya mencapai 20% dari kebutuhan masyarakat karena pencemaran terjadi secara umum di sungai-sungai utama di Jakarta.
Sumber : Detikcom
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Bambang Brodjonegoro, menambahkan masalah banjir di Jakarta terjadi karena penurunan tanah di pantai utara dan kenaikan permukaan air laut. Air tanah turun rata-rata-rata 7,5 cm dan telah turun sampai 60 cm dalam medio 1989 sampai 2007.
Permukaan tanah akan terus turun hingga 120 cm. Padahal air laut naik sekitar 6 cm karena perubahan iklim. “Sebesar 50% wilayah Jakarta adalah kategori rawan bajir dan tingkat aman banjir hanya di bawah 10 tahun, idealnya satu kota besar keamanan banjirnya minimum 50 tahun,” kata Bambang.
Selain banjir, kemacetan kronis juga menjadi titik kendala utama di Jakarta. Kerugian ekonomi akibat kemacetan di Jakarta mencapai Rp56 triliun setiap tahun. Lebih jauh, Bambang memproyeksikan nilai yang hilang karena kepadatan macet kendaraan bisa mencapai Rp100 triliun per tahun. Belum lagi, kualitas air yang tercemar bisa menyebabkan buruknya sanitasi.
Sumber : Medium
Apalagi, jumlah penduduk semakin membludak di Pulau Jawa yang mencapai 57% dari total penduduk. Sedangkan populasi di Sumatera hanya sebesar 21%, Kalimantan 6%, Sulawesi 7%, dan Papua-Maluku cuma 3%.
Jokowi menyadari wacana pemindahan Ibu Kota bukan barang baru. Sejak era Presiden Soekarno wacara ini sudah digaungkan. Itu sebabnya, Jokowi menilai pembahasan pemindahan Ibu Kota harus melalui pemikiran jangka panjang. Sehingga, keputusan dan solusi harus melalui proses pertimbangan yang matang. “Kami harap gagasan pemindahan Ibu Kota jadi sebuah cara untuk mengaktifkan pengelolaan negara,” ujarnya.
Jakarta saat ini memikul beban sebagai pusat pemerintahan dan layanan publik sekaligus pusat bisnis dan perdagangan. Padahal beberapa negara sudah mengantisipasi perkembangan negara di masa yang akan datang dengan pemindahan pusat pemerintahan seperti Washington DC, Amerika Serikat; Canberra, Australia; Putrajaya, Malaysia; Sejong, Korea; serta Mesir.
Smart, Green, and Beautiful City
Ibu Kota yang baru juga harus merepresentasikan identitas bangsa. Apalagi, Jakarta adalah Batavia sebagai pusat perdagangan hasil pembangunan Belanda. “Kajian ibukota baru harus menjadi modern dan kelas internasional, simpelnya adalah smart, green, and beautiful city,” ujar Bambang.
Bappenas memperkirakan, butuh dana Rp323 triliun hingga Rp466 triliun untuk memindahkan Ibu Kota negara dari Jakarta. Anggaran itu mencakup pembangunan infrastruktur pemerintahan, kegiatan ekonomi, transportasi, permukiman, serta ruang terbuka hijau.
Sumber : Kata Data
Bambang menyiapkan dua opsi pemindahan penduduk. Pertama, ada 1,5 juta penduduk yang bakal pindah seiring dengan perpindahan Ibu Kota negara. “Seluruh penduduk itu akan ikut pindah ke ibu kota baru menggunakan estimasi data 2017,” kata Bambang di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (29/4).
Penduduk yang akan pindah ini merupakan golongan Aparatur Sipil Negara (ASN), anggota parlemen, Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY), serta Polisi Republik Indonesia (Polri) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Setidaknya satu keluarga mencakup empat orang anggota. Bila opsi ini yang dipilih pemerintah, maka biaya yang dibutuhkan bisa mencapai Rp466 triliun atau sekitar US$33 miliar. Sementara lahan yang dibutuhkan mencapai 40 ribu hektare.
