Ceknricek.com–Pemerintah Australia pimpinan Partai Buruh ternyata memang menepati apa yang dijanjikannya dalam kampanye menjelang pemilu 21 Mei yang lalu.
“Kalau menang dan mendapat mandat dari mayoritas rakyat Australia untuk menyelenggarakan pemerintahan, maka Partai Buruh, antara lain, akan membatalkan putusan pemerintah sebelumnya yang dikelola koalisi Partai Liberal dan Partai Nasional”.
Begitu kira-kira bunyi janji tersebut. Yang dimaksud adalah tentang ibukota Israel. Menjelang pemilihan antar-waktu di dapil Wentworth, Sydney, tahun 2018, Partai Liberal yang waktu itu berkuasa menjanjikan bahwa apabila calon mereka, seorang mantan Duta Besar Australia untuk Israel, Dave Sharma, sampai terpilih maka Pemerintah Australia akan mengikuti jejak yang ditempuh Presiden Amerika Serikat waktu itu, Donald Trump, dan mengakui bahwa Yerusalem Barat (Umat Islam biasanya menyebut Yerusalem dengan nama Al-Quds) sebagai ibukota Israel.
Donald Trump sendiri memberi pengakuan terhadap seluruh Yerusalem sebagai ibukota Israel dan memindahkan kedutaan besar Amerika Serikat dari Tel Aviv ke Yerusalem enam bulan kemudian.
Meski mengakui Yerusalem Barat sebagai ibukota Israel, namun pemerintah Australia waktu itu tidak sampai memindahkan kedutaan besarnya ke ibukota Israel yang baru diakuinya itu, dan perwakilan diplomatic Australia itu tetap berada di Tel Aviv, yang diakui oleh sebagian besar negara-negara lain di dunia sebagai ibukota Israel.
Keputusan pemerintah Australia waktu itu mengecewakan bukan saja pemerintah Republik Indonesia, melainkan juga pihak oposisi Partai Buruh Australia, karena biasanya dalam hal-hal yang menyangkut politik luar negeri, umumnya pihak pemerintah Australia dan pihak oposisi bahu membahu.
Lalu kenapa pemerintah pimpinan koalisi Partai Liberal dan Partai Nasional di kala itu, seakan memutuskan untuk jalan “sendirian”? Itu disebabkan murni oleh pertimbangan politik lokal. Pasalnya di dapil Wentworth dalam bilangan kota metropolitan Sydney, banyak bermukim warga negara Australia keturunan Yahudi. Dan sebagaimana halnya dengan warga keturunan Yahudi, di negara lain manapun mereka bermukim, kebanyakan di antara mereka memang tetap masih punya hubungan batin yang kuat sekali dengan Israel. Segala yang menguntungkan Israel niscaya akan mereka sambut hangat.
Tetapi ternyata calon Partai Liberal sang mantan Duta Besar Australia untuk Israel, Dave Sharma, gagal meraih mayoritas, sementara pemerintah Australia waktu itu yang sudah terlanjur mengikrarkan janji akan mengakui Yerusalem Barat sebagai ibukota Israel, tetap melaksanakan janjinya itu.
Keputusan pemerintah Australia pimpinan Partai Buruh yang diumumkan oleh Menteri Luar Negeri Penny Wong beberapa hari lalu itu memancing tanggapan yang sama bobotnya baik dari pihak Israel maupun Palestina.
Kalau pemerintah Israel pilu dan berang dengan keputusan tersebut, maka sebaliknya pihak Palestina gembira dan berbunga-bunga menanggapinya. Palestina menyebutnya sebagai langkah yang tepat menuju perdamaian di Timur Tengah.
Sementara pengamat di Australia mengatakan bahwa keputusan pemerintah Partai Liberal dan Partai Nasional untuk mengakui Yerusalem Barat sebagai ibukota Israel, berarti menyimpang dari langkah sebagian besar masyarakat internasional.
Lagi pula keputusan tersebut memang kepalang tanggung, karena bagi Israel, tanpa memperdulikan apa kata PBB dan/atau masyarakat internasional, ibukotanya adalah Yerusalem secara keseluruhan.
Sebagaimana diketahui, dalam Perang Enam Hari tahun 1967 bala tentara Israel berhasil (ada yang mengatakan dengan mudah) merebut Yerusalem Timur yang sebelumnya di bawah kekuasaan Yordania. Pada waktu itu Yerusalem Barat berada di tangan Israel.
Dan dalam tahun 1980 Israel menyatakan bahwa seluruh Yarusalem adalah ibukotanya, meski Dewan Keamanan PBB dan Majelis Umum badan dunia itu menganggap pencaplokan Yerusalem Timur oleh Israel berlawanan dengan hukum internasional.
Seorang Profesor Australia, Ben Saul, mengibaratkan apa yang dilakukan Israel itu sama seperti apa yang dilakukan Rusia di Crimea. Selama ini Palestina tetap menganggap dan mengharapkan bahwa Yerusalem Timur akan menjadi ibukotanya apabila pada akhirnya memang jadi terwujud sebuah negara Palestina.
Pimpinan perwakilan Palestina di Australia, Izzat Salah Abdulhadi, memuji sikap Australia itu, khususnya Menteri Luar Negeri Penny Wong, seorang perempuan keturunan Tionghoa, kelahiran Malaysia.
Bagi pihak Palestina status Yerusalem Timur sangat penting artinya, meski banyak pihak yang suka mengibaratkan impian Palestina untuk memiliki negaranya sendiri dengan Yerusalem Timur sebagai ibukotanya, tidak lebih dari “pungguk merindukan bulan”.
Seorang anggota parlemen dari fraksi Partai Buruh Australia Josh Burns, yang berdarah Yahudi, mengakui cukup kecewa dengan keputusan partainya itu, antara lain karena diumumkan bertepatan dengan suatu hari suci bagi masyarakat Yahudi, yaitu Simchat Torah.
Namun Menlu Australia Penny Wong bersikeras bahwa “Australia akan tetap merupakan sahabat yang teguh dari Israel, dan akan terus mendukung Israel dan masyarakat keturunan Yahudi di Australia.”
Tidak banyak negara lain yang mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel. Beberapa negara Amerika Latin, seperti Guatemala dan Honduras mengakui seluruh Yerusalem sebagai ibukota Israel, sementara Paraguay yang sempat memindahkan kedutaan besarnya ke Yerusalem, tidak lama kemudian “wal hasil balik asal” ke Tel Aviv.