Kedua, membatasi penduduk yang bakal dipindahkan menjadi hanya 184 ribu orang. Jika dihitung dengan keluarga, maka ada 870 ribu orang yang akan pindah ke ibu kota baru. Bila memilih opsi ini, maka kebutuhan pendanaannya diperkirakan hanya Rp323 triliun atau US$23 miliar. Sebab, lahan yang digunakan hanya 30 ribu hektare.
Bambang menyampaikan, infrastruktur pemerintahan akan menggunakan 5% dari lahan yang disiapkan. Lalu, lahan untuk sarana-prasrana ekonomi, transportasi, permukiman, dan ruang terbuka hijau masing-masing 15%, 20%, 40%, dan 20%.
Untuk pembiayaannya, Bappenas menyebut ada empat sumber pendanaan. Pertama, Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) untuk infrastruktur seperti kantor pemerintahan dan parlemen. Kedua, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menyiapkan infrastruktur utama dan fasilitas sosial. Ketiga, pembiayaan lewat Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) untuk infrastruktur lain. Keempat, swasta membikin properti perumahan dan fasilitas komersial.
Tiga alternatif pemindahan Ibu Kota negara secara umum, Bappenas juga menyiapkan tiga kajian terkait alternatif pemindahan Ibu Kota. Pertama, Ibu Kota tetap di Jakarta tetapi ada distrik khusus untuk pusat pemerintahan. Distrik itu di sekitar Monumen Nasional dan Istana Negara, Jakarta Pusat.
Sumber : Pojok Satu
Apabila pemerintah memilih alternatif ini, perlu disiapkan transportasi massal di distrik ini guna memudahkan mobilitas antar pegawai kementerian dan lembaga (K/L). “Artinya harus mengubah peruntukan wilayah. Kerugiannya tentu hanya akan menguatkan Jakarta sebagai pusat Indonesia, sehingga kekhawatiran dampak urbanisasi terhadap ekonomi tidak optimal,” ujarnya.
Kedua, memindahkan Ibu Kota ke wilayah lain yang jaraknya hanya 60 sampai 70 kilometer dari Jakarta. Contohnya, Jonggol di Jawa Barat atau Maja di Banten. Keuntungannya, proses pemindahan Ibu Kota menjadi lebih dekat. Kelemahannya, Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek) masih menjadi pusat kontribusi ekonomi terbesar.
Ketiga, memindahkan Ibu Kota ke luar Pulau Jawa. Namun, lokasi harus strategis dan berada di tengah wilayah Indonesia secara geografis. Hal ini penting supaya Ibu Kota negara merepresentasikan keadilan dan percepatan ekonomi di wilayah timur Indonesia.
Bappenas pun menetapkan beberapa syarat dalam memilih wilayah yang bakal menjadi Ibu Kota. Di antaranya, tidak ada biaya pembebasan lahan dan minim terjadinya bencana alam seperti gempa bumi, gunung berapi dan lainnya. “Kami harus mencari lokasi yang benar-benar minim dari segi risiko bencana,” katanya.
Ia usul agar lokasi Ibu Kota yang baru merupakan daerah yang sudah memiliki akses mobilitas dan logistik. Hal ini bertujuan agar investasi awal infrastruktur menjadi lebih efisien, karena tidak perlu membangun bandara, pelabuhan, dan jalan.
Selain itu, perlu ada layanan air minum, sanitasi, listrik, dan jaringan komunikasi yang memadai, serta dekat dengan pantai. Dalam hal pertahanan dan keamanan, perimeter juga sesuai dengan tingkat kerawanan dari serangan untuk wilayah teritorial. Karena itu, Ibu Kota yang baru diupayakan tidak dekat dengan perbatasan negara.
Perihal aspek sosial, Bambang menyampaikan bahwa masyarakat di Ibu Kota yang baru harus terbuka guna meminimalkan potensi konflik nasional terhadap pendatang. “Kami harapkan tidak ada dampak negatif terhadap komunitas lokal,” ujarnya.
Menurutnya, pemindahan Ibu Kota bakal menambah kegiatan perekonomian Indonesia. Sebab, Pulau Jawa sudah menyumbang 58% Produk Domestik Bruto (PDB). Bila Ibu Kota dipindahkan, ia optimistis kontribusi wilayah lain terhadap PDB bisa bertambah.